eQuator.co.id – Saran anak perempuan saya ternyata ada manfaatnya. Tiba di Mall Artha Gading setelah menempuh perjalanan 45 menit dengan bus Damri dari Bandara Soekarno-Hatta, saya disarankan ngopi dulu di Bangi Kopi. Karena dia akan ke mall itu dalam waktu tidak lama lagi.
Sambil menikmati segelas coffee latte, otak saya kembali disibukkan dengan ide bisnis untuk menghadirkan coffee shop di kantor-kantor. Coffee shop yang unik, modalnya kecil dan mudah direplikasi di seluruh Indonesia.
Ide ini saya peroleh di tengah pelaksanaan Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2018. Yang berlangsung selama 5 hari di Grand City Mall, Surabaya.
Di ajang pameran ekonomi syariah terbesar di Indonesia itu, saya mendapat banyak pengetahuan baru. Sangat menumbuhkan optimisme.
Pertama, begitu banyak stand yang memamerkan produk kopi khas Nusantara. Berarti sumber bahan bakunya melimpah.
Kedua, penggemar kopi begitu banyak. Dua konter kopi di stand Bank Indonesia senantiasa ramai pengunjung. Saya lihat yang ngopi mayoritas para profesional muda. Berarti potensi pasarnya besar dan “umur bisnis” ini masih panjang.
Ketiga, metode penyajian kopinya mayoritas manual brew. Dari sekitar 10 stand yang menyediakan minuman kopi gratis, hanya 1 yang menggunakan coffee maker elektrik. Kebetulan juga tidak ramai pengunjung. Berarti manual brew sudah menjadi tren baru.
Keempat, saya punya peralatan seduh kopi yang unik. Belum ada duanya: bamboo cone coffee dripper. Buatan warga dusun Ciburial. Yang menjadi pilot project binaan Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.
Kelima, saya bertemu dengan banyak petani kopi. Yang memiliki kebun sendiri. Yang sudah bisa mengolah kopi dengan kualitas bagus. Artinya saya punya sumber bahan baku dari tangan pertama yang bisa diandalkan.
Setidaknya karena lima hal inilah, ide menghadirkan coffee shop di kantor-kantor itu muncul. Dan menyala-nyala.
Dengan adanya kafe kantoran, semua karyawan di kantor-kantor bisa minum kopi asli Nusantara, dengan kualitas penyajian sekelas cafe, diseduh dengan manual brew, menggunakan bamboo cone coffee dripper Ceeburial.
Bila terealisasi, gagasan ini bisa berdampak luas. Karyawan kantor tidak harus meeting sambil ngopi di kafe yang mahal. Cukup di kantor. Masing-masing bisa menyeduh sendiri, melalui pelatihan barista untuk menghasilkan kopi yang lebih maknyuss.
Di tengah lamunan, tiba-tiba pelayan kedai kopi datang. Menyodorkan bill: Rp 30 ribu untuk segelas coffee latte.
Hmmm… seandainya semua karyawan di kantor-kantor bisa menyeduh sendiri, biaya segelas coffee latte itu mungkin lebih hemat dua per tiganya. Selain lebih efisien, ada nilai plus lainnya: punya keahlian sebagai barista. Ini bisa menjadi manfaat lain setelah pensiun.
Tiba-tiba saya teringat pada Pak Djarot, Kepala BATAN. Beberapa kali saya ngobrol dengannya soal koleksi kopi dan peralatan penyeduh kopi yang ada di ruang kerjanya. Saat wawancara untuk penerbitan buku “60 Tahun BATAN” yang sekarang hampir rampung.
“Saya ingin buka warung kopi setelah pensiun,” kata Pak Djarot, yang akan purna tugas 6 tahun lagi.
Sejurus kemudian, ingatan saya melayang ke kantor pusat Bank Mega Syariah. Saya pernah disuguhi kopi Pak Mardjana, direkturnya. Saat meminta kata pengantar buku saya: “Umrah Rasa F1” bulan April lalu.
Yes! Langkah pertama sudah ketemu. Saya harus membuat model. Saya perlu membuat pilot project-nya. Segera! (jto)
*admin disway.id, pegiat socioentrepreneur