eQuator.co.id – G-20 kalah dengan G-2. Pertemuan 20 negara terbesar di dunia (ekonominya) itu tenggelam. Oleh 2 orang ini: Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Argentina menjadi saksinya. Maka, kalau ditanya apa hasil pertemuan G-20? Di Argentina? Tanggal 30 November 2018? Tidak banyak yang tahu.
Tapi kalau ditanya apa hasil pertemuan antara Jinping dan Trump? Di Argentina, sehari kemudian itu?
Anda pun tahu jawabnya: gencatan senjata. Sepakat untuk tidak meningkatkan perang dagang. Antara Amerika dan Tiongkok.
Gencatan senjata itu berlangsung 90 hari. Juru runding kedua negara akan bertemu. Harus sudah menyepakati banyak hal.
Sementara mereka berunding, Amerika membatalkan rencananya: menaikkan bea masuk barang Tiongkok. Dari tambahan 10 persen menjadi 25 persen. Yang nilainya mencapai US 200 miliar dolar. Yang rencananya dimulai 1 Januari depan. Tiongkok pun membatalkan rencana balasan setimpalnya.
Agenda yang harus diselesaikan adalah: Tiongkok harus membeli barang lebih banyak dari Amerika. Terutama produk pertanian. Ini sebenarnya sudah lama ditawarkan Tiongkok.
Agenda lain: soal transfer teknologi. Soal perlindungan hak cipta. Soal perluasan kesempatan berusaha di Tiongkok bagi perusahaan Amerika. Dan sebaliknya. Soal intip-mengintip rahasia negara. Lewat teknologi cyber. Soal kebijakan one China policy dalam urusan Taiwan.
Ups… banyak banget. Bagaimana kalau dalam tiga bulan tidak ada kesepakatan? Perang dimulai lagi. Tarif 25 persen diberlakukan. Tiongkok pun membalas dengan tit for tat.
Jinping sudah banyak mendapat pelajaran pahit. Selama perang dagang. Empat bulan terakhir: pertumbuhan ekonominya menurun satu persen.
Trump juga mendapat pelajaran. Petaninya marah-marah.
Tapi tim negosiasi juga masih sulit. Waktu tiga bulan semoga cukup.
Untungnya situasi lingkungan sudah berubah. Sedikit.
Di Amerika, Partai Republik kalah. Dalam Pemilu sela. Bulan lalu. DPR kini dikuasai Partai Demokrat.
Di Tiongkok juga muncul kesadaran baru. Berakar dari sejarah Tiongkok kuno: mengalah untuk menang.
Bahkan filsafat Deng Xiaoping dimunculkan kembali. Agar Tiongkok jangan terlalu menepuk dada dulu. “Sembunyikan kekuatanmu. Pupuk kemampuanmu”.
Di Taiwan juga ada perubahan: Partai yang ingin Taiwan merdeka kalah. Dalam Pemilu bulan lalu. Yang pro-Tiongkok menang.
Daerah-daerah di Taiwan pun mulai bikin rencana sendiri: mempererat hubungan. Antara satu daerah di Taiwan dengan satu daerah di Tiongkok. Tanpa membicarakannya dengan pemerintah pusat di Taipei. Yang presidennya masih yang pro-merdeka.
Tiongkok kelihatannya juga berubah: tidak akan memaksakan merebut Taiwan tahun 2025. Masih perlu “memupuk kemampuan” lebih lama.
Mungkin sampai memiliki lima kapal induk dulu. Yang sekarang baru punya dua. Tiongkok tidak akan kesusu. Toh situasi di Taiwan juga sudah berubah.
Kita, yang menonton perang dagang itu sambil berdebar, bisa menarik nafas panjang. Selama 90 hari. (dis)