Menang Praperadilan hingga Kasasi, Tapi Nuriana Malah Dipidana

Zulkarnaen Akan Bawa Perkara Ini ke MA dan KPK

WAWANCARA. Nur didampingi penasihat hukumnya saat memberikan keterangan terkait perkara yang dialaminya, Jumat (7/12)--Ocsya Ade CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Nuriana Ritonga, warga Jalan Putri Dara Hitam, Kelurahan Darat Sekip, Kecamatan Pontianak Kota ini sedang mencari keadilan. Perempuan kelahiran Pontianak, 10 Februari 1960 itu mengaku didiskriminalisasi ketika mempertahankan warisan dari orangtua angkatnya, alm Mudjab Ritonga dan almh Siti Ahoja Sinaga.

Dia dipidana dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Pontianak atas tindakan penyerobotan lahan seluas 1,4 hektar yang dituduhkan oleh Lukman Khodijaya.

Nur –sapaan akrab Nuriana— ini awalnya dilaporkan Lukman. Warga Jalan Soeprapto, Kelurahan Parit Tokaya, Pontianak Selatan itu menuduh Nur menyerobot lahannya yang terletak di Jalan Sumatera, Pontianak Selatan. Lantaran Lukman sudah memiliki sertifikat atas lahan tersebut. Yang dibelinya dari seseorang yang mengaku anak kandung dari alm Mudjab dan almh Siti.

Perjalanan perkara ini cukup panjang. Sejak tahun 2000. Banyak proses yang dilewati. Dalam perjalanan perkara ini, pada tahun 2006, Nur dilaporkan para pembeli tanah warisan tersebut. Salah satunya Lukman. “Sehingga, klien kami ini dilaporkan dan ditahan di Rutan Polresta Pontianak pada saat itu, selama 28 hari. Atas tuduhan penyerobotan atau menguasai tanah milik orang lain,” ujar Masko Riyani, SH, penasihat hukum Nur kepada sejumlah wartawan, Jumat (7/12) sore.

Lanjutnya menceritakan, sebagai langkah hukum, Nur melalui penasihat hukumnya mengajukan praperadilan dengan termohon Polresta Pontianak. Seingat dia, anggota Reskrim yang menangani perkara ini bernama Luthfi. “Dalam praperadilan itu, Nur menang. Pengadilan Negeri Pontianak mewajibkan dan mengharuskan Nur dan saudaranya yang turut ditahan, dibebaskan pada saat itu juga,” bebernya.

Amar putusan praperadilan ini, Nur mempunyai hak atas tanah yang disengketakan itu, karena terbukti sebagai ahli waris. Setelah bebas, Nur menggugat orang-orang yang membeli tanah orangtuanya ke PN Pontianak atas perbuatan melawan hukum. Termasuk menggugat Lukman. Saat itu, Nur kembali dimenangkan. “Hak-haknya (tanah sengketa, red) dikembalikan ke Nur selaku ahli waris. Ini sesuai putusan PN yang dikuatkan PT,” cerita Masko.

Tak terima, tergugat yang dinyatakan kalah itu melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak. Dalam banding itu, Nur kembali dimenangkan oleh PT Pontianak. Masih kurang puas, tergugat yang kalah mengajukan kasasi. “Nah, atas kasasi ini, Mahkamah Agung memutuskan NO. (Putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung catat formil),” ujar Masko.

Karena putusan PN dan dikuatkan oleh PT itu memenangkan Nur, maka sertifikat tanah yang dipegang Lukman disita sebagai jaminan. “Putusan NO, namun mereka (Lukman, red) juga tidak ada PK atau upaya hukum. Bahkan waktunya sudah habis. Nah, objek sengketa ini sudah dikuasai Nur selaku ahli waris,” terangnya.

Tiba-tiba, sambung Masko, Lukman kembali melaporkan Nur ke Polda Kalbar dengan tuduhan yang sama. Yakni penyerobotan. Dasarnya melapor adalah sertifikat yang sudah balik nama oleh seseorang yang mengaku anak kandung orangtua angkat Nur tersebut.

“Klien kami dituduh lagi menyerobot dan menyewakan tanah ke orang lain. Bukan disewakan, tapi bayar orang suruh jaga dan rawat lahan itu. Kalau pun itu disewakan, ya nggak masalah. Kan klien kami ahli waris. Sesuai dengan putusan praperadilan, PN dan PT,” tegasnya.

