Rumah Terakhir Maria

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Dari dunia Jalaluddin Rumi saya ke dunia Maria. Dari Konya ke Ephesus.

Kota Ephesus sendiri kini tinggal puing-puing kuno. Reruntuhannya terlihat di kanan jalan itu.

Setelah 2 Km dari situ jalan mulai menanjak. Meliuk-liuk. Menuju puncak bukit. Kiri kanannya hanya ada hutan pinus. Tidak ada bangunan sama sekali.

Sesekali bertemu pejalan kaki. Naik ke gunung itu. Terlihat seorang wanita. Menanjak dengan kakinya. Dengan tas ransel di punggungnya.

Di puncak bukit itu tersedia lapangan parkir. Kami berhenti di situ.

“Yang baru datang itu mobil dari Bulgaria,” ujar Mustofa, sopir saya. “Terlihat dari plat nomornya,” tambahnya.

Saya tunggu penumpangnya turun. Satu keluarga besar. Saya beri mereka salam pagi.

“Kami dari Rusia,” ujar lelaki muda yang tinggi itu.

Perkiraan Mustofa meleset. Ternyata dari seluruh dunia datang ke sini.

“Rusia sebelah mana? “ tanya saya. “Dari Vladivostok,” jawabnya.

Ups… Begitu jauhnya. Di sebelah Jepang.

Tentu mereka tidak naik mobil dari Vladivostok. Kota yang di Utara Jepang itu. Atau di Timur Harbin, Tiongkok itu. Terlalu jauh. Harus melewati Siberia, negara-negara Eropa Timur baru ke Bulgaria.

Mereka terbang dulu ke Moskow. Lalu ke Bulgaria. Baru sewa mobil ke Turki. Melihat pentingnya isi puncak bukit ini.

Dari tempat parkir saya jalan kaki ke puncak. Mustofa pilih merokok. Saya berpapasan dengan banyak asal: Thailand, India, Irlandia, Taiwan…

Semua ingin berkunjung ke sebuah rumah kuno. Yang oleh orang Kristen Ortodoks  dipercaya penuh sebagai rumah terakhir Perawan Maria. Ibunda Jesus. Yang berarti rumah terakhir Maryam. Ibunda Nabi Isa alaihissalam. Menurut kepercayaan Islam.

Ketika saya mengucapkan ‘alaihissalam’ ada orang mendengarnya. Dan mendekati saya.

“Anda Islam?,” tanyanya. “Saya juga Islam. Saya orang Turki. Rumah saya dua jam dari sini,” tambahnya.

Saya pun bertanya: apakah orang Islam di sini juga percaya? Bahwa ini rumah terakhir Maryam?

“Sangat mungkin,” katanya.

Dunia Katholik juga belum setegas Kristen Ortodoks. “Mungkin saja ini rumah terakhir Perawan Maria,” kata orang Katholik.

Tapi Paus memberkati tempat ini. Bahkan beberapa Paus sudah berkunjung ke sini.

Menurut yang dipercaya Ortodoks, kisahnya sangat nyata. Perawan Maria dibawa ke sini oleh Johannes. Alias John. Pengikut utama Jesus. Yang saat Jesus disalib sempat titip ibunya. Agar John menjaga dan mendampinginya.

Oleh John, Maria dibawa jauh ke utara. Ke Ephesus itu. Lalu tinggal di puncak bukit itu. Sampai akhir masanya di dunia.

Semua orang boleh masuk rumah itu. Yang sudah direnovasi. Tanpa mengubah bentuknya.

Sayang tidak boleh memotret di dalamnya. Orang pada sembahyang di depan patung Bunda Maria. Lalu mengambil lilin kecil. Sambil meninggalkan uang serelanya. Lilin itu dibawa ke luar rumah. Untuk dinyalakan. Lalu ditancapkan di tempat yang disediakan. Bersama puluh lilin lainnya.

Gereja Ortodoks percaya: di situlah John menulis Kitab Injil. Rasanya John sendiri menjelaskan lain. Ia menulis Injil di satu pulau di Yunani.

Di sebelah rumah ini ada jalan menurun. Ada toko souvenir kecil. Di sebelahnya ada pintu besi. Saya dorong pintu besi itu. Saya lihat ada bangunan agak besar. Beberapa orang  keluar dari pintu bangunan itu.

“Apakah ini hotel?” tanya saya. “Ini gereja Katholik,” jawab si Irlandia.

