Setiap hari selama lima bulan Stephen Langitan harus melintasi jarak 600 kilometer, termasuk di beberapa wilayah konflik. Pernah nyungsep sekali, tapi motor tak rusak. Ganti ban pun cuma sekali.
AGFI SAGITTIAN, Jakarta
eQuator.co.id – GROSAAAKKK…! Suara keras itu keluar dari mikrofon kamera aksi yang tertancap di helm. Gambar bergoyang. Seketika lensa pun beradu dengan permukaan tanah penuh pasir.
’’Hahaha, ini pas saya jatuh di jalanan di Turki. Saat itu mata ngantuk berat dan saya menikung terlalu kencang di jalanan yang penuh pasir,’’ ungkap Stephen Langitan menunjukkan salah satu rekaman video footage saat dia mengendarai motor.
Pengalaman ’’nyungsep’’ di Turki itu merupakan satu di antara sekian banyak pengalaman mendebarkan yang akhirnya menjadi cerita manis. Selama melakoni perjalanan dengan mengendarai motor sendirian (solo riding) dari Jakarta ke London pada 25 Maret hingga 17 Agustus 2018.
Selama kurun waktu lima bulan itu, pria berusia 54 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai bloger tersebut melintasi total 26 negara. Memacu Kawasaki Versys 250 dengan livery merah putih.
Stephen memang penggemar motor. Ide ’’gila’’ solo touring Jakarta–London itu datang setelah ayah dua anak tersebut menuntaskan berbagai tur bermotor ke sudut-sudut tanah air.
Awalnya, dia bermaksud solo touring Jakarta–India. Tapi, setelah menghitung biaya, selisihnya tak banyak dengan kalau bablas ke Eropa. Pada akhir 2017, jadilah dia memantapkan niat bermotor dari Jakarta ke London.
Rekan-rekannya langsung menganggap itu rencana gila. Sendirian. Pada usia yang sudah 54 tahun lagi. Sang istri juga sempat tak percaya dan melarang ketika Stephen menyampaikan ide tersebut.
Tapi, Stephen jalan terus. Dari hitungan di atas kertas saja, rencana awal yang bakal ditempuh sejauh 30.000 km melintasi 30 negara. Jarak tersebut hampir sama dengan Sabang–Merauke enam kali PP (pergi pulang).
’’Semua bilang gila, tapi saya bertekad bahwa misi ini harus direalisasikan. Apalagi, saya sudah mengusung misi kibar Merah Putih. Bangga rasanya membayangkan Merah Putih melintas di jalanan negara-negara yang saya lewati,’’ ujar pria kelahiran 23 September 1964 itu.
Stephen langsung menyusun strategi. Untuk mengejar finis tepat pada Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2018 di London.
Peta dunia dia buka. Satu demi satu negara dia pelajari rutenya. Dia sempat gentar juga saat mendapati bahwa rute menuju London harus melewati beberapa gurun dan pegunungan. Juga, wilayah-wilayah rawan konflik yang belum jelas keamanannya.
’’Selama ini jejak rute yang paling umum ditempuh rider hanya sampai India. Selanjutnya, untuk masuk ke Pakistan atau Iran, tidak banyak jejak yang bisa dipelajari,’’ ungkap Stephen.
Akhirnya, jejak perjalanan para rider dunia pun menjadi referensi Stephen. Dia mengaku saat itu tak ragu untuk berkirim e-mail kepada rider internasional yang pernah menempuh perjalanan di rute yang dia rencanakan.
Selain itu, dia menghubungi beberapa rider profesional Indonesia yang pernah melakukan tur keliling dunia. Misalnya, Jeffrey Polnaja dan Mario Iroth.
’’Rutenya memang beda dengan yang pernah mereka ambil. Tapi, setidaknya saya ingin mendengar pengalaman mereka menghadapi medan touring di negara lain,’’ bebernya.
Di samping mempelajari rute, secara paralel Stephen juga mengurus berkas seperti visa dan perizinan. Dan, mengurus visa-visa tersebut tak semulus yang dibayangkan.
Stephen harus mendapati kenyataan bahwa antrean mengurus visa bisa sampai tiga bulan. Padahal, untuk mengejar finis 17 Agustus, dia harus berangkat dua bulan lagi.
Ada lima negara yang membutuhkan visa sebagai persyaratan. Yaitu, India, Iran, Pakistan, Schengen (Uni Eropa), dan Inggris. ’’Untungnya, saya sudah minta izin ke Kemenlu,’’ katanya.
Jadilah Kemenlu bisa membantu mengeluarkan surat rekomendasi. ’’Visa pun jadi cepat keluar,’’ lanjutnya.
Tiga bulan persiapan, perhitungan rute sudah cukup matang, dokumen perjalanan sudah lengkap di kantong. Stephen pun memulai perjalanannya pada 25 Maret 2018. Start dari kantor Kementerian Perhubungan, dia langsung memacu motornya ke Sumatera.
Dia mengawali perjalanan dengan mengapalkan motornya dari Pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara, menuju Pelabuhan Klang di Malaysia. Baru setelah dari Malaysia, secara berurutan Stephen berkendara melintasi Thailand, Myanmar, lalu masuk ke India.
Saat melintasi India, dia memilih jalur pegunungan Nepal. Setiba di perkotaan, Stephen menyempatkan diri mengunjungi Kedubes Indonesia di New Delhi. Dia mendapat sambutan luar biasa oleh seluruh staf dan ditawari untuk menginap di kedubes.
