eQuator.co.id – Ada gempa lain. Di laut dan udara. Di kawasan yang jadi pusat sengketa. Antarbanyak negara: Laut China Selatan.
Kapal perang Amerika sengaja mendekati kawasan itu. Kapal perang Tiongkok mengadangnya. Agar kapal Amerika itu tidak masuk kawasan yang diklaim wilayah Tiongkok.
Hampir saja senggolan. Saling manuver. Tinggal 41 meter jaraknya. Begitu nyaris. Untuk jarak antarkapal perang.
Amerika langsung berkoar: Kapal perang Tiongkok telah melakukan manuver dengan gerakan yang tidak aman. Tidak profesional.
Tiongkok langsung merespons. Mengecam Amerika. Melakukan tindakan provokasi. Memancing di air keruh.
Untung insiden itu terhindar. Kalau saja dua kapal perang itu bersenggolan tidak tahu lagi apa yang terjadi. Padahal bisa saja senggolan itu karena gelombang yang lagi besar.
Minggu ini isu utama pindah. Dari perang dagang ke perang sungguhan.
Wakil Presiden Amerika, Make Pence, bikin pernyataan. Insiden 41 meter itu justru tidak membuat Amerika surut. Justru akan mengerahkan lebih banyak kapal perang. Ke wilayah itu. Lengkap dengan kapal induknya. Yang membawa pesawat-pesawat tempurnya.
Kapan dilakukan? Dalam waktu dekat. Para pengamat memperkirakan akhir bulan ini. Sebelum pemilu sela di Amerika bulan depan.
Dengan aksi militer seperti itu rakyat Amerika senang. Mampu menunjukkan kejagoannya. Kesenangan itu diharapkan bisa membawa berkah: menang pemilu sela.
Presiden Donald Trump begitu mendambakan kemenangan itu. Agar DPR-nya tetap dikuasai Partai Republik.
Hasil survey di Amerika mengkhawatirkan Trump. DPR bisa-bisa direbut kembali oleh Demokrat. Kalau sampai itu terjadi, bahaya. Trump bisa di-‘impeach’.
Apalagi baru saja ada gempa politik lagi di sana. Harian New York Times menulis: Wakil Jaksa Agunglah yang dulu menginginkan agar Trump dikenakan pasal konstitusi: tidak layak lagi menjabat presiden.
Gempa susulan muncul: ketidakmulusan usul Trump ke DPR. Yakni usul untuk mengangkat Brett Kavanaugh menjadi hakim agung.
Seorang wanita mengaku pernah hampir diperkosa Brett Kavanaugh saat di SMA. Wanita itu sekarang sudah profesor: Christine Blasey Ford. Bidang psikologi. Ilmu itu sendiri didalami dengan motif khusus. Akibat dia sendiri mengalami trauma. Akibat percobaan pemerkosaan itu. Terutama selalu terngiang di telinganya: nada tawa-tawa kemenangan saat berhasil merebahkan badannya.
Sang profesor memberikan keterangan terbuka. Di depan sidang kongres.
Brett Kavanaugh menolak semua tuduhan itu. Tapi pengangkatannya sebagai hakim agung tertunda. Menunggu hasil penyelidikan FBI –badan intelijen negara.
Trump begitu jengkelnya. Kasus seperti itu bisa mengganjal. Bahkan sudah begitu lamanya. Saat Brett Kavanaugh masih remaja.
”Seandainya yang saya usulkan ini George Washington pun Partai Demokrat juga tidak akan setuju,” ujar Trump. Begitu jengkelnya.
Presiden pertama Amerika itu, Bapak Bangsa itu, memang dikenal dalam sejarah: punya masalah cinta. Dengan begitu mendalamnya. Dengan wanita bersuami.
Bapak Bangsa lainnya, Thomas Jefferson, lebih lagi. Simpanannya adalah wanita kulit hitam. Memberinya anak pula: Sarah ”Sally” Hamings.
Sejarah presiden-presiden Amerika menuliskan semua sisinya. Keheroannya sebagai pahlawan. Kecerdasannya sebagai pemikir. Kebijaksanaannya sebagai bapak bangsa. Dan kelemahannya sebagai manusia. Terutama sebagai laki-laki yang memerlukan wanita.
Presiden Andrew Jackson, misalnya, sampai duel adu tembak. Untuk cintanya pada seorang wanita. Yang sudah punya suami.
Arena adu tembak sudah ditentukan. Berikut hari dan jamnya.
Di hari itu keduanya ambil posisi berhadapan. Pada jarak tembak yang ditentukan. Saling menyandang pistol.
Andrew Jackson angkat suara. Sang suami diminta menembak dirinya lebih dulu. Meleset. Baru giliran ia yang menembak. Sejarah masa lalu.
Kini tidak ada wanita di Laut China Selatan. Tapi adu tembak bisa terjadi. Antar dua kekuatan terbesar di dunia. Filipina, Vietnam, Brunai, Taiwan bisa jadi sandwich di sekitarnya. (dis)