Namanya singkat: Ahmad. Panggilannya lebih sederhana lagi: Amat. Namun kegigihannya tak sesederhana namanya. Dia menjadi siswa paling gigih di sekolah menengah pertama (SMP) di Batola meski usianya sudah 20 tahun.
AHMAD MUBARAK, Marabahan
eQuator.co.id – Umur Amat memang tidak bisa dikatakan biasa untuk siswa yang duduk di bangku SMP kelas 9. Teman-teman sekelasnya semenjak SD bahkan sudah duduk di bangku kuliah. Amat masih berjuang untuk merampungkan studinya di SMP.
Eva Triyani, guru SDN Ulu Benteng 4 yang menjadi tempat Amat sekolah dulu, mengatakan di SD saja, Amat tidak naik kelas sebanyak empat kali. “Amat tidak naik kelas saat kelas 1 SD sebanyak dua kali. Dan kelas 2, sebanyak dua kali juga,” ujarnya.
Eva mengungkapkan, Amat tidak naik kelas bukan karena nakal atau sering bolos sekolah. Tetapi karena daya tangkapnya memang sedikit lemah dari teman-temannya. “Walaupun lemah daya tangkapnya, amat tetap sekolah. Dia selalu sekolah dan tidak pernah malu,” ucap Eva bangga.
Eva menambahkan dengan kondisinya, dia tak pernah menyerah. Sebagai bukti, dia bahkan meminta pelajaran tambahan. “Tidak jarang dia ke kantor guru meminta belajar secara intensif. Dan pulang sekolah harus bertahan dulu untuk diajarkan lagi pelajaran sebelumnya,” cerita Eva yang tetap sabar mengajar Amat kdi kelas 1 dan 2 SD, dikarenakan guru lain sudah angkat tangan.
Sejak diajari Eva, Amat sudah mendingan. Ini bukti bahwa Amat memang bisa belajar normal, hanya memang guru harus lebih sabar. Amat bahkan bisa mengikuti ujian dan lulus SD.
Sayangnya, setelah lulus SD Amat tidak melanjutkan sekolah. “Dia tidak melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Tapi setahun setelah itu dia kembali melanjutkan sekolah,” ujar Eva. Gurunya yang setia itu pula yang mendaftarkan Amat sekolah SMP.
Radar Banjarmasin sendiri berkunjung ke rumah Amat di Jalan Panglima Batur RT 18, Marabahan. Saat ditemui penulis, dia sedang asik memperbaiki rengge (jaring penangkap ikan). Sehari-harinya, Amat memang bekerja sebagai pencari ikan di sungai.
Kepada penulis, Amat mengatakan dia memang sering tidak naik kelas saat SD. Juga sempat satu tahun tidak melanjutkan sekolah. Alasannya: karena tidak diizinkan orang tua. Alasan orang tua? “Karena tidak ada biaya untuk sekolah, padahal saya ingin melanjutkan sekolah langsung setelah lulus SD,” ujarnya.
Amat tak menyerah begitu orang tuanya mengangkat tangan akan biaya sekolahnya. Selama satu tahun itu dia bekerja mencari uang mengambil upah menanam padi pada musim tanam, dan menjadi buruh panen padi saat musim panen.
Pada saat bekerja tersebut Amat berhasil menabung beberapa juta. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membeli mesin kelotok yang ditempelkan ke kelotok kecil untuk merengge. Dia juga membeli sebuah sepeda. “Saat itu saya sudah merasa mampu untuk sekolah, dan meminta Ibu Eva mendaftarkan saya sekolah kembali,” ceritanya.
Amat mengaku untuk sekolah dia menggunakan uang hasil kerjanya sendiri. Mulai dari pakaian hingga jajan. Dari mana dia dapat uang? Ternyata Amat merengge begitu pulang sekolah. Dia bekerja hingga malam hari. Di saat musim ikan, dia bahkan bekerja sampai satu malam penuh. “Kadang jam 5 pagi baru pulang ke rumah,”ucap lelaki yang bertubuh liat dengan tinggi badan sekitar 170 centimeter ini. Penghasilannya lumayan jika musim ikan. Dia pernah satu malam menghasilkan uang Rp 500 ribu.
