Inilah paduan suara berbahasa isyarat pertama di Kalimantan Selatan. Bahkan mungkin yang pertama di Indonesia. Kemarin, 22 warga tuli asal Banjarmasin menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi yang sunyi.
SYARAFUDDIN, Banjarmasin
eQuator.co.id – SEKADAR fasih berbahasa isyarat belum lah cukup. Lirik lagu bisa saja diterjemahkan dalam gerakan tangan dan ekspresi wajah. Tapi untuk menyanyi dengan benar, dibutuhkan tempo yang tepat.
“Bagian tersulit adalah menyelaraskan tempo lagu. Ketika temponya cepat, tangan kami kesulitan mengiringinya,” kata Rini Hayati, salah seorang anggota paduan suara.
Wawancara ini bisa terwujud berkat bantuan Shintya Subhan, guru SDN Banua Anyar 8. Dia yang membantu menerjemahkan pertanyaan wartawan dalam bahasa isyarat. Kemudian menerjemahkan jawaban Rini dalam bahasa lisan untuk dicatat.
Kemarin (1/12), Banjarmasin memperingati Hari Disabilitas Internasional 2018. Peringatan dipusatkan di panggung siring Jalan RE Martadinata, seberang Balai Kota.
Di situ, Rini dan kawan-kawannya diberi kesempatan untuk tampil di depan publik. Semua kompak mengenakan pakaian warna hitam putih. Istri Wali Kota Banjarmasin, Siti Wasilah bahkan menangis haru saat menonton paduan suara itu tampil.
“Hambatan utama kami adalah pendengaran. Untuk mendapatkan tempo lagu, kami kemudian berlatih dengan mendengarkan getaran,” imbuhnya. Rini lebih senang menggunakan istilah ‘mendengarkan getaran’ ketimbang ‘merasakan getaran’.
Selama dua pekan mereka berlatih. Anggota paduan suara lainnya, Rabiatul Adawiyah, mengaku girang bisa tampil di depan orang banyak. Dia bangga akhirnya bisa menyanyikan lagu kebangsaannya sendiri. “Kami tidak perlu merasa malu,” tegasnya.
Rabiatul bertekad untuk mempelajari beberapa lagu lainnya. “Kami juga sedang mempelajari teater sunyi. Ini bukti bahwa teman-teman tuli bisa berkarya dengan caranya sendiri. Bernyanyi dalam sunyi,” ujarnya.
Sebagai ucapan terima kasih kepada pemko, grup itu kemudian diberi nama Paduan Suara Bahasa Isyarat Baiman. Mencomot semboyan yang kerap digaungkan Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina dan wakilnya Hermansyah.
Dalam kesehariannya, Rini dan Rabiatul aktif di Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia cabang Banjarmasin. Rini sebagai ketua dan Rabiatul sebagai bendahara organisasi.
Salah satu kegiatannya adalah memberdayakan kawan-kawan tuli mengolah kerajinan tangan. Semisal miniatur rumah adat Banjar dengan mendaur ulang logam sisa material konstruksi.
Namun, apakah gol mereka cuma sebatas merayakan HDI berskala besar? Jawabannya tentu tidak. Penyandang disabilitas masih menghadapi dua musuh terbesar: diskriminasi dan bullying.
Olok-olokan di tengah pergaulan masih kerap terdengar. Mereka juga diganjal ketika hendak memasuki dunia kerja. Kisah ini dialami salah seorang anggota paduan suara, Said Khaidir.
Tahun 2014, Said lulus dari SLB (Sekolah Luar Biasa) Dharma Wanita. Bermodal ijazah dari sekolah di Jalan Dharma Praja tersebut, dia memberanikan diri untuk melamar pekerjaan ke salah satu rumah sakit swasta di Banjarmasin.
“Saya melamar untuk menjadi office boy sekitar tahun 2016. Sekarang sudah akhir 2018, tak kunjung ada panggilan kerja. Saya paham, mereka mungkin takut mempekerjakan orang tuli,” ujarnya.
Ketimbang menganggur, Said menyibukkan diri dengan membantu usaha milik orang tuanya. Kisah Said dituturkan lewat bantuan penerjemah bahasa isyarat, Selly Madayanti. (*/Radar Banjarmasin)