Tulis Buku sebelum Pensiun

Oleh: Joko Intarto

Joko Intarto dan Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Seorang tamu datang ke kantor saya, pekan lalu. Teman lama. Kakak kelas waktu kuliah. ‘’Saya sebentar lagi pensiun. Mau ngapain setelah pensiun ya?’’ tanya teman saya.

Gawat! Kata saya dalam hati. Kalau menganalisis pertanyaan itu, sepertinya teman saya belum siap pensiun. Beda kalau dia bertanya begini: ‘’Saya sebentar lagi pensiun. Bikin bisnis bareng yuk…’’

Banyak orang yang masih saja bingung ketika masa pensiun sudah di depan mata. Tinggal beberapa tahun. Bahkan beberapa bulan. Teman saya itu salah satunya.

‘’Sampeyan kan pimpinan. Punya kemampuan leadership. Punya pengalaman mengorganisasi karyawan dan sebagai pimpinan sampeyan sukses. Perusahaannya maju,’’ jawab saya.

‘’Ya, tapi saya kalau pensiun kan bukan siapa-siapa lagi,’’ sahutnya.

Oh, rupanya teman saya sudah terjangkit sindrom kehilangan jabatan. Perasaan ini dialami semua calon pensiunan. Saya yang pensiun dini atas permintaan sendiri pun mengalami hal yang sama.

‘’Berapa lama sampeyan bekerja?’’ tanya saya.

‘’Dua puluh lima tahun. Saya kerja mulai level staf rendahan,’’ jawabnya.

‘’Banyak dong pengalamannya?’’ tanya saya.

‘’Banyak banget. Pengalaman susah. Senang. Perusahaan kan banyak masalahnya. Saya yang harus menyelesaikan,’’ katanya.

‘’Nah! Berarti sampeyan bisa harus segera menulis buku sebelum pensiun,’’ kata saya setengah berseru. Dia sampai terlonjak. Kaget.

Rupanya, mendengar kata menulis buku, teman saya langsung merasa pusing. Membaca buku memang kegemarannya. Tapi menulis buku? ‘’Saya belum pernah menulis buku. Rasanya malah nggak bisa. Mau menulis buku apa? Biografi?’’ tanyanya.

Kebanyakan orang memang akan mengasosiasikan buku dengan biografi. Padahal, buku tidak harus biografi. Beragam topik bisa ditulis dalam sebuah buku. ‘’Pengalaman sampeyan memimpin perusahaan dengan berbagai masalahnya sepertinya menarik untuk dibukukan,’’ jawab saya.

‘’Menariknya di mana?’’ tanya dia.

Saya kemudian mengambil satu contoh. ‘’Pernah nggak perusahaan sampeyan mengalami situasi krisis yang parah. Saking parahnya, terancam bangkrut atau tutup,’’ tanya saya.

‘’Wah kalau itu sudah beberapa kali. Karena terimbas situasi ekonomi nasional. Ada karena mismanagement membuat perusahaan kami hampir kolaps,’’ jelasnya.

‘’Strategi lolos dari krisis, tampaknya menarik,’’ pancing saya.

Sepertinya teman saya mulai paham. Tidak tampak bingung seperti tadi. Mulai tersenyum.

‘’Tularkan pengalaman sampeyan kepada jutaan anak muda yang sekarang sedang membangun bisnis. Jangan sampai mereka harus bangkrut karena kelamaan menemukan solusi. Cukup baca buku sampeyan 2 atau 3 jam. Jadilah coach untuk mereka,’’ lanjut saya.

Kali ini, dia mulai manggut-manggut. (jto)

 

*Pengajar Writing in Action pada 

Disway Institute, Redaktur Tamu eQuator.co.id