Naik Bus

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Saya putuskan naik bus saja. Dari Konya ke Afyon. Lima jam. Menempuh jalan perbukitan. Pegunungan. Masuk ke pedalaman.

Saya sudah biasa naik bus antar kota. Pun di Amerika: Greyhound. Atau Megabus. Saya ingin tahu yang di Turki ini. Mumpung tidak diuber waktu. Bagaimana sistem bus antarkota di pedalamannya.

Terminal busnya besar dan bersih. Sistemnya masih gabungan: tradisional dan digital.

Penjualan karcisnya masih manual. Masih dilayani manusia. Banyak konter di terminal itu. Penjual karcisnya menggunakan seragam. Sesuai dengan nama perusahaan busnya.

Tenang. Tidak ada nada rebutan penumpang. Silakan saja membandingkan sendiri. Dari satu konter ke lainnya. Mana bus yang lebih baik. Harga yang lebih murah. Jam pemberangkatan yang lebih awal.

Tapi jenis busnya standar. Tidak perlu pilih-pilih. Standar Eropa. Harganya juga sudah standar. Untuk empat jam itu sekitar Rp 120 ribu.

Ruang tunggunya besar. Milik bersama. Apa pun busnya di situ menunggunya. Nyaman. Dilengkapi pemanas udara. Di luar masih penuh salju. Yang turun kemarin.

Di ruang itu ada papan digital. Memberitahukan: bus jurusan mana, berangkat jam berapa, di tempat pemberangkatan nomor berapa.

Penumpang tidak perlu berlama mendekat ke tempat pemberangkatan. Dinginnya bukan main. Tunggu saja di dalam. Sambil belanja. Atau minum-minum di cafe. Lihatlah foto terminal bus di Afyon itu.

Di Amerika terminal busnya kalah. Atau sengaja dikalahkan. Di kota sekecil Afyon terminal busnya nebeng di McDonald. Kalau mau pipis ikut toiletnya McD. Atau tunggu saja di dalam bus.

Di Amerika angkutan bus terasa low class sekali. Di kota besar sekali pun. Di Turki tidak begitu. Terminal bus terasa untuk kelas menengah. Seperti tidak ada kelas bawah di Turki.

Busnya juga bagus-bagus. Seperti standar bus antar kota di Eropa. Jauh lebih bagus dari Greyhoundnya Amerika. Greyhound itu terasa sekali untuk kelas sangat bawah di Amerika. Yang penumpangnya umumnya kulit hitam.

Ribuan kilometer saya mengalaminya. Tidak lebih 5 orang kulit putih yang naik bus.

Beda sekali di Turki.

Di terminal bus Konya, misalnya, ruang toiletnya sangat sangat besar. Lapang. Longgar. Bersih. Saya hitung wastafelnya saja 20 buah. Anda bisa pipis di lima urinoir sekaligus. Tanpa mengganggu orang. Demikian juga untuk yang wanita.

Di kota Afyon terminalnya lebih baru. Cafenya sangatĀ  besar. Meja-meja ya ditata seperti di restoran di hotel. Demikian juga tempat penjualan oleh-olehnya. Di Afyon toiletnya tidak gratis. Satu Lira. Sekitar Rp 2.500. Tapi bersihnya seperti hotel bintang empat. Diberi tisu basah pula. Kalau mau, tangan kita bisa diusapi parfum. Saya tidak mau.

Sepanjang perjalanan itu saya tidak tidur. Dari Konya ke Afyon. Empat jam. Atau dari Afyon ke Antalya. Enam jam. Ingin terus memperhatikan lingkungan.

Afyon itu kota di pegunungan. Ketinggiannya sekitar 700 meter. Beberapa bagian kota mencapai 1000 meter. Saya keliling ke perumahan-perumahannya. Ingin memperbandingkan perumahan dari satu kota keĀ  lainnya. Saya ingin sistem perumahan di Turki jadi model.

Di Turki jaringan bus antar kota lebih dominan. Dibanding kereta api. Ini karena jalan antar kotanya istimewa. Mirip jalan tol di kita. Mulus sekali. Dua jalur. Tidak padat.

Jalur Konya-Antalya misalnya. Tidak ada layanan kereta. Konya-Izmir yang begitu penting hanya ada satu kereta. Berangkat petang. Tiba pagi.

Jalur kereta yang populer hanya Istanbul-Ankara. Empat jam. Atau Ankara-Konya. Dua jam.

Untuk dua jalur itu saya pilih kereta. Terasa seperti di jalur Madrid-Barcelona dulu. Kereta Turki memang bikinan Spanyol. Kecepatannya 250/jam. Menurut saya kecepatan seperti itu cukup untuk di Jawa. Surabaya-Jakarta 4 jam. Orang sudah sangat suka. Asal bisa segera.

Saya masih ingin ke Turki lagi. Ke pedalamannya yang di timur jauh: Adana. Yang dekat dengan Syiria. Yang dekat dengan Iran.

Turki tidak menutupi fakta: penduduknya 98 persen Islam. Tapi ideologinya sekuler.

Sistem ekonominya neolib. Mal-mal ya besar. Tapi kesenjangan kaya-miskinnya tidak terlihat di mata. Tidak ada kaki lima. Tidak

ada perkampungan kumuh yang mencolok mata. Tidak ada becak. Atau ojek.

Saya masih terus bertanya: bagaimana Islam, demokrasi, neolib, pemerataan bisa berjalan bersama. (dahlan iskan)