Al-Hakeem

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Nanti malam bakal ramai. Jam 21.00 WIB. Saya ingin nonton. Bola bernuansa politik. Politik dibungkus sepakbola. Tim nasional Qatar melawan Uni Emirat Arab. Di semifinal Piala Asia. Tahun 2019.

Saya menonton sejak babak 16 besar. Ingin lihat kemajuan tim Lebanon, Iran, Iraq, Tiongkok dan Qatar. Saya tidak ingin melihat Arab Saudi dan Korsel dan Jepang dan Australia. Di babak penyisihan grup. Mereka pasti baik. Langganan juara.

Negeri kriket India ternyata bikin kejutan kecil. Mengalahkan Thailand 4-0.

Filipina bikin kejutan ringan. Hanya kalah 0-1 dari Tiongkok.

Tiongkok memang mengecewakan. Negara berpenduduk 1,3 miliar ini kesulitan cari 11 orang. Seperti di Amarta. Atau di Alengka Diraja. Pemain berusia 38 tahun masih dipasang. Jadi kapten pula. Tersisih di 16 besar.

Tapi yang paling saya tungguĀ  sebenarnya ini: bertemunya timnas Qatar dengan Arab Saudi. Di semifinal. Di saat Saudi lagi menjotak Qatar. Secara politik dan ekonomi. Tengah malam pun akan saya tonton.

Kecele.

Arab Saudi sudah kalah duluan. Saat menghadapi Qatar. Di babak awal. Saat belum panas. Padahal Qatar sudah menang. Saat menghadapi Iraq dan – – hebatnya– Korea Selatan.

Saya menonton pertandingan-pertandingan itu dengan doa. Semoga Qatar menang.

Semoga Arab Saudi menang. Sampai keduanya bertemu di babak 8 besar.

Penonton pun kecewa. Setidaknya saya. Arab Saudi gagal masuk delapan besar. Hanya Qatar yang terus melaju. Sampai ke semifinal. Nanti malam.

Tapi saya akan tetap menonton. Toh lawannya juga negara yang ikut menyiwak Qatar. Secara politik dan ekonomi: Uni Emirat Arab.

Saya sudah membayangkan.

Stadion utama Abu Dhabi akan penuh sesak. Mendukung Uni Emirat Arab. Bukan saja UAE sebagai tuan rumah. Tapi juga pasti ingin menang. Bukan saja ingin jadi juara. Tapi juga jangan sampai Qatar yang moncer.

Tim Qatar pasti tidak akan didukung supporter. Warga Qatar dilarang masuk ke UAE. Sejak dua tahun lalu. Bahkan pengurus inti AFC (Persatuan Sepakbola Asia) yang asal Qatar tidak boleh masuk UAE. Padahal ada rapat AFC sebelum kejuaraan Asia itu.

Coba tidak ada larangan itu. Negara Qatar akan kosong nanti malam. Semua penduduknya ke Abu Dhabi. Yang jaraknya hanya satu lemparkan batu. Kalau yang melempar burung bul-bul.

Saya kasihan pada Qatar. Semata-mata karena itu saja. Tapi saya berdoa semoga urusan politik itu cepat selesai. Kan Qatar akan jadi tuan rumah Piala Dunia. Tahun 2022. Siapa tahu UAE bisa lolos ke babak final Piala Dunia. Dan juga Arab Saudi.

Sepakbola Asia memang penuh urusan politik. Tiba-tiba muncul kasus Al Hakeem Al Araibi. Pemain timnas Bahrain. Yang ditahan di bandara Bangkok. Pada 27 Nopember 2018. Atas permintaan pemerintah Bahrain.

Saat penangkapan itu terjadi saya langsung curiga. Pasti ini urusan politik. Yang terkait dengan aliran Syiah. Tapi saya tidak segera dapat detail yang sebenarnya.

Ternyata benar. Urusan Syiah.

