eQuator.co.id – ‘Saya hidup seperti kamu. Saya berdiri di sebelahmu. Tutuplah matamu. Lihatlah sekeliling. Kau akan melihatku ada di depanmu’ .
Saya baca kata-kata itu. Tergantung di banner. Tertera di dinding. Di ruang terakhir museum Khalil Gibran. Di depan peti matinya. Yang masih tersimpan mayat. Yang hampir 90 tahun di dalamnya. Entah masih bersama dagingnya. Atau sudah tinggal tulang-tulangnya.
Peti mati itu tiba dari New York tahun 1932. Setahun setelah kematian penyair dunia itu. Peti kayu di dalamnya. Peti baja di luarnya.
Saya lupa menghitung ada berapa ruang di museum itu. Agar Anda ke sana. Membantu saya menghitungnya. Rasanya sekitar 12 ruang. Yang semuanya gelap. Yang listriknya baru menyala satu persatu. Sesaat sebelum kita memasuki setiap ruangnya.
Museum ini penuh lukisan karya Khalil Gibran. Di setiap ruangan. Ada pula kursi dan tempat tidur. Beberapa. Yang pernah digunakannya di akhir hidupnya. Di New York. Di umur 48 tahun. Akibat sirosis hati. Dan sakit paru.
Gibran memang sangat menderita di akhir hidupnya. Kebanyakan minum cinta. Dan minuman keras.
Pernah ia cukup lama. Menyendiri. Di dalam kamarnya. Hanya berteman satu itu: yang memabukkannya itu.
Pun demikian perjalanan mabuk cintanya. Hubungannya yang panjang dengan Mary tidak berujung. Mary Hasel. Kepala sekolah di Boston itu. Yang punya reputasi tinggi itu. Yang bisa mengerti kesenimanannya Gibran itu. Yang jadi editor karya-karya Gibran itu. Yang lebih tua 10 tahun itu. Yang membawa Gibran ke komunitas seniman Boston itu. Yang membiayai hidup Gibran itu.
Keluarga Mary tidak pernah setuju. Pada rencana perkawinan mereka. Mary akhirnya kawin dengan pria lain.
Gibran ke New York. Sudah jadi seniman terkenal. Juga filosof terkemuka. Karya-karyanya dipuja.
Kumpulan puisinya hanya kalah dari Shankespeare dan Laozhi. Dari segi larisnya. Dan banyaknya dibaca. Tiga terlaris di dunia. Sepanjang masa.
Saat sakit-sakitan Gibran berpesan. Agar mayatnya dibawa ke tanah kelahiran: Lebanon. Bhasarre. Dimakamkan di sana.
Mary berunding dengan saudara Gibran. Yang jadi ‘ibu’ sepeninggal ibunya. Keduanya membeli bangunan tua. Bekas biara Katholik. Di tebing gunung Bhasarre itu. Untuk jadi makamnya. Dan museumnya.
Ditemukan begitu banyak surat-surat Mary. Di studio lukis Gibran. Di New York. Termasuk surat-surat romansa.
Mary sendiri juga menyimpan surat-surat Gibran. Semua. Yang semula akan dia bakar. Lantaran isinya. Dan romansanya.
Tapi Mary tidak emosi. Mengerti akan nilai histori. Diserahkan semua surat itu. Semua. Ke museum di Amerika.
Mary pun meninggal. Di tahun 1964.
Tentu sebagian surat itu juga ada di museum Bhasarre. Saya melihatnya. Ditaruh di dalam kaca.
Tapi 90 persen isi museum itu karya lukisnya. Yang 90 persen karya lukis itu obyeknya wanita. Dan 90 persen wanita itu tanpa busana. Baik satu wanita dengan satu pria. Atau satu wanita dengan beberapa pria. Atau beberapa wanita dengan satu pria. Atau satu wanita sendirian.
Gibran sangat beruntung. Saat kecil. Saat dijemput ibunya. Dibawa ke Amerika. Setelah ayahnya masuk penjara. Ayah yang apoteker itu. Ayah yang gila judi itu. Ayah yang ditinggalkan istri ke Amerika itu.
Di Amerika, Gibran kecil dimasukkan sekolah. Di Boston Selatan. Basisnya imigran dari Syiria. Atau Lebanon. Di situ Gibran belajar bahasa Inggris.
Kelak, setelah tahun 1923, karya-karya Gibran ditulis dalam bahasa Inggris. Sama hebatnya. Dengan karya-karya dalam bahasa Arab sebelumnya.
Umur 15 tahun Gibran dipulangkan ke Lebanon. Untuk masuk sekolah. Di Al Hikmah. Sekolah filsafat. Pereode inilah yang mengasah kefilosofian Gibran.
Tapi gurunya yang di Boston Selatan itulah. Yang menurut saya hebat. Sang guru bisa segera tahu kecenderungan si kecil Gibran. Yang mungkin aneh. Di mata orang biasa. Sang guru menyalurkannya. Memberinya muara. Membebaskannya. Jadi anak panah yang lepas. Melejit. Cepat. Yang tidak lagi tertinggal di busurnya.
Sang busur adalah ibunya. Dan gurunya itu.
Betapa banyak guru yang membuat patah anak panah nya. Tidak. Guru yang satu itu. (dis)