Amat merengge di sungai Barito, sekitar 1 Km dari rumahnya. Dia bisa bertahan dalam kegelapan di perahu hingga dinihari. Amat mengaku tidak takut karena sudah biasa. Pekerjaan tersebut sudah digelutinya hampir 4 tahun. Amat mengaku pekerjaannya tidak begitu menganggu sekolahnya. Dia hanya sesekali tidur pada saat jam istirahat dan saat pelajaran kosong.
Dengan kondisinya, Amat tetap bercita-cita ingin melanjutkan sekolah hingga SMK. “Setidaknya bisa jadi mandor di perusahaan sawit,” ujar Amat yang mengaku menabung sedikit demi sedikit untuk keperluan masuk SMK nanti.
Dengan daya tangkapnya yang lemah pada pelajaran, Amat lebih pada keahlian lain. Dia telah mengumpulkan papan untuk membangun rumah kecil di tepi sungai Barito. Rumah itu menjadi tempatnya istirahat setelah selesai merengge pada malam hari. Dia membangun rumah itu awalnya agar tidak membangunkan orang tuanya pada malam hari.
Sementara itu, Sainah ibu kandung Amat merasa senang dengan pencapaian amat. Amat bisa sekolah dengan biayanya sendiri dan sudah bisa memnbatu orang tuanya. “Tidak jarang dia membeli keperluan dapur dari hasil kerjanya,” ujarnya.
Sainah mengaku dulu sempat melarang Amat sekolah karena biaya dan daya tangkapnya yang lemah dibandingkan orang lain. “Saya takut dia diejek saat sekolah. Tapi sekarang Amat membuktikan, walaupun dia lemah di pelajaran, tapi dia sangat gigih dalam bekerja,” ujarnya.
Di mata teman-temannya, Amat merupakan lelaki yang periang. Di umurnya yang lebih tua dia sangat mudah membaur. Sebagai siswa yang sudah bekerja, dia sering mentraktir temannya jajan. Tidak jarang teman-temanya membantunya dalam pelajaran. “Dia orangnya baik, kelakuannya masih sama seperti kami, sering bermain, ujar Barak teman sekelasnya. “Amat berhitung masih lemah, kadang dia tidak sungkan meminta bantuan kami,” ceritanya.
Di mata guru-guru SMP-nya, Amat dikenal sebagai sosok yang ringan tangan. “Dia tidak pernah melawan guru. Setiap kali disuruh dia selalu siap dan tidak pernah menolak,” ujar Hartami, Guru olahraga di SMPN 3 Marabahan, tempat Amat sekolah. Hartami menilai, walaupun Amat lemah di pelajaran sekolah, tetapi sikapnya membuat guru-guru senang. Amat kerap menawarkan ikan hasil tangkapan amat kepada guru-guru lainnya. “Kadang dia menghampiri saya menawarkan ikan hasil tangkapannya. Tidak jarang guru-guru disini memesan ikan kepadanya, seperti ikan Haruan, Lais Bamban, dan sebagainya.”
Menurut Hartami, Amat memiliki potensi yang besar di bidang olahraga. Dia memiliki kecepatan yang tinggi saat berlari. Ditunjang tubuhnya yang yang besar, Amat sebenarnya berbakat di lempar lembing. Hanya saja menurut Hartami amat tidak bisa mengikuti lomba antar pelajar (O2SN) karena berbenturan dengan umur.
“Umur Amat sudah mencapai 20 tahun, sehingga tidak bisa mengikuti O2SN. Dia hanya bisa mengikuti lomba yang tidak formal. Seperti lomba di sekolah atau, 17-an. Dia selalu juara,” kagum Hartami. (*/Radar Banjarmasin)