Isak Tangis Iringi Taburan Bunga Korban Lion Air

Instrumen Pesawat Diduga Sudah Rusak Sebelumnya

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Dua Kapal Perang KRI Banda Aceh 593 dan KRI Banjarmasin 592 melaju pelan mengitari 250 meter area operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat kemarin (6/11). Di atas dek helikopter keduanya, 726 pasang mata menatap pilu ke permukaan laut.

Kedua komandan kapal memperlambat mesin dan memberi kesempatan pada keluarga korban untuk melihat titik jatuhnya Pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 tersebut.

Di bawah kerumunan perahu, kapal tim SAR dan TNI AL dengan KM Teluk Bajau Victory sebagai pusatnya, mungkin tergeletak anggota keluarga dan sahabat tercinta. Menunggu untuk ditemukan dan diangkat ke permukaan.

Edi Hadrian, salah seorang keluarga korban asal palembang, awalnya tampak tenang sejak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pagi tadi, namun demi melihat tempat keponakannya, Amelia Rizky dijemput sang Kuasa, bapak berusia 50 tahunan ini tak kuasa menahan tangisnya.

Ia lantas didudukkan di atas kursi di dekat Buritan KRI Banda Aceh. Didampingi sang menantu keponakan, Murtadlo. Dokter Kapal KRI Banda Aceh Letkol Harjo Utomo berusaha menenangkannya. “Saya melihat lokasi langsung down, tolonglah ya pak, diambil (diangkat,Red) ponakan saya,” katanya sambil mengusap matanya yang sembab.

Seminggu lalu Edi ingin sekali bertemu keponakannya yang menjadi pegawai BPK dan berkantor di Pangkal Pinang. Kebetulan saat itu Amelia sedang pulang ke Palembang. “Dia pulang karena ingin berobat ke dokter gigi,” tutur Murtadlo sang suami.

Murtadlo dan Amelia tidak sampai 4 bulan menikah. Edi menyesal saat itu tidak bisa hadir di pernikahan mereka. Bagi Edi, sejak ayah Amelia meninggal, Amelia sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. “Saya titip sama mamanya, saya tidak bisa menemani, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, nanti begitu selesai saya akan ke Palembang,” katanya.

Namun sayang, saat Edi tiba di Palembang, ia mendapati Amelia sudah berangkat ke Jakarta untuk kemudian bertolak ke Pangkalpinang. “Padahal cuma selisih 2 jam,” isaknya.

Edi berkali-kali mengucapkan terima kasih pada TNI AL, Basarnas dan Penyelam yang telah bekerja keras mencari keluarga korban. Ia lantas dituntun kembali ke dalam tenda acara sebelum sempat ditanyai oleh para wartawan.

Elis Kristanti, asal kota Bogor juga tampak terpaku menatap permukaan air tempat sang adik, Darwin Haryanto, penumpang JT-610. Ia bahkan menolak saat beberapa orang menawarkan kelopak bunga untuk ditaburkan. “Biasanya kalau orang meninggal kan dikuburkan, maka selesai. Kalau seperti ini kan serba tidak pasti. Istrinya (almarhum,Red) di rumah menanti-nanti,” tutur suami Elis, Yuswandi.

Prosesi tabur bunga berlangsung khidmat. Rohaniawan memimpin doa dalam 5 agama. Selain keluarga korban, hadir pula sejumlah Pilot, Pramugari, dan Staff Lion Air. Dirut Lion Air Edward Sirait juga tampak hadir.

Di KRI Banda Aceh, hadir Panglima Komando Armada I (Pangkoarmada I) Laksamana Muda TNI Yudo Margono, Panglima Komando Lintas Laut Militer (Pangkolinlamil) Laksda TNI R. Achmad Rivai, dan ketua  Komite Nasional Keselamatan Transportasi KNKT Soerjanto Tjahjono, serta Plt. Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, Pramintohadi Sukarno.  Sedangkan Kabasarnas, Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi, dan Pejabat Polri naik di KRI Banjarmasin.

Pesawat Lion Air nomor registrasi PK-LQP diperkirakan sudah mengalami gangguan instrumen pada 4 penerbangan sebelumnya. Hal ini merupakan temuan awal dari penyelidikan KNKT. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengungkapkan bahwa pihaknya sudah berhasil mengunduh data Flight Data Recorder (FDR).

Ia mengatakan kondisi data bagus. Ada 69 jam data penerbangan yang direkam. ”69 jam itu terangkum dalam 19 flight yg penerbangan, dari data yg kuta unduh itu, kita mengacu pada 1790 parameter,” jelasnya.

Dari 1790 parameter tersebut, data ditemukan cocok dengan data yang ditunjukkan radar. Artinya, data yang dirkam dalam kondisi bagus. Selain data dari FDR, Soerjanto mengatakan pihaknya juga butuh mengambil data dari non volatile memory (NVM) yang tersimpan di komponen-komponen dalam pesawat. NVM-NVM ini nantinya bisa membantu menguak misteri penyebab jatuhnya PK-LQP.

