Di usianya yang masih menginjak dua bulan, Kenzi Abrisam Reinand belum bisa merasakan hangatnya dekapan kasih sayang orang-orang di sekitarnya. Tubuh kecilnya yang ringkih, tergolek lemah di atas ranjang perawatan. Balita malang ini divonis dokter menderita kelainan jantung yang harus segera dioperasi.
FARIK FAJARWATI, Malang
eQuator.co.id – Bagi kebanyakan orang, kehadiran buah hati merupakan anugerah yang membawa kebahagiaan. Namun, lain halnya bagi orang tua Kenzi Abrisam Reinand. Sejak awal kehamilan ibunya hingga kini berusia dua bulan, Kenzi–begitu dia disapa–belum juga merasakan belaian sang ayah yang pergi entah ke mana. Hari-harinya, dia jalani bersama ibunya Kiki Sri Riski. Perempuan tegar itu sebatang kara memperjuangkan bayinya agar bisa tersenyum ceria layaknya anak-anak pada umumnya.
Kehadiran Kenzi, kali pertama didapatkan koran ini lewat media sosial Facebook. Melalui cuitan dalam salah satu komunitas di Malang Raya tersebut, bayi yang baru dua bulan menghirup napas dunia itu mencari penolongnya.
Dijumpai koran ini di Rumah Sakit Saiful Anwar Jumat lalu (11/1), bayi laki-laki itu masih terlelap di ruang paviliun anak. Selang berukuran kecil tampak masuk ke hidungnya. Sementara di tangan kanannya, sebuah jarum infus juga masih menancap di pergelangan yang begitu kecil. Melihatnya saja, terbayang betapa sakitnya tangan sekecil itu harus ditusuk dengan jarum berkali-kali.
Kiki, ibu Kenzi, yang tak pernah melepas pandangannya pada putra keduanya tersebut. Dia menyatakan, jumlah jarum itu bisa bertambah saat kondisi bayi yang lahir pada 31 Oktober 2018 lalu itu menurun. ”Kalau sedang biru (kambuh) sudah tidak terhitung berapa alat yang menempel di tubuh bayi saya. Mulai selang pernapasan, selang untuk makan, jarum infus, juga alat-alat lain yang saya ndak tahu namanya,” kata Kiki.
Perempuan berusia 28 tahun itu menceritakan, awalnya Kenzi lahir sehat layaknya bayi pada umumnya. Kenzi lahir dibantu bidan Desa Gleduk, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar, dengan berat 2,7 kilogram dan panjang 49 sentimeter. ”Tidak ada tanda-tanda kelainan yang dialami Kenzi sampai di usia dua minggu dia mulai menunjukkan gejala sakit,” kata perempuan kelahiran 13 Maret 1990 tersebut.
Kiki mulai curiga Kenzi sakit, karena bayinya terlihat kesulitan saat hendak menyusu kepadanya. Kenzi yang biasanya ceria mendadak rewel dan enggan menyusu. ”Belum sampai kenyang pasti dia sudah kehabisan napas, puncaknya waktu dia usia dua minggu, wajah sampai jari-jari tangan dan kakinya sudah benar-benar biru,” kenang Kiki. Bayi laki-laki itu pun sudah tidak merespons, baik suara maupun gerakan, yang distimulus ibunya.
Khawatir dengan kondisi anaknya, Kiki pun melarikan Kenzi ke salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kabupaten Blitar. Selama seminggu, Kenzi yang masih merah itu dirawat secara intensif di ruang ICU. Saat itu juga Kiki baru mengetahui bahwa anaknya menderita kelainan jantung bawaan. Dokter memvonis Kenzi menderita infeksi paru-paru dan jantung bocor dengan stadium parah.
Penyakit jantung bocor sendiri merupakan kelainan yang terjadi akibat munculnya lubang di antara sekat jantung. Dampaknya, terjadi percampuran antara darah yang membawa oksigen (O2) serta dan karbondioksida (CO2) yang mengakibatkan tubuh bayi berwarna biru. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya karena organ dalam tubuh bayi tersebut tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup. Akibatnya, bayi akan terengah-engah meski baru sedikit menyusu.
Meski telah dirawat selama seminggu, bayi tampan tersebut tak juga menunjukkan progres yang menggembirakan. Dokter pun merujuk Kenzi untuk mendapat perawatan yang lebih lengkap di RSUD Saiful Anwar. ”Masuk ke sini (RSSA), Kenzi langsung masuk ke high care unit (HCU),” jelas Kiki. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat anaknya harus dipasangi alat-alat yang bahkan namanya saja dia tidak tahu. Selama 15 hari, Kenzi dirawat intensif di ruang HCU selama 15 hari. Hanya berselang 1 hari setelah 15 hari Kenzi dirawat di ruang HCU, bayi malang itu harus kembali ke RSSA karena kondisinya kembali menurun.
Sabtu lalu (12/11) adalah hari ke-17 Kenzi dipindah ke ruang perawatan. Tak terhitung sudah berapa puluh jarum yang menusuk kulit tipisnya guna memasukkan obat maupun asupan makanan yang tidak bisa lagi dia dapatkan langsung dari ibundanya. ”Wajah, tubuh, dan jari-jarinya, semua biru. Untuk menangis pun anak saya sudah tidak punya tenaga,” cerita Kiki dengan suara yang bergetar.
Saat Kenzi bangun, tidak banyak yang dia bisa lakukan selain membuka matanya. Dari tatapan matanya, Kiki tahu kalau putra bungsunya itu masih punya semangat untuk sembuh. ”Makanya setiap dia bangun, saya selalu ajak ngobrol. Ketika saya sedang benar-benar putus asa, dia seperti tahu dan kasih saya semangat lewat tatapan matanya,” kisah Kiki. Tidur nyenyak pun menjadi hal yang mewah bagi Kiki karena kondisi Kenzi bisa naik dan turun, bahkan dalam hitungan menit.
Dalam kondisi Kenzi, penyakit jantung bawaannya tersebut harus segera mendapatkan penanganan medis yakni melalui operasi. Sayangnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalani operasi tidak sedikit. Untuk biaya operasinya saja, Kenzi membutuhkan dana sebesar Rp 150 juta. Itu pun belum termasuk biaya perawatan pra dan pascaoperasi. Karena harus mendampingi Kenzi 24 jam, otomatis Kiki tak punya pegangan pasti untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selama mendampingi Kenzi, Kiki hanya bisa mengandalkan pinjaman dari neneknya yang ada di Blitar.
Besar harapan Kiki agar Kenzi bisa segera mendapat penanganan yang serius. Tapi, bagi single parent yang tak bekerja sepertinya, tentu ini bukanlah hal yang mudah. Uluran tangan dari para dermawan, tentu sangat diharapkan agar Kenzi bisa kembali tersenyum. (*/Radar Malang)