Masko berpandangan, setelah adanya putusan dari MA, kliennya tidak bisa dilaporkan kembali dalam perkara yang sama. “Tapi klien kami dilaporkan ke Polda Kalbar. Saat itu Kapoldanya Pak Arief Sulistyanto. Tidak jalan perkaranya. Karena kita sampaikan semua bukti putusan yang memenangkan klien kami. Lalu, zaman Kapoldanya Pak Musyafak, klien kami dilaporkan lagi. Tidak jalan juga. Lha, kita sudah menang dan benar kok,” ujar dia.

Menurut Masko, lawan dari kliennya ini memang mencari celah untuk melakukan perlawanan. Hampir setiap pergantian Kapolda, pejabat PN dan Jaksa, Nur selalu dilaporkan dengan aduan yang sama. “Termasuk saat Kapoldanya Pak Erwin. Klien kami juga dilaporkan. Ini saya lihat ada trik-trik tertentu dan tujuan tidak baik. Nah, karena ini Kapolda baru (Irjen Pol Didi Haryono, red) belum tahu perkaranya. Bukti kita menang sudah dimasukan, tapi perkaranya jalan terus,” bebernya.

Akhirnya, kata Masko, kliennya divonis bersalah oleh PN Pontianak dan dijatuhi hukuman 7 bulan penjara. “Dia mau apakan tanah itu, sebenarnya klien kami punya hak. Kan dia ahli waris. Kecuali menjual, tidak boleh. Karena kasus ini NO,” terang dia.

Masko juga mempertanyakan relevansi Lukman kembali melaporkan Nur. Terlebih, Lukman dianggap ada ‘bermain’ ke pihak-pihak tertentu terkait sertifikat yang disita sebagai jaminan. “Status sertifikat itu kan sita jaminan, tidak boleh dipindahtangankan. Kok bisa itu jadi dasar laporan. Ini ada apa,” katanya.

Sementara itu, Nur mengaku sejak awal sudah merasakan adanya kejanggalan dari proses hukum kasus baik perdata dan pidana yang dialaminya. “Saat saya diperiksa di Polda, ada oknum yang bilang saya tidak akan menang lawan Lukman. Melawannya sama dengan melawan tembok. Bukti-bukti putusan praperadilan dan putusan PN, PT dan MA juga tidak diterima penyidik dengan alasan tidak nyambung dengan kasus yang saya hadapi,” kata Nur.

Kejanggalan lainnya, lanjut Nur, proses sidang pertama dan kedua tidak ada panggilan resmi dari pengadilan untuknya. Pada sidang ketiga, barulah ia mendapat kabar jika pada Januari 2018 harus mengikuti sidang. “Informasi sidang itu pun bukan pakai surat resmi. Saya dikabari melalui telepon. Setelah saya protes barulah surat panggilan resmi itu diberikan kepada saya. Intinya, saya tidak pernah menjual tanah warisan. Yang menjual adalah orang lain yang mengaku anak kandung dari orangtua angkat saya,” bebernya.

Nur mengatakan, orangtua angkatnya memang tidak memiliki anak. Sehingga Nur dan kakaknya diangkat seperti anak sendiri. Dalam kompilasi hukum Islam, Nur dan kakaknya yang berhak atas warisan itu. Dan, ini pun disetujui oleh keluarga-keluarga orangtua angkat mereka yang sempat dijadikan saksi dalam persidangan perkara tersebut.

Sejatinya, kasus ini juga disoroti Sekretaris Komisi I Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Prov Kalbar, Zulkarnaen Siregar. Ia mengatakan, secara resmi telah menerima pengaduan dari Nur yang merasa telah didiskriminalisasi. “Saya sudah sejak lama mengawal kasus ini. Terlihat jelas banyak kemiringan dalam penanganan kasus yang dialami Nuriana,” kata Zulkarnaen.

Ia berharap kepada penegakan hukum di negeri ini lebih jeli dalam menangani kasus tersebut. “Kasus ini luar biasa. Ada kriminalisasi. Saya berharap aparat hukum di pusat meneliti kasus ini sebaik mungkin. Karena ini akan mencuat sampai ke pusat. Kami akan melapor ke MA, Jaksa Agung, DPR RI, Mabes Polri bahkan KPK. Ada dugaan kemiringan dalam kasus ini,” ujarnya.

Menurutnya, kasus ini ‘lucu’ dan belum pernah terjadi di Indonesia. “Ini ada apa. Ini agak aneh. Saya akan giring kasus ini ke pusat. Saya nanti rapat kerja dengan DPR RI agar semua pihak terkait dipanggil. Diperiksa. Kalau perlu KPK turun tangan,” tegasnya. (oxa)