eQuator.co.id – Pontianak-RK. Darmansyah, mengucap syukur karena berhasil keluar dari Sarawak, Malaysia melalui Perbatasan Entikong, Kabupaten Sanggau dengan selamat, pada Rabu (14/11). Pasalnya, perjuangan dia untuk menembus wilayah perbatasan tersebut cukup berat dan melelahkan.
Karena, dia harus melewati jalan tikus selama enam hari. Melintasi jalan hutan. Bahkan, harus berenang menyeberangi sungai. Urusan perut, sudah tak lagi dipikirkan. Yang penting bisa sampai ke Tanah Air dengan selamat.
Pria 38 tahun asal Aceh Taminang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tersebut, bersama tujuh rekannya adalah korban dari Agen TKI ilegal. Mereka tertipu oleh janji manis si agen yang membawanya masuk ke negeri Jiran untuk bekerja.
Tiga bulan bekerja di perusaan sawit, mereka bukan malah untung. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja di sana dengan mengandalkan gajinya, tak cukup. Apalagi untuk dikirim ke keluarganya di Aceh. Sudah pasti tak mungkin. Tak seperti yang dibayangkan pada awalnya.
Sebab, Darmansyah dan rekan-rekannya hanya diupah 30 sen ringgit Malaysia saja, untuk satu Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang berhasil dipanenya. Upah tersebut, jauh meleset dari janji si agen yang membawanya masuk.
“Padahal, awalnya kami dijanjikan upah satu tandan sawit itu sebesar 4.000 rupiah atau sekitar 1 ringgit 50 sen. Kami rupanya tertipu,” kata Darmansyah ditemui di Kantor Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Pontianak, Kamis (15/11).
Ia mengungkapkan, servis si agen, awalnya sangat baik. Segala dokumen keberangkatan untuk menjadi pekerja migrant Indonesia untuk masuk ke Malaysia diurusi semua. Janji upah pun dianggap lumayan. Lebih besar dari gaji menjadi buruh bangunan di daerah asalnya. Karena itu, kata Darmansyah, ia bersama tujuh rekannya pun tertarik. Hingga akhirnya yakin dengan ajakan si agen.
“Kami berangkat dari Aceh sampai ke Malaysia menggunakan pesawat. Semua ditanggung hingga ke tempat kerja,” ucapnya.
Rupanya, pelayanan itu hanya modus belaka. Upah yang diterima dari hasil memanen sawit, sangat jauh dari yang dijanjikan. “Tiga bulan bekerja, malah tak bisa pegang uang sama sekali. Karena upah hanya habis untuk makan dan keperluan sehari-hari. Makan kita tanggung sendiri. Sementara upah hanya 30 sen ringgit Malaysia. Mana cukup,” ucapnya dengan logat khas bahasa Aceh.
Karena merasa sudah ketipu, Darmansyah dan tujuh teman sependeritaannya, berkeputusan untuk berhenti. Mereka pun nekat kabur lewat jalan tikus. Sebab, paspor mereka dipegang oleh si bos tempat ia bekerja.
“Kami kabur jalan kaki lewat hutan. Perjalanan enam hari baru sampai Perbatasan Entikong. Setelah sampai di perbatasan, kami melapor ke Polsek Entikong, hingga kami difasilitasi untuk berangkat sampai di sini (BP3TKI Pontianak),” katanya.
Saat kabur lewat jalan tikus tersebut, Darmansyah mengatakan, ia terpisah dengan sejumlah rekannya. Karena, jika satu rombongan bisa dicurigai. Sebab itu, mereka pun membagi dua rombongan. “Kami berjaji bertemu di Perbatasan Entikong. Alhamdulillah, kami semuanya selamat,” pungkasnya.
Syuhada, rekan Darmansyah mengaku trauma dengan perjalanan saat kabur dari tempat kerja dnegan melintasi jalan-jalan tikus tersebut. Pasalnya, pemuda 19 tahun yang juga berasal dari Aceh Miangas ini, sempat dicegat petugas Imigresen (Imigrasi) Malaysia saat ia melintasi semak-semak menuju perbatasan Entikong.
Ketika itu, Syuhada mengaku, petugas Imigresen tersebut sudah mengokang senjata api dan mengacungkan ke arahnya.
“Seketika badan saya langsung gemetar. Tetapi kami tak ada pilihan lain. Spontan saja kami berlari merunduk di semak-semak dengan cepat,” katanya.
Syuhada mengutarakan kekesalannya terhadap si agen yang membawanya masuk menjadi bekerja di Malaysia. Sebab, ia merasa telah tertipu mentah-mentah.
Menurutnya, selama di tempat kerja, si agen sempat bertemu dengan mereka. Bahkan, seingatnya ada dua kali pertemuan itu.
Namun, saat ditanya soal besaran upah yang tak sesuai dengan janji, si agen malah menghindar dan mengalihkan pembicaraan. “Nama orangnya (si agen) Hengki,” kata Syuhada.
Sepengetahuannya, Hengki memang kerap membawa warga-warga ke Malaysia. Bahkan, kata dia, dalam sebulan ada belasan orang yang berhasil dibawa masuk ke Malaysia.
Dengan pengalaman tersebut, Syuhada mengaku kapok bekerja ke Malaysia. Karena selama tiga bulan, ia hanya merasakan kesengsaraan. Sementara gaji yang besar hanya janji.
“Lebih baik bekerja di Aceh saja. Biar gaji kecil, tapi dekat dengan keluarga,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala BP3TKI Pontianak, Maruji mengaku, pengiriman pekerja migran asal Aceh tersebut dengan menawarkan janji upah yang besar adalah modus baru agen ilegal. “Ini sudah ketiga kalinya. Kasus pekerja migran asal Aceh melarikan diri,” kata Maruji.
Ia memastikan akan mengusut agen ilegal tersebut supaya bisa dihukum sesuai aturan yang berlaku. Karena, perbuatannya sudah tergolong perdagangan orang. “Kami akan berkoordinasi dengan BP3TKI Aceh untuk menyelidiki kasus ini,” katanya.
Terhadap delapan warga Aceh ini, kata dia, secepatnya akan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing.
Ia pun berharap, kasus serupa tidak kembali terulang. Dari kasus ini, masyarakat harus memahami dan tak mudah percaya dengan janji-janji manis, perusahaan pengirim pekerja migran yang tidak jelas.
“Kalau memang ingin bekerja ke luar negeri, sebaiknya ikuti prosedur. Supaya aman dan nyaman,” pesannya.
Laporan: Abdul Halikurrahman
Editor: Ocsya Ade CP