Jadi Tantangan Pelaku Usaha

Rupiah (Masih) Ditekan Dolar AS

ilustrasi-net

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Nilai tukar rupiah masih tertekan dolar Amerika Serikat (AS). Sabtu (6/10), kurs 1 dollar AS masih di atas Rp15 ribu. Bahkan kurs di atas Rp15 ribu ini sudah berlangsung beberapa hari belakangan.

Pelemahan rupiah berimbas terhadap penjualan handphone. Misalnya saja Alpha 2000 di Jalan Tanjungpura, Pontianak. Sudah dua bulan belakangan terjadi penurunan penjualan secara drastis.

“Ini kita tidak tahu alasannya kenapa. Apakah karena ekonomi kita yang tidak stabil atau terkait dolar yang naik?” kata owner Alpha 2000, Juliana kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (6/10).

Selain kondisi ekonomi, penurunan omzet juga disebabkan semakin banyaknya persaingan. Di era digital sekarang sudah banyak masyarakat menggunakan android. Baik orang dewasa bahkan anak-anak gemar bermain gadget. Sehingga menjual android menjadi peluang usaha bagi masyarakat. “Sekarang sudah banyak konter-konter di Pontianak, udah kayak jamur, ini jadi tantangan kita,” ucapnya.

Namun dia optimis masih bisa bersaing. Sebab harga, pelayanan dan kemudahan memperoleh produk yang dijual menjadi prioritasnya. “Di sini saya tidak hanya melayani pembelian HP, tapi juga ada jasa service dan kredit HP,” tuntas Juliana.

Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalbar, Andreas Acui Simanjaya mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebetulnya bukan baru kali ini saja terjadi. Tapi mulai terjadi sejak tahun 2012. “Sepanjang tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 12,04 persen,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar.

Menurut dia, anjloknya rupiah cenderung didorong sentimen eksternal. Terutama kekhawatiran perang dagang yang dipicu kebijakan AS.

“Selain itu, menurut informasi yang saya peroleh, bahwa pelaku pasar uang, pasokan valuta asing juga belum berimbang dengan permintaan, sehingga turut memicu lemahnya rupiah,” terangnya.

Pelemahan rupiah kata dia, berlangsung secara bertahap sejak tahun 2012. Tidak seperti mata uang Turki yang mengalami penurunan secara drastis. “Artinya hal ini masih bisa diantisipasi pelaku usaha sektor riil,” jelasnya.

Acui mengatakan, pelaku dunia usaha sebenarnya juga tidak ingin penguatan dan pelemahan mata uang terlalu cepat. Karena kedua hal tersebut sama-sama tidak baik.

“Ibarat cuaca jangan panas dan dingin dengan perbedaan suhu yang ekstrem. Kalau berangsur-angsur naik atau turun mahluk hidup bisa menyesuaikan diri,” katanya memberi perumpamaan.

Dalam hal ini kata dia, Bank Indonesia dan pemerintah dapat merespons dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan. BI perlu  menaikkan suku bunga acuan sekitar 25-75 poin hingga akhir 2018. Ini perlu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Defisit transaksi berjalan harus turun, karena diprediksi tahun depan lebih berat tantangannya. “Kuartal III, defisit transaksi berjalan akan di bawah tiga persen,” ulasnya.

Terpuruknya rupiah tentu menjadi tantangan bagi dunia usaha. Lantaran perang dagang berlangsung lama, kenaikan suku bunga acuan Bank Federal, dan harga minyak dunia akan naik. Apalagi keputusan OPEC tidak menambah jumlah produksi minyak.

“Kita selaku pengusaha tidak mudah meningkatkan ekspor, walaupun nilai tukar rupiah rendah terhadap dolar AS,” tuturnya.

Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan pemerintah dapat memberikan insentif agar pengusaha mengendapkan devisa hasil ekspor di Indonesia. Sehingga cadangan devisa begara ini cukup besar dari hasil ekspor. Mengingat saat ini, pelemahan nilai tukar uang terhadap dolar AS bukan hanya di hadapi Indonesia. Tapi  sejumlah negara lain juga mengalaminya.

“Melemahnya rupiah bukan karena kinerja pemerintah kita, namun akibat situasi global yang berdampak pada nilai tukar rupiah,” tuturnya.

Namun di tahun politik kata dia, hal ini digunakan sebagai amunisi untuk menyalahkan pemerintah. Padahal pelemahan rupiah diantaranya lantaran akibat strategi dan kebijakan AS. Kenaikan suku bunga oleh Bank Federal membuat dana-dana yang tadinya parkir di negara berkembang seperti Indonesia pulang lagi ke negara asalnya. Untuk mengejar bunga yang tinggi. Akibatnya, pasokan dolar AS di Indonesia berkurang dan menyebabkan nilai tukar menjadi peningkatan.

“Semestinya dunia bisa kompak tidak lagi memakai dolar sebagai acuan nilai tukar uang dunia. Bisa saja kita beralih ke mata uang Tiongkok secara bersama sama dengan kesepakatan negara-negara lain,” sebutnya.

Jurus ini kata dia, akan menghilangkan dominasi mata uang dolar AS. Alasan lain, kenaikan dolar AS juga akibat perang dagang yang diciptakan Donald Trump dengan berbagai kebijakannya. Seharusnya, Indonesia tidak perlu khawatir dengan kondisi pelemahan rupiah. Sebab stabilitas ekonomi dan keuangan negara sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Terbukti dengan likuiditas terjaga baik, non performing loan (NPL) di perbankan Indonesia menurun dibandingkan tahun 2015 dari 3,2 persen menjadi 2,7 persen.

“Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal melemahnya nilai tukar rupiah. Ini kasus yang berbeda dibandingkan dengan masa lalu yang memicu berbagai kejadian besar di Indonesia,” demikian Acui.

 

Laporan: Nova Sari

Editor: Arman Hairiadi