eQuator.co.id – Masakan baru. Resep lama.
‘Masakan baru’ itu senilai hampir Rp2.000 triliun. Hampir sama dengan APBN Indonesia.
Saya katakan ‘resep lama’ karena ‘masakan’ seperti itu pernah disuguhkan tahun 2008. Saat ekonomi lagi lesu. Agar bisa bergairah kembali. Dan berhasil saat itu.
Kini ekonomi Tiongkok kembali lesu. Banyak orang mengatakan itu akibat perang dagangnya dengan Amerika.
Saya tidak sepenuhnya setuju. Saya punya alasan sendiri.
Kelesuan itu juga akibat kebijakan yang keras. Dari pemerintahan Xi Jinping. Di lima sektor sekaligus: pemberantasan korupsi, pengetatan pajak, pemberesan kredit macet, penertiban pasar modal, dan pengendalian kredit.
Bersamaan dengan itu ada perang dagang. Yang dilancarkan Presiden Donald Trump. Juga ada kenaikan suku bunga di Amerika.
Kini pemerintah Xi Jinping harus bergerak cepat. Agar kelesuan ekonomi tidak berlanjut. Tiga bulan terakhir pertumbuhan ekonominya tinggal 6,6 persen. Turun 0,1 persen dibanding tiga bulan sebelumnya.
Luar biasa pekanya. Ekonomi tumbuh 6,6 persen sudah membuat pemerintah Tiongkok gelisah. Padahal ada negara yang tumbuhnya lima persen, tenang-tenang saja. Kalau pun berbuat, yang digalakkan adalah mencari kambing hitam: ekonomi global yang kurang baik.
Minggu lalu pemerintah Tiongkok menyiapkan dana baru itu. Stimulus sebesar gajah bunting. Yang akan dialirkan ke masyarakat ekonominya. Melalui kemudahan mendapatkan sumber dana dari bank. Dalam bentuk kredit.
Bank kini diperbolehkan menyalurkan tambahan kredit baru. Senilai USD 110 miliar. Setara dengan Rp 2 ribu triliun tadi.
Caranya: kewajiban simpanan bank di bank sentral diturunkan. Nilai penurunannya satu persen. Bank menjadi lebih punya uang. Untuk disalurkan ke sektor riel.
Apakah ini berarti pemerintah melunak? Dalam mendisiplinkan bank? Dalam menegakkan prinsip pruden? Dalam pengawasan kredit macet?
Tentu pemerintah menjelaskan ‘tidak’. Tapi inilah bagian yang masih harus dilihat kenyataannya.
Ketika resep yang sama diluncurkan di tahun 2008 ternyata menjadi seperti pisau bermata dua. Di satu pihak ekonomi memang berhasil bergairah. Di pihak lain perbankan menjadi sembrono. Lalu terjadilah ‘gempa’ kredit macet. Yang meninggalkan lubang di mana-mana. Yang dianggap sangat bahaya: bagi fundamental ekonomi Tiongkok.
Penerima kredit sendiri juga sembrono. Merasa toh uang itu bisa didapat dengan mudah. Dan dalam jumlah yang besar.
Banyak di antara mereka menjadi konglomerat mendadak. Lalu beli-beli perusahaan. Di mana-mana. Di seluruh dunia. Termasuk membeli klub-klub sepakbola. Kadang kurang dihitung untung ruginya.
Keinginan segera disebut 大老板 sangat menonjol. Seperti jor-joran untuk segera memiliki gelar bos besar.
Akibatnya kreditnya macet. Bank pusing. Pemerintah pusing. Pengusahanya pusing.
Ada bos besar tewas kepleset ke jurang. Ada yang bunuh diri. Atau ditangkap. Semua terjadi tahun ini. Semua itu adalah buntut ‘uang mudah’ dan ‘uang melimpah’ tahun 2008.
Saya akan mengamati secara khusus. Apakah resep lama yang kembali diterapkan mulai minggu lalu itu juga akan membuat banyak bos besar bunuh diri. Atau tewas. Atau kepeleset masuk jurang. Atau masuk penjara.
Tapi setidaknya sudah ada harapan: ekonomi bergerak lagi. Di sana. Bukan di sini. (dis)