Rojo Lele

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Ini kali pertama saya mengunjungi Agro Tekno Park (ATP). Wahana rekreasi pendidikan berkonten teknologi pertanian dan peternakan tepat guna. Bagi para petani, ATP lebih cocok sebagai sekolahnya.

Ada dua lokasi ATP yang saya kunjungi: ATP pertanian terpadu di Klaten dan ATP peternakan terpadu di Kebumen. Pertanian terpadu, maksudnya diitegrasikan dengan peternakan. Sedangkan peternakan terpadu, maksudnya diintegrasikan dengan pertanian.

Meski sepertinya sama, sebenarnya keduanya tidak mirip. ATP pertanian terpadu fokus pada budidaya pertanian. Peternakan sebagai pendukung. Sedangkan ATP peternakan terpadu fokus pada budidaya ternak. Pertanian sebagai pendukung.

Kedua ATP mewakili dua model usaha pedesaan: bertani sambil beternak dan beternak sambil bertani. Kedua bentuk usaha ini saling mendukung. Biaya bertani menjadi lebih murah karena didukung peternakan. Biaya beternak menjadi lebih efisien karena ditunjang pertanian.

ATP Klaten dibangun Pemkab Klaten dengan dukungan Badan Tenaga Nuklir (Batan). Batan terlibat dalam pengembangan ATP karena ATP menjadi salah satu cara Batan untuk menghilirkan hasil-hasil inovasi teknologi nuklir dalam bidang pertanian dan peternakan.

Melalui ATP-lah, Batan mengedukasi petani untuk menanam padi, kacang tanah, kacang hijau dan sorgum varietas unggul hasil inovasi Batan kepada para petani. Bibit-bibit itu berasal dari varietas lokal yang memiliki sifat baik tetapi produktivitasnya rendah dan biaya produksinya tinggi.

DI ATP-lah peneliti Batan, pemerintah daerah dan petani saling bertukar informasi. Lalu merencanakan aksi nyata. Contoh: padi Rojo Lele.

Tidak ada orang yang menyangkal, beras Rojo Lele merupakan salah satu beras terenak di dunia. Padi Rojo Lele menghasilkan beras yang pulen, empuk, lengket dan harum. Beras Rojo Lele adalah salah satu beras premium. Harganya jauh lebih mahal dibandingkan beras lainnya. Tapi barangnya selalu diburu konsumen.

Padi Rojo Lele adalah varietas padi asli Klaten. Padi ini dibudidayakan secara turun-temurun oleh para petani di Klaten. Di lokasi lain, padi Rojo Lele bisa tumbuh baik. Tetapi hasil panennya tidak sama. Sifat berasnya yang pulen, empuk, lengket dan harum, ternyata hilang.

Saat ini, mayoritas petani Klaten tidak mau menanam Rojo Lele lagi. Kalau pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Ada beberapa penyebab. Pertama masa panennya 180 hari atau 6 bulan. Sementara varietas padi lainnya seperti IR64 hanya 120 hari. Lamanya masa panen membuat petani hanya bisa menanam Rojo Lele sekali setahun. Itu pun, yang 2 bulan sudah dalam masa pancaroba. Sawah mulai kekurangan air. Hasil panen belum tentu baik.

Kedua, Rojo Lele memiliki batang yang tinggi: bisa 2 meter. Batang yang tinggi berisiko getas alias mudah patah bila tersapu angin. Apalagi kalau bulir-bulir padi sudah mulai terisi. Batang yang patah membuat tanaman padi itu mati sebelum panen.

Karena tingginya risiko menanam Rojo Lele, mayoritas petani Klaten sekarang menanam padi varietas unggul Sidenuk, yang dimuliakan Batan sejak 16 tahun lalu. Dalam pengembangan Sidenuk, petani Klaten yang menjadi mitra penangkarnya.

Kini Sidenuk telah menyebar ke seluruh Indonesia. Utamanya: Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Kontribusi Sidenuk telah mencapai 10 persen dari total produksi gabah nasional.

Keengganan petani menanam padi varietas lokal menjadi perhatian serius Batan. Melalui inovasi teknologi nuklir, Batan melakukan pemuliaan bibit padi lokal Rojo Lele agar daya tumbuhnya lebih kuat, batangnya lebih pendek, usianya lebih genjah, produktivitasnya lebih banyak dan tentu saja lebih tahan hama.

Sudah enam tahun Batan melakukan pemuliaan bibit padi Rojo Lele. Para petani di Klaten yang menjadi mitra penangkar sudah menanamnya sebanyak 11 kali. Dalam dua hingga tiga musim tanam lagi, Rojo Lele generasi baru akan menerima sertifikat sebagai varietas bibit unggul.

Tahun 2020, petani di Klaten diharapkan sudah bisa menanam Rojo Lele hasil pemuliaan Batan itu secara luas. Tinggi batangnya 120 Cm. Umur panennya 105 hari. Produktivitasnya di atas 8 ton per hektare. Rojo Lele generasi baru siap bersaing dengan varietas padi lainnya.

Belajar dari pengalaman mengembangkan Sidenuk, Slamet Widodo, manager ATP Klaten, berharap bibit Rojo Lele besutan Batan akan mengembalikan pamor Klaten sebagai sentra padi Rojo Lele.

‘’Klaten terkenal ke seluruh Indonesia karena padi Rojo Lelenya. Sudah 6 tahun petani Klaten bekerjasama dengan Batan untuk menjadikan Rojo Lele sebagai varietas padi unggulan lokal Klaten untuk mengisi pasar beras premium nasional,’’ kata Slamet.

Indonesia memiliki banyak varietas padi lokal yang berpotensi menjadi produk unggulan lokal. Kalau Klaten (Jawa Tengah) punya Rojo Lele, Cianjur (Jawa Barat) punya Pandan Wangi, Tabanan (Bali) punya Merak Cendana, Kalimantan Barat tidak boleh hanya punya konsumen berasnya saja. (jto)

 

*admin www.disway.id