eQuator.co.id – Penginnya sih ini: malam tahun baru di Istanbul. Tapi, saat nulis ini, saya masih di Izmir. Padahal ini sudah tanggal 31 Desember.
Bisa saja dipaksakan. Dengan naik pesawat. Tapi itu akan mengalahkan misi saya ke Turki.
Saya pilih terserah nasib. Saya tetap akan jalan darat: dari Izmir ke Istanbul. Bahwa malam tahun baru masih di Bursa juga bagian dari nasib.
Toh Bursa adalah ibukota lama kekaisaran Attaturk. Yang lokasinya di pertengahan.
Antara Izmir dan Istanbul.
Saya juga menerima nasib ini: tidak bisa bertemu 20-an mahasiswa kita di Konya. Di kotanya Maulana Jalaluddin Rumi itu. Padahal WA-nya bertubi-tubi.
Saya harus minta maaf berkali-kali. Lewat Bung Arief. Tokoh PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Konya. Yang lagi mengambil gelar doktornya. Di Universitas Selcuk Konya. Studi hubungan internasional.
Tulisan ‘Selcuk’ itu mestinya begini: Selçuk. Agar membacanya selcuk. Tapi HP saya tidak punya huruf ‘c’ yang diberi buntut di lengkung bawahnya itu. Padahal kalau saya tulis Selcuk di Turki akan dibaja Seljuk. Turki tidak begitu punya huruf ‘j’. Orang Surabaya akan sulit kalau tidak punya huruf ‘j’.
Selcuk adalah kekaisaran Turki pada tahun 1000-an. Yang kekuasaannya sampai Parsi. Yang ibukotanya di Konya. Meski pernah juga beribukota di Isfaham. Yang sekarang kota terindah di Iran.
“Lokasi universitas kami sangat dekat dengan museum Rumi pak,” ujar Arief. Putra seorang kolonel TNI.
Ia alumni Aliyah pondok pesantren Assalam Solo. Lalu kuliah di Universitas Indonesia.
Saya ingin sekali memenuhi permintaan itu. Tapi saya juga harus mengamati lebih dalam sistem perumahan perkotaan di Konya. Juga di kota lainnya. Yang begitu mengesankan saya. Terutama dalam mengubah kampung kumuh di tengah kota.
“Kami akan rame-rame menyusul Pak Dahlan ke Istanbul. Kami lagi libur,” ujar Arief. Alhamdulillah.
Mereka tentu tidak bisa menyusul saya sebelum itu. Tiap hari saya pindah-pindah: Afyon, Antalya, Ephasus, Izmir, Bursa. Kau kejar aku lari. Mirip judul film. Nyegat di Istanbul adalah yang terbaik.
Saya memang sejak dulu terkesan pada Turki. Sudah sangat lama. Inilah negara Islam yang secara ekonomi termasuk berhasil. Secara demokrasi juga ok. Meski lima tahun terakhir demokrasinya terasa lebih mundur.
Turki adalah negara Asia yang sudah mengejar Eropa. Atau negara Eropa yang masih berasa Asia. Persis seperti letak negaranya: sebagian di benua Eropa sebagiannya lagi di Asia.
Saya akan menuliskan renungan itu minggu depan. Setelah menyelesaikan seluruh perjalanan Turki saya.
Memang kita bisa saja menyalahkan Turki. Tapi itu sudah kuno sekali. Harus kita lupakan.
Gara-gara Turki kuat, poros ekonomi Eropa-Asia terblokade. Turki yang berhasil meruntuhkan Roma menjadi terlalu kuat.
Eropa akhirnya mencari jalan lain: untuk bisa ke Asia. Tanpa harus lewat Turki.
Dibangunlah armada-armada laut. Meski harus memutar ke Tanjung Harapan. Akhirnya sampai Indonesia. Menjadi penjajah kita.
Saya tidak tahu apa yang terjadi. Seandainya Turki tidak memblokade jalur ekonomi Eropa-Asia itu.
Inilah negara Islam yang bersinggungan langsung dengan Kristen Eropa. Mirip Islam Indonesia. Yang juga jauh dari Mekah. Yang langsung bersinggungan dengan Hindu, Buda dan Konghucu.
Islam Turki juga sangat intens bersinggungan dengan Zoroaster. Dengan budaya tua Parsi.
Turki menarik untuk dibanding-bandingkan. Saya toh sudah ke seluruh pedalaman Tiongkok, Amerika, Meksiko, Iran, Jepang, India dan banyak lagi. Selamat tahun baru. (dis)