Saya pun mendorong pintu depan gereja itu. Beberapa orang masih asyik bicara. Sambil melingkari sosok yang diajak bicara: pastor.

Saya ikut menyalami sang Pastor. Memperkenalkan diri dari Indonesia. Tanpa menyebut nama. Lalu  mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya membuat saya sendiri malu. Terlalu pertanyaan wartawan.

“Apakah di rumah itu juga makam Perawan Maria?” tanya saya.

Sang Pastor tidak segera menjawab. Saya segera merasa malu. Lalu minta maaf. Seperti orang baru sadar. Bahwa Maria dipercaya ikut muksa. Bersama jasadnya. Seperti juga putranya.

“Sebagai orang Katholik rupanya Anda lupa…”, ujar sang Pastor. Mengira saya pasti Katholik. Kok mau datang ke dalam gereja itu.

“Ya ya ya… Saya lupa… Perawan Maria ke sana bersama jasad,” kata saya menyelesaikan kalimat Pastor yang terpotong itu.

Ia pun tersenyum ramah. Lalu kembali menyalami saya. Sambil melayani jemaat lain yang mengerumuninya.

Selesai. Membawa pulang malu.

Tidak jauh dari rumah Maria ada kota besar. Pengganti Ephesus yang tinggal puing. Namanya kota Selcuk. Saya tidak jadi mampir ke situ. Toh ke Izmir tinggal satu jam. Lewat Otoban. Alias Otoyol. Lebih baik makan siang di Izmir saja. Di pinggir Teluknya yang terkenal.

Setelah makan siang saya ingin ke gereja lain. Yang sejak dua tahun lalu sangat terkenal. Apalagi sejak Agustus tahun lalu. Ketika ekonomi Turki gonjang-ganjing. Nilai tukar Lira terjun bebas. Inflasi sampai 40 persen. Suku bunga menjadi 30 persen.

Semua itu gara-para Pastor gereja ini. Pastor Andrew Brunson. Asal North Carolina, Amerika.

Pastor ini ditahan. Oleh pemerintah presiden Recip Erdogan.

Presiden Amerika minta Pastor Brunson dibebaskan. Hari itu juga. Erdogan melawan. Brunson dianggap terlibat kudeta yang gagal. Dianggap jaringan Fatullah Gulen. Lawan Erdogan. Yang kini tinggal di Pennsylvania, Amerika.

Amerika lantas mengenakan sanksi ekonomi pada Turki. Gempar. Gonjang-ganjing. Ekonomi memburuk.

Akhirnya Turki memulangkan Brunson ke Amerika. Setelah ekonomi terlanjur babak-belur. Brunson sendiri kini pasti kangen Izmir. Sudah hampir 25 tahun ia tinggal di kota itu. Yang jarang terlihat masjid.

Lokasi Gereja Brunson ini di kota lama. Jalan-jalan di kawasan ini sempit-sempit. Semua jalan dibuat satu arah. Kanan-kirinya toko-toko kecil. Sangat ramai. Banyak orang jalan-jalan di kawasan ini.

Gereja itu sendiri bukan seperti gereja. Di jepitan bangunan dua lantai. Seperti bangunan sementara. Satu lantai. Jalan di depannya sempit. Cukup selembar mobil. Waktu mobil saya berhenti, mobil di belakangnya ikut berhenti.

Saya turun dari mobil. Tidak segera melihat ada identitas gereja. Yang terlihat mencolok justru bendera besar Turki. Bulan bintang melintang di emper gereja.

Identitas gereja tertulis kecil sekali: DIRIKESI KILISESI DERNEGI MERKEZI. Digantung di sebuah gantungan besi kecil.  Di sini pun kebaktian baru saja selesai. Beberapa orang sudah keluar pintu. Tinggal 7 atau 8 orang di dalam.

Saya pun masuk. Bicara-bicara dengan beberapa orang. Mengaku asli Turki. Tentang kebaktian hari itu.

Lalu seorang wanita datang. Berwajah Tionghoa. Menyapa saya dalam bahasa Indonesia.

“Dari Malaysia?” tanyanya. “Indonesia,” jawab saya. “Oh… Saya dari Malaysia,” katanya.

Dia mengabdi di gereja itu. Sejak sebulan lalu. Belum tahu akan sampai kapan.

Di dalam ruang ini tidak seperti gereja. Hanya seperti ruang pertemuan umum.

Bukan main gereja kecil ini. Pengaruhnya begitu besar. (dis)