Soerjanto mengatakan, tidak semua data terekam di FDR, beberapa tertinggal di komponennya. Beberapa informasi tertinggal dalam komponen tersebut.  “Tapi tentu saja NVM ini tidak didesain untuk tahan saat terendam di laut,” jelasnya.

Karena keterbatasan waktu dan kekuatan personil, maka dalam waktu dekat KNKT akan membuat list komponen mana saja yang harus diprioritaskan untuk dicari dan diangkat. ”KNKT akan bikin list, tim dari Amerika bikin list, mungkin nanti kita minta Saran dari tim dari Australia, Singapura, ataupun dari Arab Saudi mungkin mereka punya pengalaman,” jelasnya.

Sayangnya yang bisa menganalisa NVM hanyalah produsen komponen itu sendiri. Sehingga kata Soerjanto, mau tidak mau komponen harus dibawa ke pabrik produsen asalnya.

Temuan awal menunjukkan memang terdapat masalah pada Airspeed Indicator pada instrumen di kokpit. “Airspeed nya unreliable. Jadi terjadi perbedaan antara kiri dan kanan (sisi kapten dan sisi first officer,Red),” katanya. Masalah ini terekam pada 4 penerbangan terakhir termasuk penerbangan nahas senin (29/10) lalu.

Soerjanto mengatakan, KNKT telah menanyai produsen komponen, teknisi, serta Pilot-Pilot yang sebelumnya menerbangan PK-LQP untuk menggali data dan mencari tahu penyebabnya. “Tapi itu satu item saja, terlalu jauh kalau mau menarik kesimpulan dari itu saja,” katanya.

Seorjanto memperkirakan, verifikasi data FDR yang telah diunduh akan memakan waktu satu hingga dua minggu kedepan. Sementara alaisisnya bisa memakan 3 hingga 4 bulan tergantung kompleksitas masalah yang ada.

Ketika ditanya apakah pihak Lion Air lalai dan membiarkan pesawat bermasalah terbang, Sorjanto mengatakan bahwa tidak ada istilah pembiaran. Setiap keluhan pilot yang dicatatkan di log book akan diperbaiki oleh teknisi. “Nggak ada pembiaran. Yang ada perbaikan itu efektif atau tidak. Kalau tidak pilot pasti tidak mau terbang,” katanya.

Maka dari itulah KNKT mulai kemarin juga sudah mewawancarai kru dan para teknisi yang menangani PK-LQP.

Sampai saat ini CVR masih belum ditemukan. Soerjanto mengatakan jika CVR ditemukan, gambaran situasi saat terjadi kecelakaan akan lebih baik. Penyelidik bisa tahu diskusi apa yang terjadi diantara dua pilot.

Selain percapakan, pentung juga untuk diketahui suara alarm (warning) apa saya yang berbunyi menjelang kecelakaan. Seharusnya, kata Soerjanto, jika pesawat mendekati permukaan tanah atau kurang dari ketinggian 1000 kaki, maka akan ada peringatan dari Ground Proximity Warning System (GPWS). “Karena mood-nya saat itu kan take-off bukan landing, jadi jika mendekati tanah kurang dari 1000 kaki, maka GPWS akan memberi warning,” jelasnya.

Kabasarnas Muhammad Syaugi mengatakan bahwa hingga kemarin, CVR belum ditemukan karena sudah tidak terdengar lagi Ping dari lokasi yang diperkirakan sebelumnya.

Meski demikian, ia mengatakan pihaknya tetap menyelami di lokasi tersebut. Di lokasi perkiraan keberadaan CVR daerahnya berlumpur dan kedalaman pasirnya lebih dari 1 meter. ”Kalau kami tusuk pakai besi itu dalam sekali. Tapi kita tetap berusaha baik KNKT maupun BPPT menggunakan alat yang canggih yang sensitifitasnya tinggi,” tuturnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla percaya pada Kinerja Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam penyelidikan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air register PK-LQP.  Sebab, petugas dari KNKT nanti yang akan memberikan penilaian kesalahan-kesalahan dalam kecelakaan tersebut. ”Pokoknya kita menunggu KNKT, karena yang berhak menentukan itu dimana letak kesalahannya itu KNKT,” ujar JK di kantor Wakil Presiden, kemarin (11/6).

Hasil dari penyelidikan oleh KNKT itu akan memunculkan rekomendasi-rekomendasi. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akan menindaklanjuti rekomendasi tersebut. ”Menteri Perhubungan yang menentukan evaluasinya macam mana,” ungkap JK.

Sedangkan usulan pembentukan Mahkamah Penerbangan, menurut JK masih dipertimbangkan. Meskipun dia juga membandingkan dengan Mahkaman Pelayaran. ”Kalau (Mahkaman Pelayaran, Red) kan banyak sekali insiden-insiden pelayaran. Tapi agak berbeda, karena itu ya usul kan dapat kita pertimbangkan nanti lihat urgensinya macam mana,” tambah dia. tapi dia tidak ingin dikesankan mahkaman penerbangan itu belum diperlukan. ”Nanti kita kaji sejauh mana,” imbuh dia. (Jawa Pos/JPG)