Soal OSO, KPU Tetap Ikuti Putusan MK

Oesman Sapta Odang (OSO).

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Komisi pemilihan umum (KPU) urung memberikan penjelasan terbuka mengenai nasib pencalonan Oesman Sapta Odang sebagai anggota DPD. Setelah rapat pleno tadi malam (14/1), seluruh Komisioner KPU menolak memberikan pernyataan mengenai tindak lanjut atas putusan Bawaslu terkait OSO. Padahal, batas waktu pelaksanaan putusan Bawaslu berakhir tadi malam.

Kamis lalu (10/1) sidang Bawaslu memutus bahwa KPU melakukan pelanggaran administrasi terkait pelaksanaan putusan PTUN menyangkut pencalonan OSO. Sanksinya, KPU wajib membuat SK daftar calon tetap (DCT) anggota DPD yang baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya. Namun, bila nanti OSO terpilih dan masih juga enggan mundur dari jabatan Ketum Partai Hanura, KPU dilarang menetapkan dia sebagai calon terpilih.

Ketua KPU Arief Budiman saat dimintai konfirmasi hanya berujar singkat. ’’Tidak ada statement untuk malam ini,’’ ucapnya. Begitu pula komisioner-komisioner KPU lainnya. Tidak ada yang bersedia menjelaskan sikap KPU atas putusan Bawaslu itu meski sudah ada keputusan lewat pleno.

Meski demikian, saat jeda pleno, Komisioner KPU Wahyu Setiawan sempat memberikan isyarat terkait arah putusan yang diambil. ’’Pada prinsipnya, semangatnya adalah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK),’’ ujarnya di KPU kemarin. Dia menolak menjelaskan lebih lanjut soal rujukan yang digunakan.

Isyarat tersebut menunjukkan KPU memilih berpatokan pada hukum konstitusi. Dalam hal ini, putusan MK No 30/PUU-XVI/2018. Putusan yang keluar pada 23 Juli 2018 itu berbicara mengenai syarat pencalonan anggota DPD untuk Pemilu 2019.

Putusannya adalah membatalkan frasa ”pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf l UU pemilu secara bersyarat. Yakni, bila frasa tersebut tidak dimaknai mencakup pula pengurus parpol. Artinya, pengurus parpol dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan putusan tersebut diberlakukan mulai Pemilu 2019. KPU diberi petunjuk untuk tetap mengizinkan para pengurus parpol mencalonkan diri sebagai senator hanya bila mereka telah mundur dari kepengurusan parpol. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi OSO yang menjabat Ketum Partai Hanura hingga 2020.

Dengan demikian, putusan MK hanya berkutat seputar pencalonan. Bukan calon terpilih seperti yang diputus Bawaslu. Mundur dari kepengurusan parpol itu, berdasar putusan MK, adalah syarat mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Bukan syarat untuk ditetapkan sebagai anggota DPD bila telah terpilih. (Jawa Pos/JPG)