HARI pertama pascagempa dan tsunami Donggala-Palu, Sulteng, menyingkap banyak duka. Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan.
Ridwan Marzuki, Donggala
eQuator.co.id – Suara Wahyudi Widodo tiba-tiba terhenti. Mirip orang tersedak. Atlet paralayang ini sudah empat hari di Palu, saat getaran bumi menyentakkannya. Gempa datang dengan daya kejut luar biasa.
Awalnya hanya getaran kecil. Lalu menyusul sangat besar. Mencapai 7,7 Skala Richter yang belakangan BMKG meralatnya menjadi 7,4 SR. Gempa susulan inilah yang melantakkan bangunan, jalan, dan jembatan.
“Banyak sekali korban. Saya merinding mengingatnya,” ujar Wahyudi sesaat setelah tiba di Lanud Hasanuddin, malam tadi.
Ia sempat menahan napas, lalu melanjutkan ceritanya. Wajahnya masih diliputi trauma. Tubuhnya gemetaran dan terlihat lunglai. Dia sangat sedih. Banyak rekannya tewas korban gempa dan tsunami.
Wahyudi merupakan salah seorang korban selamat yang turut dievakuasi dari Palu ke Makassar. Warga Bondowoso, Jatim ini, ke Palu untuk mengikuti kejuaraan paralayang internasional, 23-29 September. Pesertanya 63 orang dari lima negara. Bersama rombongan dari daerahnya, dia menginap di Penginapan Borneo, sebuah penginapan di kawasan Kota Palu.
“Keadaan sangat mencekam. Masing-masing berupaya menyelamatkan diri. Kota lumpuh,” urainya menggambarkan suasana sesaat setelah gempa.
Bersama sejumlah tamu lain yang menginap di Borneo, pria 42 tahun ini menyelamatkan diri sekuat tenaga. Berlari ke arah mobil pikap, lalu menuju ke perbukitan di Kawasan Balani. Mereka mengungsi. Tak tidur hingga pagi.
Yustira Ramadani (42), lain lagi. Koordinator Tim Paralayang Jatim ini menginap di Hotel Roa-roa, Palu. Rombongannya 10 orang bersamanya. Namun, nasib mengharuskan tiga rekannya tak pulang. Belum ditemukan hingga kini.
“Mereka di lantai tujuh, lalu bangunan rubuh hingga ke dasar. Mereka masih tertimbun,” ujar Yustira sedih, suaranya parau.
Bangunan itu luluh lantak. Tak menyisakan satu lantai pun. Dia memperkirakan, puluhan orang masih terjebak di dalam bongkahan bangunan Hotel Roa-roa. Tak ada yang bisa mengevakuasi. Peralatan tiada, tim SAR pun belum tiba.
“Saya tidak mengatakan meninggal, tapi belum ditemukan. Kemungkinan terjebak di reruntuhan hotel. Dua cedera, Sugeng dan Vicky,” imbuh pelatih Tim Paralayang Jatim ini.
LOMPAT SELAMAT
Yustira dan beberapa rekannya beruntung masih di lobi saat puncak gempa terjadi. Dengan cekatan dia melompat keluar dari lobi ketika bangunan rubuh dengan cepat.
Saat sudah berada di jalan, seluruh lantai telah ambruk. Sebuah kesyukuran sekaligus kepiluan baginya. Syukur karena selamat, pilu karena sebagian rekannya tertimbun.
Memang, akibat kejadian itu, selain tiga rekan setimnya dari Jatim, atlet paralayang dari daerah lain dan luar negeri juga ikut tewas. Terkubur dalam runtuhan.
“Tiga dari Malang, satu dari Sulawesi Utara, satu dari Korea,” imbuhnya.
Bersama rekannya, dia sudah berupaya maksimal menolong yang terjebak, namun terhambat bongkahan cor. Hingga sore hari, pesawat evakuasi milik TNI AU datang. Dia pun diterbangkan ke Makassar. Selanjutnya menggunakan pesawat komersial ke Surabaya.
Alfari Widyasmara (33), asal Yogyakarta, juga berada di Palu saat bencana terjadi. Beruntung dia sedang di luar hotel begitu gempa datang. Dia masih sempat menyelamatkan diri dengan berlari ke bukit.
Hingga pagi dia bertahan di sana. Setelah merasa aman, barulah kembali ke penginapan. Namun, kerusakan parah terjadi. Jalanan terbongkar, pagar, dan gedung rubuh.
“Di pinggir jalan mayat-mayat bergelimpangan, Pak. Tadi pagi saya lewat di situ, masih banyak mayat. Masih belum ada tim SAR,” urainya dengan nada suara agak parau. (FAJAR/JPG)