Bawaslu Putuskan OSO Harus Masuk DCT

Oesman Sapta Odang (OSO).

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Polemik pencalonan ketua umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang berakhir antiklimaks. Bawaslu memutuskan KPU wajib menjalankan putusan PTUN yang memenangkan OSO, sapaan Oesman Sapta. Meski demikian, pada akhirnya OSO tetap diwajibkan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Hanura.

Dalam sidang di gedung Bawaslu kemarin (9/1), majelis pemeriksa Bawaslu memutuskan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi terkait ketidakpatuhan terhadap putusan PTUN. Karena itu, Bawaslu memerintah KPU menjalankan putusan PTUN Jakarta terkait sengketa pencalonan OSO. Yakni, mencabut keputusan KPU nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018 tentang penetapan DCT anggota DPD Pemilu 2019 yang telah dibatalkan PTUN. Kemudian, menerbitkan keputusan baru tentang DCT anggota DPD. ’’Serta, mencantumkan nama Dr (HC) Oesman Sapta sebagai calon tetap peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah tahun 2019,’’ ucap Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu Abhan dalam putusannya.

Namun, majelis pemeriksa juga menambahkan satu putusan terkait pencalonan OSO. Putusan itu baru berlaku bila OSO terpilih sebagai anggota DPD asal Kalimantan Barat. ’’Menetapkan Dr (HC) Oesman Sapta sebagai calon terpilih pada Pemilihan Umum 2019 apabila mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik,’’ lanjut Abhan yang juga ketua Bawaslu.

Bila OSO terpilih tapi tidak juga mengundurkan diri dari parpol, KPU tidak boleh menetapkan dia sebagai anggota DPD. Batas waktu pengunduran dirinya adalah sehari sebelum penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPD Pemilu 2019. Penetapan itu diperkirakan berlangsung pada pekan keempat Mei bila tidak ada sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Putusan Bawaslu kali ini bersifat final dan mengikat. Dengan begitu, tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa dilaksanakan kedua pihak. OSO sebagai pelapor maupun KPU sebagai terlapor wajib menjalankan putusan tersebut. Sebab, putusan kali ini bukan sengketa pemilu, melainkan dugaan pelanggaran administratif.

Dalam sidang kemarin, ada pendapat berbeda atau dissenting opinion dari salah seorang anggota majelis pemeriksa Bawaslu, Fritz Edward Siregar. Menurut dia, putusan PTUN yang menyatakan seorang calon anggota DPD yang menjabat pengurus parpol dapat dicantumkan sebagai calon tetap (DCT) tidak bisa dibenarkan. ’’Apabila yang bersangkutan belum mengundurkan diri sebagaimana diputuskan MK,’’ lanjutnya.

Sejak awal, sikap KPU berbeda dengan putusan Bawaslu. KPU sudah berupaya memaksa OSO mundur dari jabatan Ketum Hanura bila ingin melanjutkan pencalonannya sebagai anggota DPD. Alasan KPU, mereka ingin melaksanakan putusan PTUN dengan tetap memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD.

Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menyatakan, pihaknya belum bisa menyampaikan sikap resmi KPU saat ini. ’’Kami akan bahas dulu dalam pleno,’’ terangnya setelah sidang. Yang jelas, saat ini KPU menunggu kiriman salinan putusan dari Bawaslu terlebih dahulu. Putusan itu akan dijadikan bahan dalam rapat pleno.

Sementara itu, kuasa hukum OSO, Herman Kadir, menganggap putusan kali ini tidak benar-benar mematuhi perintah putusan PTUN. ’’Sebab, masih ada embel-embel pengunduran diri juga walaupun itu terakhir,’’ terangnya di Bawaslu. Dalam arti, OSO tetap harus mundur dari jabatan Ketum Hanura bila terpilih sebagai anggota DPD.

Menurut dia, level putusan PTUN setara dengan putusan MK maupun MA sehingga harus dipatuhi pula oleh semua pihak. Terlebih, sengketa pemilu sudah diatur dalam UU Pemilu. Dengan demikian, KPU harus melaksanakannya tanpa embel-embel lain.

Herman menuturkan, bagian yang mewajibkan KPU untuk memasukkan nama OSO ke DCT sudah tepat. ’’Nah, kami agak keberatan yang masih ada surat pengunduran diri itu,’’ lanjutnya. Itu hampir sama saja dengan sikap KPU yang sebelumnya. Bedanya, KPU mensyaratkan mundur sebelum masuk DCT, sedangkan Bawaslu mensyaratkan mundur sehari sebelum penetapan calon terpilih.

Dia tidak membantah bahwa syarat mundur itu memang untuk mengikuti putusan MK. Hanya, pihaknya masih mempersoalkan pemberlakuan putusan MK tersebut. ’’Menurut ahli kami dan beberapa pemikir lain, putusan MK itu memang (tidak) berlaku asas retroaktif,’’ tambahnya. (Jawa Pos/JPG)