Empat Jenis Angin setelah Subuh

Oleh: Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Saya lari mengambil HP. Yang lagi saya charge di dekat pintu masuk. Ada pemandangan unik. Di masjid Tokyo, ini. Yang harus saya abadikan di kamera: foto dan video.

Minggu subuh kemarin itu saya dapat tempat di deretan tengah. Baris depan sudah penuh. Oleh jamaah subuh yang datang lebih dulu.

Begitu salat selesai saya diminta ke depan. Untuk memberikan santapan rohani. Kuliah subuh. Tapi saya diminta menunggu dulu. Akan ada santapan jasmani dulu.

Jamaah diminta menghadap ke kanan. Berarti: orang yang tadi duduk di samping menjadi duduk di depan masing-masing.

Lalu datanglah komando ini: agar semua memijat pundak teman di depannya. Dengan  gerakan hujan rintik-rintik. Artinya memijit-mijit dengan gerakan ringan.

Saya tidak menyangka akan melihat itu. Di dalam masjid. Saat wiridan baru selesai. Saat jamaah masih duduk rapi. Berderet dan bersila.

Saya pun lari mengambil HP. Lucu sekali gerakan mereka.

Tak lama kemudian datang komando baru: gerakan hujan batu!

Maka tangan mereka pun dalam posisi tergenggam. Dipukul-pukulkan ke punggung teman di depannya. Ada yang memukulkannya dengan keras. Ada yang keras sekali.

Lalu ada komando yang lain lagi: hujan badai!

Genggaman dibuka. Lima jari diluruskan. Dikaratekan ke punggung teman di depannya. Ada yang pukulan karatenya cepat. Ada yang cepat sekali.

Komando pun berubah lagi: angin sepoi-sepoi!

Maka gerakan pijatnya menjadi pijat pelan.

Selesai.

Eh, belum.

Jamaah diminta berbalik. Yang tadi memijat ganti dipijat. Dengan empat jenis hujan yang sama.

Inilah pijat masal. Di dalam masjid. Bakda subuh. Khas masjid di Tokyo, Jepang. Di kompleks sekolah Indonesia. Milik kedutaan besar kita.

Subuh hari itu diimami oleh Ustad Fatah. Guru sekolah itu. Asal Sunda. Yang berjamaah sekitar 60 orang. Penuh sekali. Sebagian wanita. Sebagian sudah di situ sejak lewat tengah malam: qiyamul lail.

Sebagian lagi belum tidur sama sekali: masak. Di dapur dekat masjid itu. Untuk sajian makan pagi. Bagi seluruh jamaah. Gratis.

Saya hanya bicara kurang dari lima menit. Jamaah di situ orang-orang pintar. Mahasiswa S2 atau S3. Bahkan beberapa sudah bergelar doktor. Di bidang ilmu yang berat-berat: ilmu komputer, ilmu material, konversi energi, kimia, fisika …

Saya lebih ingin mendengarkan mereka. Tentang ilmu-ilmu mereka. Dan apa yang bisa dilakukan di kemudian hari.

Salah satu jamaah bertanya: bagaimana kelak bisa pulang. Untuk mengabdi ke tanah air.

Ia merasa tidak nasionalis. Kalau tidak pulang.

Saya sampaikan: jangan punya perasaan seperti itu. Indonesia juga perlu lebih banyak orang sukses di luar negeri. Sebagai kekayaan nasional: kekayaan networking.

Jangan merasa kalau hidup di luar negeri lantas tidak nasionalis. Bahkan saya anjurkan: begitu lulus jangan pulang dulu. Bekerjalah dulu di Jepang. Paling tidak dua tahun. Untuk ‘kuliah kehidupan’ yang sebenarnya. Di negeri yang disiplinnya tinggi.

Mengapa? Agar tertular sistem manajemen Jepang. Yang penularan seperti itu penting.  Tidak bisa didapat di bangku kuliah. S3 sekali pun.

Proses penularan itu berbeda dengan proses pengajaran. Dalam proses penularan akan terjadi internalisasi pada sikap dan watak. Yang kemudian membentuk karakter.

Banyak pertanyaan subuh itu. Tapi waktunya terbatas. Saya harus segera memenuhi acara lain.

Sehari sebelumnya saya menghadiri acara TICA. Tokyo-Tech Indonesia Commitment  Award. Yang diadakan Perhimpunan Pelajar Indonesia di situ: Tokyo Institute of Technology. MIT atau ITB-nya Jepang.

Acara itu diselenggarakan tiap tahun. Ini tahun kesembilan. Kian tahun kian menarik perhatian. Tahun ini ada 400 penelitian mahasiswa. Yang ikut kompetisi.

Tiga finalisnya diundang ke Tokyo. Ke acara ini. Selama empat hari.

Kali ini finalisnya cewek semua! Ampuuuun. Pinter-pinter. Cantik-cantik pula: dari ITB (Ayu Lia Pratama), dari Brawijaya Malang (Elviliana) dan dari ITS Surabaya (Nadhira Nurfathiya).

Juaranya yang dari ITB itu. Yang kuliah di jurusan fisika. Dia mengambil fisika nuklir.

Lia adalah gadis kota kecil: Ponorogo. Ayahnya kerja mandiri: vulkanisir ban. Lia mengajukan penelitiannya: penggunaan plutonium yang lebih efisien untuk reaktor nuklir HTGR.

Sedang Elviliana mengajukan penelitiannya di bidang listrik: dari kulit pisang dan kulit kacang. Yang dimasukkan reaktor. Lalu diberi katoda dan anoda. Kesimpulannya: yang dari kulit pisang menghasilkan lebih banyak listrik. Dibanding yang kulit kacang.

Tapi Elviliana belum meneliti keekonomiannya. Misalnya: sama-sama satu ton kulit pisang, mana yang lebih banyak menghasilkan listrik: dengan cara dia itu atau dengan cara diambil gas metannya.

Nadhira, ITS, mengajukan penelitiannya di bidang deteksi logam berat. Menggunakan kulit semangka dan kulit jeruk.

Banyak pertanyaan sulit-sulit. Dari dewan juri. Salah satunya Dr Misbakhul Huda. Yang meraih gelar doktor pada umur 27 tahun. Di bidang nanotechnology.

Dr Misbakhul adalah anggota OPEC: Orang Pecalongan. Rumahnya dekat guru tasawuf Habib Lutfi. Dr Misbakhul sendiri kini menjadi Ketua Nahdlatul Ulama cabang Jepang.

Tahun depan tentu lebih  banyak lagi peminat TICA. Rasanya PPI di universitas ini telah menemukan reputasinya.

Saya pun siap memberikan pijatan angin apa pun pada finalisnya. Tahun depan. (dis)