Alami Kerusakan Diempat Penerbangan

Sebelum Lion Air PK-LQP Jatuh di perairan Karawang

Puing pesawat. Tim SAR gabungan menemukan salah satu puing pesawat Lion Air PK-LQP JT-610 yang dibawa ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (5/11). Issak Ramdhani/Jawa Pos

eQuator.co.idJakarta-RK. Pesawat Lion Air dengan nomor lambung PK-LQP telah mengalami kerusakan pada empat penerbangan terakhir sebelum jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10) lalu. Demikian Kepala Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono saat menguraikan isi dari Flight Data Recorder pesawat yang ditemukan pihaknya.

Dia menjelaskan bahwa kerusakan yang ditemukan KNKT berupa kerusakan pada penunjuk kecepatan di pesawat atau air speed indicator.
“Pada empat penerbangan terakhir ditemukan kerusakan pada istilahnya air speed indicator,” jelasnya di Kantor KNKT, Senin (5/11).

Saat ini, KNKT tengah mengumpulkan data perbaikan yang dilakukan pihak Lion Air selama pesawat tersebut mengalami kerusakan. Termasuk mengumpulkan data dari para pilot yang menerbangkan pesawat tersebut. “Juga data-data perbaikan yang telah dilakukan oleh teknisi-teknisi dari maskapai tersebut,” tukasnya.

Flightradar24.com, merekam empat penerbangan terakhir Lion Air PK-LQP. Di antaranya rute Lombok-Denpasar pada 27 Oktober dengan rute Denpasar-Manado, kemudian rute Manado-Denpasar pada 28 Oktober petang, rute Denpasar-Jakarta pada tanggal 28 Oktober malam, dan terakhir Jakarta-Pangkalpinang pada 29 Oktober.

Soerjanto menjelaskan, tidak pernah menyebut pesawat yang berisi 189 orang itu meledak. Menurutnya, bahwa pesawat pecah saat bertabrakan dengan air laut.
“Saya nggak pernah mengatajan kalau itu meledak. Jadi gini, pesawat itu ibarat kantong plastik. Kalau kita tekan terus akhirnya tekanannya tidak kuat ditahan lagi akhirnya pecah,” ungkapnya.

Ia menguraikan bahwa permukaan air laut tidak lagi lunak saat benda dengan kecepatan tinggi datang menghujam. Permukaan air, sambungnya, akan keras seperti lantai yang ada di rumah saat pesawat jatuh berkecepatan tinggi jatuh.

“Jadi saya katakan lagi pesawat pecah ketika impak (tumbukan), menyentuh air. Air memang barang yang keras kalau kecepatannya tinggi,” tuturnya.
Ia menegaskan kembali, pecahnya pesawat PK-LQP yang jatuh sesuai dengan bukti adanya serpihan konsentrasi pada satu titik dengan luas 250 meter persegi.

“Sekali lagi pesawatnya pecah ketika menyentuh air karena bukti (serpihan) terkonsenstrasi di situ dan pesawat tidak meledak di udara. Kalau meledak di udara serpihannya lebih luas lagi,” pungkasnya.

Cockpit Voice Recorder (CVR) pesawat Lion Air dengan nomor lambung PK-LQP akan terus dicari, meski sinyalnya sudah menghilang. “Ya sekarang pun kita sudah tak mendengar sinyalnya, jadi dengan metode apapun kita akan cari CVR itu,” tegasnya.

KNKT, sambungnya, akan tetap melanjutkan pencarian CVR tersebut, meskipun tim SAR gabungan selesai mengevakuasi korban dan serpihan-serpihan pesawat. “Nanti meski Basarnas berhenti, kami akan cari CVR karena paling penting yang masih kita cari CVR,” sambung Soerdjanto.

Sinyal CVR terakhir kali menyala kemarin, Minggu (4/11). Namun daerah tempat sinyal itu menyala ditutupi lumpur sehingga menyulitkan penyelam.  “Kita selami ke daerah yang diperkirakan adanya ping tersebut, tetapi ternyata di situ lumpur atau pasirnya cukup dalam, sehingga ini perlu dicari terus sampai ketemu,” paparnya.

Data CVR berisi audio percakapan antara kontak pilot dengan Air Traffic Controller (ATC), percakapan pilot dan co-pilot di kokpit, percakapan antar kru, termasuk suara mesin atau hujan.

