eQuator.co.id – MEMPAWAH – Hari ini, Rabu (24/10), Frantinus Nirigi menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah, Kalimantan Barat. Fran merupakan terdakwa dugaan kasus candaan bom di pesawat Lion Air JT 687 yang terjadi di Bandara Internasional Supadio Pontianak di Kabupaten Kubu Raya, 28 Mei lalu.
Banyak proses yang dilewati pemuda asal Papua ini. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas tersebut harus melewati 17 kali rangkaian persidangan. Termasuk sidang hari ini.
Sedianya, pemuda 27 tahun itu didakwa bersalah dan dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) oleh Kejari Mempawah selama 8 bulan penjara. Fran didakwa telah melakukan tindak pidana menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan.
Pihak yang diberi kuasa oleh keluarga untuk mendampingi Fran, Bruder Stephanus Paiman dari Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dan JPIC Kapusin berharap Majelis Hakim PN Mempawah dapat memutus perkara ini dengan adil tanpa intervensi atau apapun namanya. “Sehingga kita dan masyarakat lainnya tetap percaya bahwa di republik ini masih ada keadilan,” harapnya.
Ia mengatakan, sejak diberi mandat untuk mendampingi kasus ini, pihaknya selalu melakukan investigasi. Bahkan sejak awal kasus ini mencuat. “Dari awal sebelum kita menandatangani surat kuasa, hasil investigasi kita mengatakan bahwa kasus ini rekayasa yang mengorbankan Fran Nirigi. Dugaan tersebut terbukti dengan tidak cukup bukti untuk mempidanakan Fran, tetapi tetap dipaksakan,” tegasnya.
Hal ini, kata Stephanus bukan tanpa bukti. Karena tidak ada saksi yang menyatakan bahwa Fran menyebut ‘ada bom’. Apalagi keterangan para saksi serta pendapat saksi ahli menyimpulkan Fran tak memenuhi unsur pidana. “Semakin jelas bahwa Fran harus diputus bebas dengan pemulihan nama baiknya,” ucap Stephanus.
Pada sidang sebelumnya, JPU Kejari Mempawah menyampaikan tanggapannya terkait nota pembelaan yang disampaikan Kuasa Hukum Fran dalam sidang dengan agenda replik, Selasa (16/10).
Dalam kutipan replik yang dibacakan jaksa Erik Cahyo, materi nota pembelaan yang diajukan tersebut sebenarnya tidak perlu ditanggapi oleh pihaknya. Karena, menurut JPU, apabila tim penasihat hukum terdakwa mencermati kembali semua pembelaan yang diajukan tersebut, berdasarkan fakta-fakta dipersidangan telah dapat dibuktikan dan telah diuraikan dalam surat tuntutan yang diajukan dan bacakan dalam persidangan sebelumnya.
“Bahwa penasihat hukum terdakwa dalam dalil pledooinya menyatakan secara nyata terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan pidana karena tidak disertai dengan due alat bukti sah menurut hukum dan kesaksian pramugari Cindy Veronika Muaya dalam ilmu hukum pembuktian pidana tidak mempunyai nilai kesaksian.
Karena kesaksiannya didengar sendiri dan ia bersaksi sendiri dan bukan merupakan saksi (unus testis nulus testis) yang tidak mempunyai nilai kesaksian,” bunyi kutipan replik yang dibacakan Erik dalam persidangan.
“Bahwa atas dalil penasihat hukum tersebut kami tidak sependapat karena dalil penasihat hukum terdakwa tersebut merupakan asumsi dan rekaan sendiri tanpa melihat fakta-fakta dalam pemeriksaan dipersidangan berupa alat bukti yang telah diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara a quo,” sambungnya.
Pada bagian akhir repliknya, JPU meminta kepada Majelis Hakim PN Mempawah menolak pembelaan (pledooi) dari terdakwa untuk keseluruhan. JPU juga bersikukuh meminta hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 8 bulan dikurangi masa tahanan.
Ditemui usai sidang, Erik mengatakan pihaknya sudah menyerahkan semua dalam sidang. Erik berharap, putusan dari majelis hakim bisa sesuai dengan harapan pada tuntutan sebelumnya. “Setelah putusan nanti, ada langkah-langkah hukum. Kita lihat nanti lah putusan minggu depan,” ujarnya.
Sementara itu, usai menyampaikan replik atas nota pembelaan, pihak Kuasa Hukum Fran, yaitu Andel, Aloysius Renwarin dan Dominikus Arif menyampaikan jawaban (duplik) atas replik yang disampaikan JPU.
Pada prinsipnya, pihak kuasa hukum tetap bersikukuh pada nota pembelaan yang dibacakan pada sidang yang dilaksanakan Senin (15/10) kemarin. Untuk memperkuat pledooi tersebut, maka dalam duplik yang disampaikan menegaskan kembali bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan dakwaan dan tuntutan terhadap terdakwa.
Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan terdakwa telah melakukan tindak pidana menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan. Karena, menurut kuasa hukum, secara nyata tidak ditemukan fakta hukum kesaksian yang mendengar secara Iangsung terdakwa mengucapkan perkataan ‘awas di dalam tas ada bom’ sebagaimana kesaksian pramugari Cindy Veronika Muaya yang menurut pendengarannya mendengar terdakwa menyampaikan informasi palsu.
“Sehingga kesaksian pramugari Cindy Veronika Muaya tidak mempunyai nilai kesaksian karena ia mendengar sendiri dan ia bersaksi sendiri (unus testis nulus testis),” ungkap Andel.
Kemudian, sambung Andel, mengenai fakta bahwa FN mengucapkan ‘awas di dalam tas ada tiga laptop, Bu’ kepada pramugari, keterangan terdakwa tersebut bersesuaian dengan kesaksian sekuriti bandara.
Fakta tersebut juga sesuai dengan kesaksian penumpang pesawat yang duduk kursi nomor 4D mengakui melihat petugas datang masuk kedalam pesawat serta mendengar petugas bertanya ‘bapak bawa bom’ dan dijawab terdakwa yang terdengar oleh saksi kurang lebih ‘di tas ada tiga Iaptop’.
Keterangan tersebut juga sesuai dengan kesaksian penumpang di kursi nomor 3B, yang mengakui melihat petugas datang masuk kedalam pesawat bertanya ‘pak, itu tas isinya apa’ dan dijawab terdakwa ‘di dalam tes ada tiga Iaptop, bu’.
“Berdasarkan kesaksian tersebut ditemukan fakta hukum bahwa keterangan terdakwa bersesuian dengan kesaksian sekuriti bandara dan penumpang, serta sesui pula dengan fakta hukum di dalam tas ada tiga buah Iaptop,” tambahnya.
Sehingga, dalam dupliknya, kuasa hukum meminta kepada Majelis Hakim PN Mempawah untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan pidana, serta memulihkan nama baik dan melepaskan terdakwa dari tahanan.
“Intinya, terdakwa tidak cukup bukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana menyampaikan informasi membahayakan keselamatan penerbangan. Bukti pendukung juga tidak ada,” ujar Andel. (oxa)