Namun, Stephen tak mengambil tawaran tersebut. Sebab, dia sudah membuat janji untuk berjumpa dengan komunitas-komunitas motor di India.
Setelah dari India, Stephen melanjutkan perjalanan ke Pakistan. Setiap hari dia melahap rute sekitar 600 kilometer. Dia berkendara hanya saat pagi sampai sore.
Selain berusaha menghindari perjalanan saat hari mulai gelap, Stephen merasa perlu mengatur strategi menghemat stamina. Serbuan kantuk dan hawa yang relatif berubah secara ekstrem tentu sangat menantang bagi tubuh Stephen yang berusia setengah abad tersebut.
Sebagai solo rider, Stephen mengaku sudah bersiap menginap di mana saja. Dia membawa serta peralatan berkemah seperti tenda, kursi lipat, dan kompor kecil. Namun, karena menginap di pinggir-pinggir jalan tak semudah yang dibayangkan, Stephen lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya di rest area atau menyewa penginapan jika di daerah tersebut ada yang menyediakan.
’’Kenapa tidak tidur sembarangan? Pertama karena izin. Lalu, kedua, penting untuk bisa beristirahat di tempat yang proper untuk memulihkan stamina,’’ ungkapnya.
Saat berada di salah satu wilayah Pakistan, dia membutuhkan dokumen No Objection Certificate alias NOC. Secarik dokumen wajib itu lebih terdengar seperti surat deklarasi siap mati.
Sebab, dokumen tersebut menegaskan bahwa pemerintah Pakistan tak bertanggung jawab jika ada kejadian yang tak diinginkan. Misalnya, menjadi korban penembakan hingga terluka bahkan meninggal. Sebab, rute yang dilalui Stephen adalah rute rawan konflik. ’’Tetapi, saya tetap mendapat pengawalan,’’ kenangnya.
Dia dikawal polisi dengan senjata AK-47 di pundak. Selama 6 hari mereka bergantian mengawal Stephen sampai sejauh 1.200 km.
Selama mendapat pengawalan, Stephen sama sekali tak diizinkan berbicara dengan orang asing. Bahkan untuk sekadar beli minum saat istirahat saja, dia harus dikawal polisi-polisi tersebut.
Dari Pakistan, perjalanan Stephen berlanjut menuju Iran, Turki, hingga Yunani. Sebenarnya, setelah Yunani, Stephen juga berencana melintasi Albania, Montenegro, Bosnia, Slovakia, dan Kroasia.
Tapi, kedutaan besar Indonesia di Athena, ibu kota Yunani, tak menyarankan Stephen mewujudkan rencananya. ’’Bosnia dan Kroasia sebenarnya kata mereka bagus. Tapi, untuk menuju ke sana, harus melalui Albania yang tingkat kriminalitasnya sangat tinggi. Saat itu sedang banyak terjadi kasus mutilasi,’’ ujar Stephen.
Dengan batalnya rencana ke Kroasia, Stephen pun langsung mengarahkan perjalanan ke Italia melalui jalur laut selama lebih dari 12 jam. Setiba di Italia, Stephen langsung berkendara menuju ibu kota Roma.
Dia kembali menemui Dubes Indonesia di Roma Esti Andayani. Dan, mendapat jamuan yang istimewa.
Sebab, sang Dubes telah mengagendakan untuk berkonvoi bersama Stephen berkeliling Kota Roma. Sepuluh vespa mengawal Stephen berkeliling Kota Roma sampai Vatikan.
’’Itu dilakukan juga dalam rangka menyambut perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. WNI di sana juga menggelar lomba-lomba 17 Agustusan layaknya di Indonesia,’’ katanya.
Dari Italia, Stephen memacu motornya melewati Prancis, lalu Spanyol. Kemudian berlanjut menyusuri jalanan desa masuk ke Swiss. ’’Saya paling terkesan dengan Swiss karena dari semua negara yang dilewati, pemandangan negara itu yang paling indah,’’ ujarnya.
Selain itu, dia kaget karena sering bertemu bule setempat yang menyapanya dengan bahasa Indonesia. ’’Misalnya, ada yang nyeletuk selamat datang,’’ ungkap Stephen menirukan pesepeda yang menyapanya kala itu.
Dari Swiss, Stephen berlanjut ke Austria dan bersambung ke Jerman, kemudian Belanda, hingga akhirnya masuk di London, Inggris, tepat pada 14 Agustus 2018. ’’Menghabiskan waktu tiga hari di London, akhirnya perjalanan resmi ditutup dengan upacara 17 Agustus di Kedubes Indonesia untuk Inggris,’’ bebernya.
Pada hari yang sama, Stephen langsung mengapalkan motornya ke Indonesia dari pelabuhan di Southampton. Dia juga bergegas kembali ke Indonesia karena visanya di Inggris habis tepat pada 17 Agustus 2018.
Total selama lima bulan itu, motornya tak pernah mengalami kerusakan berarti. Termasuk ketika nyungsep di Turki tadi. Ganti ban pun cuma sekali. Yakni saat di Jerman setelah dia menempuh perjalanan sejauh 24.500 km.
Setelah merealisasikan mimpi perjalanan Jakarta–London, Stephen memang belum punya rencana lagi untuk melakukan touring jauh. Namun, keinginan untuk mengulangi petualangan serupa selalu ada. ’’Bagian tersulitnya adalah meminta izin kepada istri, hehehe,’’ ujarnya. (*/Jawa Pos)