Proses identifikasi jenazah kecelakaan Lion Air JT 610 bergerak cepat. Bila sampai Minggu (4/11) hanya ada 14 korban yang teridentifikasi, kemarin (5/11) tim Disaster Victim Indonesia (DVI) berhasil mengidentifikasi 13 korban lain.

Mereka adalah Reni Aryanti, 51; Ravi Andrian, 24; Eryanto, 41; Vera Junita, 22; Resti Amelia, 27; Fifi Hajanto, 42; Dede Anggraini, 40; Petrous Rodlf Sayers, 58; Eka Suganda, 49; Niar R. Soegoyono, 39; Sudibyo Onggo Wardoyo, 40; Hendra, 39; dan Mito 37. Komandan Operasi DVI Polri Kombespol Lisda Cancer menjelaskan, sebanyak 8 dari 13 korban itu teridentifikasi dengan metode DNA. Lima sisanya menggunakan metode sidik jari.

Dengan demikian, hingga kemarin total korban yang teridentifikasi sebanyak 27 orang. Untuk korban lainnya, tim DVI memastikan terus berupaya mengidentifikasi. ”Saya dengar ada body part jenazah yang akan dikirim ke DVI lagi,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Laboratorium DNA Pusdokkes Polri Kombespol Putut Cahyo menuturkan, perjalanan identifikasi korban masih panjang. Namun, metode tes DNA tidak akan terpengaruh dengan kerusakan body part akibat waktu. ”Memang kerap kali sampel rusak, tapi ini soal DNA. Dalam tiap sel ada, misalnya ada lima DNA, yang rusak tiga, lainnya masih bisa,” terangnya.

Dengan begitu, keluarga korban tidak perlu khawatir. Sebab, selama masih ada body part yang bisa diambil sampelnya, tentu akan teridentifikasi. ”Kami sudah dapatkan 249 body part yang diambil sampel,” terangnya.

Sampai kapan proses identifikasi berlangsung? Putut menjelaskan, bila berkaca pada kasus Air Asia, identifikasi bisa sampai satu setengah bulan. ”Mungkin bisa sama,” ucapnya.

Sementara itu, Kapusdokkes Polri Brigjen Arthur Tampi menuturkan, identifikasi korban sangat penting untuk mengeluarkan dokumen. Misalnya, dokumen kematian. Dokumen tersebut menjadi salah satu syarat agar keluarga korban mendapatkan hak asuransi, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya.

Tanpa dokumen kematian tersebut, proses pencairan cukup sulit. Untuk yang tidak teridentifikasi, prosesnya melalui persidangan. ”Ini butuh waktu kalau sidang,” papar jenderal berbintang satu tersebut.

Sementara itu, biaya pencarian pesawat Lion Air PK-LQP yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat pada awal pekan lalu mestinya ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan maskapai penerbangan yang didirikan oleh Rusdi Kirana itu.

Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto menjelaskan, semua biaya baik itu meliputi pencarian bangkai pesawat, santunan kepada keluarga korban, hingga keluarga yang ingin mengunjungi tempat kejadian perkara (TKP). “Saya rasa Lion Air yang harus tanggung jawab penuh,” tegasnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL (Jawa Pos Group), Senin (5/11).

Menurut dia, kecelakaan itu murni urusan korporasi,bukan negara. Apalagi, ulas dia, mengutip pernyataan pakar asuransi penerbangan, Sofian Pulungan bahwa Lion Air sudah mengasuransikan semua pesawatnya ke perusahaan asuransi milik PT Pertamina, Tugu Pratama Indonesia (TPI). Asuransi itu bisa diklaim maksimal sebesar 750 juta dolar AS. “Ini urusan korporasi tidak berkait dengan negara,” tegas aktivis mahasiswa ’74 ini.

Namun, ia sangsi bila pemerintah bersikap tegas dengan membebankan semua biaya kepada Lion Air. Sebab, Rusdi Kirana memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi.
Lion Group yang membawahi tiga maskapai penerbangan seperti Lion Air, Batik Air, dan Wings Air didirikan oleh Rusdi Kirana. Dia merupakan salah satu politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Partai ini adalah salah satu partai pendukung Joko Widodo dalam ajang Pilpres tahun 2019 nanti. Rusdi Kirana juga dipercaya Jokowi untuk menjadi dutabesar Indonesia untuk Malaysia. “Kita paham Lion Group ini punya keistimewaan rezim sekarang,” pungkasnya. (Jawa Pos/JPG)