Bermula dari Arab Springs tahun 2011. Saat gelombang demokratisasi melanda dunia Arab. Di Bahrain pun gerakan prodemokrasi muncul. Demo di mana-mana. Sistem kerajaan terancam.

Salah satu tokoh gerakan itu kakak Al-Hakeem. Sang kakak ditangkap. Diadili. Dihukum 10 tahun. Kesalahannya bukan politik: melakukan corat coret di tembok kantor polisi.

Al-Hakeem membela kakaknya. Ikut ditangkap. Katanya, disiksa. Selama tiga bulan. Diancam sampai cacat. Agar tidak bisa lagi bermain bola. Lalu dilepas.

Saat itu Al Hakeem menjadi pemain tim nasional. Sebagai back. Juga pemain inti klub As-Shahab.

Saat bermain di Qatar, Al-Hakeem mendengar: kakaknya dijatuhi hukuman 10 tahun. Ia pun lari. Sembunyi-sembunyi. Melarikan diri entah ke mana. Mungkin punya teman di Qatar. Yang membantu menyembunyikannya.

Tahu-tahu Al-Hakeem ada di Australia. Mencari suka politik di sana. Akhirnya bocor: ternyata Al-Hakeem sembunyi dulu di Iran. Mungkin ada temannya di Qatar. Yang punya jalur ke Iran. Cukup hanya nyeberang selat Hormuz.

Dari Iran Al-Hakeem ke Malaysia. Lalu Thailand. Sebelum akhirnya ke Australia itu.

Di Australia Al-Hakeem dapat suaka politik. Ia pun bisa bermain bola lagi. Masuk klub Green Gully. Di dekat Melbourne. Lalu pindah-pindah klub. Terakhir di Pascoe Vale. Juga di Melbourne.

Sudah tenang di Australia. Mengapa ke Thailand segala? Yang membuatnya ditangkap?

Al-Hakeem ternyata ingin bulan madu. Ia baru menikah. Saat ditangkap di bandara Bangkok Al-Hakeem lagi bersama isterinya itu.

Langsung ditahan. Dan dimasukkan penjara. Atas permintaan Bahrain. Lewat interpol.

Saudarinya di Bahrain sebenarnya sudah mengingatkan. Bahaya. Bisa ditangkap. Tapi Al-Hakeem, seperti ditulis The Guardian, sudah konsultasi ke imigrasi. Sebelum memutuskan berangkat berbulan madu.

Menurut imigrasi Australia Al Hakeem aman. Bisa ke mana saja. Asal tidak ke Bahrain. Australia menjamin.

Dua kali Al-Hakeem melakukan konsultasi. Hasilnya sama. Ia pun berangkat.

Thailand belum mau menyerahkan Al Hakeem ke Bahrain. Tapi juga tidak mau mengirim balik ke Australia. Thailand masih menunggu dokumen dari Bahrain. Yang dipakai alasan untuk mengekstradisinya. Batas waktunya 60 hari. Sebentar lagi lewat.

Pengadilan Thailand akan menyidangkan permintaan Bahrain itu. Dikabulkan atau tidak. Seperti pengadilan Kanada akan menyidangkan Sabrina Meng. Bos Huawei yang ditahan di Vancouver. Atas permintaan Amerika. Dianggap melanggar sanksi dagang dengan Iran.

Bahrain memang sangat takut pada demokrasi. Maroyitas rakyatnya penganut Syiah. Elitenya yang Sunni. Juga rajanya.

Kini sudah ada dua pemain bola yang seperti itu. Satunya adalah Hakan Sukur. Pemain nasional Turki. Yang mengungsiĀ  ke Amerika. Ikut Kyai Fathulah Gulen. Melawan pemerintah Thayeb Erdogan sekarang ini.

Kebetulan ketua AFC saat ini adalah keluarga kerajaan Bahrain: Sheihk Salman Al Khalifa. Itulah sebabnya dunia mengecamnya. Urusan bola dicampur dengan politik.

Semua itu akan membuat semifinal Piala Asia nanti malam tambah seru. (Dahlan iskan)