eQuator.co.id – Tanyalah orang Meksiko. Yang sudah lama tinggal di Indonesia. Jawab mereka sama: Meksiko itu persis Indonesia. Dalam hal perilaku politiknya.
Mereka salah: Indonesialah yang persis Meksiko.
Sabtu kemarin Meksiko melantik presiden baru: Lopez Obrados. Umur: 65 tahun. Istri pertama meninggal karena paru-parunya. Istri berikutnya mantan stafnya: saat jadi gubernur ibukota.
Ia berjanji melakukan perubahan besar di Meksiko. Satu perubahan yang nyata. Begitu nyatanya sampai ia sebut sebagai revolusi keempat.
Itulah inti pidato pertamanya. Setelah upacara pelantikan Sabtu kemarin. Bikin revolusi keempat.
Tiga revolusi sebelumnya memang nyata: merdeka dari Spanyol (1820), merdeka dari gereja (1850), merdeka dari kediktatoran (1920).
Masih belum jelas: revolusi keempat itu merdeka dari apa. Kan baru janji. Begitu banyak janji kampanye yang menguap begitu saja.
Pidato-pidato kampanye El Peje memang memikat. El Peje adalah nama julukannya. Tapi saya tidak menangkap ide yang besar sekali. Kampanye itu saya ikuti dengan sasama. Terutama saat saya mengelana di dekat-dekat Meksiko. Bulan puasa lalu. Masuk lewat perbatasannya dengan Texas. Sambil potong rambut.
Yang selalu ia tegaskan: akan mendengar semua suara rakyat. Kanan maupun kiri. Mayoritas maupun minoritas. Akan memperbanyak perusahaan negara. Yang terlanjur banyak dijual di masa lalu. Akan memproduksi semua barang yang diperlukan rakyat. Tidak mau impor lagi. Mengecam para pengusaha. Yang ia sebut seperti merasa jadi pemilik negara’. Ia kecam cara militer: dalam memerangi mafia obat bius. Akan ia perbanyak program sosial untuk rakyat.
Tapi ia juga menegaskan: akan menciptakan iklim usaha yang baik. Akan membina hubungan dengan Amerika. Akan menggunakan militer untuk memberantas kriminalitas.
Kita memang harus sabar menunggu: siapa tahu Obrados punya senjata rahasia. Yang masih disembunyikannya.
Yang jelas Obrados bukan orang yang mudah menyerah. Sudah dua kali ia gagal dalam Pilpres. Tahun 2007 dan 2012. Hanya dapat 35 dan 32 persen. Juli lalu maju lagi: menang sangat meyakinkan.
Yang juga jelas: Obrados adalah presiden yang paling kiri dalam sejarah Meksiko. Saking kirinya banyak yang takut. Seperti yang diserangkan lawan politiknya: kalau Obrados terpilih Meksiko bisa bernasib seperti Venezuela. Ke negara gagal.
Banyak pula yang khawatir: kemenangan Obrados ini jangan-jangan hanya karena rakyat sudah bosan. Setelah beberapa kali dapat presiden yang dinilai kurang tegas.
Seratus tahun terakhir Meksiko memang menganut aliran neolib. Terbukti tidak bisa membuat Meksiko maju. Ekonominya sekelas dengan Indonesia. Kehidupan sosialnya mirip-mirip. Hanya beda di agama. Meksiko Katholik. Indonesia Islam.
Politiknya sangat mirip: jual beli suara. Pun suap menyuapnya. Pun jegal-jegalannya. Pun janji-menjanjinya.
Jangan lupa: Ideolog Orde Baru memang belajar politik ke sana. Waktu itu ada partai yang sudah berkuasa 50 tahun lebih. Partai PRI. Kok bisa. Ingin tahu: bagaimana sebuah partai bisa berkuasa lama.
Dari situlah inspirasinya: mengapa dibuat Golkar. Mengapa Golkar bisa berkuasa lebih dari 30 tahun.
Hanya saja sang murid masih tetap kalah dari guru: PRI berkuasa selama 90 tahun.
Golkar runtuh di tahun 1999. PRI baru tumbang setahun kemudian.
Kini Meksiko mulai meninggalkan neolib. Dalam kata-kata. Obrados benar-benar tidak mau tinggal di istana. Tetap akan tinggal di rumahnya.
Tapi kultur politik neolibnya sudah begitu dalam. Traksaksional politiknya sangat mengakar. Termasuk kultur hipokrisi masyarakat politiknya. Semua itu akan direvolusi oleh El Peje.
Obrados memang mendapat julukan kuat: El Peje. Diambil dari nama ikan di kampung halamannya: ikan pejelagarto. Yang moncongnya seperti buaya. Siapa tahu gigi El Peje sangat kuat mengunyah segala keruwetan di negerinya. (dis)