eQuator.co.id – Saya baru saja sarapan soto kambing di Sumbawa Besar. Saya memang suka kangen soto Sumbawa ini. Terutama kepala kambingnya. Disajikan utuh. Di atas piring. Asyik makannya: telinga, mata, lidah, pipi dan semua bagian yang ada di kepala itu.
Lalu saya pun pusing: bagaimana bisa cepat sampai di Tambora. Dengan jalan darat perlu lima jam. Harus memutari teluk. Kalau naik pesawat harus turun di Bima. Bima-Tambora lima jam juga. Pesawatnya pun tidak ada.
Saya putuskan ini: carter speed boat. Memotong teluk itu. Lautnya toh tenang. Terlindung di balik pulau Moyo. Yang membujur memanjang di mulut teluk.
Speed boat menyusuri pantai pulau Moyo: tempat rocker dunia Mick Jagger berlibur. Tempat Lady Di menenangkan hati. Kapan itu.
Kami pun melaju di atas laut. Hanya 1,5 jam. Sudah bisa tiba di Tambora.
Saya kaget: kok di Tambora ada dermaga yang begitu besarnya. Begitu kokohnya. Sudah mirip pelabuhan besar. Tapi tidak ada kapal yang sandar di situ.
Ternyata itu pelabuhan lama. Bekas milik PT Fener. Rakyat masih menyebutnya pelabuhan Fener.
Perusahaan itu sudah lama check-out dari Tambora. Sudah puluhan tahun. Setelah menebangi habis kayu-kayu di Tambora. Diangkut melalui pelabuhan itu.
Saya bayangkan betapa banyak kayu yang dibabat dari Tambora. Sampai untuk mengangkutnya diperlukan pelabuhan begitu besarnya. Begitu permanennya.
Pelabuhan itu sudah lama mati. Tapi bisa jadi daya tarik: bagi yang mau investasi di sini. Tidak perlu membangun pelabuhan lagi. Yang sangat mahal itu.
Di Tambora, untuk membangun pelabuhan sekelas itu tidak mudah. Juga tidak murah. Bisa habis Rp 100 miliar sendiri.
Tentu pelabuhan Fener sangat berguna. Bagi investor baru. Seperti pabrik gula ini. Yang baru dibangun ini. Di dekat Tambora ini.
Pabrik gula di Tambora? Yang gersang itu? Yang nun jauh itu? Oh…setelah ke sana saya paham. Pabrik gula ini tidak hanya menggiling tebu. Tapi juga memasak gula impor. Raw sugar. Menjadi gula kristal.
Pelabuhan Fener itu pun bisa diandalkan. Untuk kedatangan raw sugar impor. Atau pengiriman gula kristal yang dihasilkan pabrik.
Semula saya kagum dengan investor pabrik gula di Tambora ini: Samora Group. Yang selama ini kita kenal sebagai importir raksasa raw sugar. Kok begitu idealisnya. Mau membangun pabrik gula di wilayah yang begitu gersangnya.
Ternyata itu tadi. Pabrik itu juga untuk menggiling raw sugar impor. Ya… sudah. Baik juga.
Siapa tahu. Sambil mengolah raw sugar bisa membina petani tebu lokal. Yang selama ini hanya tahu menanam jagung. Atau menanam pohon mente.
Saya mampir ke pabrik gula itu. Aroma gulanya harum. Aroma dari proses pengolahannya. Pabrik ini bersih. Tidak ada ceceran tebu. Bahkan lagi tidak ada tebu yang dikirim ke pabrik itu. Yang berkapasitas 5.000 TCD itu.
Saya masih bisa belajar satu hal baik dari pabrik ini: sistem kerjasamanya dengan petani.
”Kami menggunakan sistem beli putus,” ujar Joko Handoyo, pimpinan pabrik ini. Yang memang ahli gula. Yang sepanjang hidupnya menggeluti pabrik gula. Mulai dari Kebon Agung malang, Tasik Madu Jogja, Medan, Pati, Blora dan sekarang Tambora.
Di Tambora ini Joko tidak mau ruwet. Menerapkan sistem baru: beli putus.
Artinya: pabrik beli tebu saja. Seberapa banyak petani kirim tebu bisa langsung dibayar. Berdasar harga yang sudah ditetapkan.
Itu untuk menggantikan sistem lama di Jawa: petani kirim tebu, pabrik menghilingnya, pabrik mengolahnya jadi gula, baru petani bisa menjual gulanya.
Sistem lama itu ruwet. Sering menimbulkan masalah. Petani tidak tahu: tebu sekian ton yang dikirimnya itu bisa menjadi berapa ton gula. Pasrah saja ke pabrik. Lalu muncul saling curiga.
Ada persoalan rendemen. Ada persoalan efisiensi pabrik. Kalau pabriknya tidak efisien petani ikut menanggung akibatnya.
Petani sering mencurigai pabrik: memainkan prosentasi rendemen. Dengan sistem baru di Tambora ini tidak ada peluang untuk saling curiga. Simple dan beres.
Tapi belum tentu pabrik gula di Jawa bisa meniru Tambora. Ini persoalan cash flow besar. Pabrik gula harus siap dengan uang besar.
Belum tentu pabrik gula di Jawa punya uang seperti di Tambora.
Dengan sistem beli putus di Tambora itu petani tebu tidak akan ribut. Kegagalan manajemen di pabrik urusan pabrik sendiri.
Bukan berarti petani tebu Tambora tidak pusing. Persoalannya: di Tambora ini tanah begitu kering. Belum ada pemikiran sistem pengairan baru. Saya lihat ini: tanaman tebu di situ begitu kurus batangnya. Begitu kerontang daunnya.
Perkiraan saya: satu hektar hanya menghasilkan 30 ton. Bandingkan dengan lokasi yang lebih berat di Sumba timur: bisa 90 ton. Dengan teknologi pengairan barunya.
Tambora: yang debu letusan gunungnya pernah menggelapkan langit sampai New York.
Tambora: kini mulai menanam tebu. Apa adanya. (dis)