eQuator.co.id – Tumben. Sopir Grab ini orang suku Dusun.
Tumben lagi. Sopir Grab kali ini orang suku Bajau.
Biasanya, di Sabah, sopir seperti ini orang asal Sulawesi. Begitu menonjol suku Bugis di sini.
Misalnya waktu saya ke gunung Kinabalu. Saya salah sangka. Saya kira sopir ini suku Tionghoa. Kulitnya dan matanya itu. Tidak ada bedanya.
“Saya bukan Chinese,” katanya. Ketika saya ajak ia bicara bahasa Mandarin. “Saya suku Dusun,” tambahnya.
Apakah suku Dusun bagian dari masyarakat Dayak?
“Bukan,” jawabnya. Saya pun salah lagi. Saya banyak punya teman Dayak. Di Kaltim. Atau Kalteng. Kadang sulit dibedakan dengan Tionghoa.
Ia pun banyak bercerita tentang sukunya. Dalam bahasa melayu. Yang sudah lebih mirip dengan bahasa Indonesia. Beda dengan bahasa melayunya orang Semenanjung.
Saya tidak sampai di puncak Kinabalu. Tidak akan kuat. Kecuali dipaksakan. Tingginya 4.100 meter. Lebih tinggi dari Gunung Semeru.
Dan lagi saya masih harus ke Labuhan. Yang berarti harus naik Grab yang lagi lagi: 3 jam lagi. Ke pulau yang bebas pajak di Malaysia itu.
Kali ini sopirnya anak muda. Ganteng. Rambutnya agak panjang. Lehernya agak pendek. Pakai kaus ketat. Celana jean. Sandalnya jepit. Easy going. Namanya: Shawal.
Anak ini asyik. Sebagai teman seperjalanan.
Mobilnya Perodua. Sekelas Avanza. Mobil nasional kedua di Malaysia. Setelah Proton.
Shawal memasang wifi di mobilnya. Juga mengganti radionya. Dengan memasang layar monitor di posisi radio itu.
Shawal melakukan itu karena suka main youtube di mobilnya. Dengan wifinya itu. Salah satu yang ia suka adalah Londo Kampung. Yang pengaksesnya sudah lebih 40 ribu.
Dari situ Shawal mengerti banyak istilah jorok dalam bahasa Indonesia: gombal. Misalnya. Atau menggombali. Ia juga tahu kosa kata cewek. Dalam berbagai konotasinya.
Saya belum pernah melihat Londo Kampung. Maka Shawal pun tune ke youtube. Untuk saya. Cari Londo Kampung. Sambil ngebut.
Saya ikut tertawa-tawa ngakak. Bagaimana orang bule itu ngeprenk di mall. Pakai bahasa Indonesia. Juga pakai bahasa Suroboyoan.
Rupanya Londo (orang Jawa menyebut semua orang bule sebagai Londo) itu tinggal di Surabaya. Hafal lagu-lagu bertema Surabaya. Atau lagu-lagu dangdut.
Misalnya saat si Londo naik eskalator. Di belakang seorang cewek. Ia teriak keras: ‘Rek!’. Seolah memanggil cewek itu. Ketika si cewek menoleh, si Londo ternyata meneruskan kata ‘rek’ itu. Menjadi sebuah dendang lagu ‘Rek ayo rek mlaku-mlaku…’ dengan cueknya. Sambil melengos dari si cewek.
Aksi ngeprenk Londo Kampung itu memang menjengkelkan. Bagi yang kena tipu. Tapi menyenangkan. Bagi yang menonton.
Meski suku Bajau, Shawal sudah lahir di darat. Pemerintah Malaysia memang memiliki program ‘mendaratkan’ suku yang tinggal di atas laut itu.
“Rumah Bajau masih tetap utuh di atas laut. Tapi sudah banyak kosong. Tinggal untuk tambat perahu,” katanya.
Shawal sendiri lulusan studi perhotelan. Pernah kerja lima tahun di Kuala Lumpur. Di salah satu hotel di ibukota. Tapi ia tidak kerasan. “Enak tinggal di kampung halaman,” katanya.
Ketua Menteri (semacam gubernur) Sabah kini juga orang Bajau: Datuk Shafeei Abdal. Bajau dari daerah Sampurna. Tidak begitu jauh dari Nunukan, Indonesia.
Dari Shawal ini pula saya tahu: Bajau itu memiliki banyak Sub suku:
Bajau Suluk
Bajau Ubian
Bajau Samah
Bajau Laut
Bajau Sungai
Saya menjadi ingat: pernah diminta jadi pembicara di Kongres Bajau Sedunia. Di Kangean. Dua tahun lalu. Yang saya tidak bisa hadir. Harus sibuk dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Menurut Shawal suku Bajau terbanyak tinggal di Filipina Selatan. Sabah nomor dua. Padahal, kata saya, Indonesia lah yang nomor dua. Wallahualam.
Sejak berpisah dari Shawal saya selalu dapat sopir orang Bugis. Umumnya sudah kelahiran Sabah.
Setelah keliling Sabah saya melihat KK bakal lebih maju. Bandaranya besar: bisa didarati Airbus 380. Meski belum pernah ada jenis itu yang mendarat di sana.
Jurusannya pun sudah luas: Jepang, Korea, Hongkok, Singapura. Yang domestik lebih banyak lagi. Tapi tidak satu pun yang jurusan tetangga dekatnya di selatan.
Sabah begitu dekat.
Juga begitu jauh. (dis)