eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Pemerintah tengah menggodok rancangan undang-undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum disahkan, Komisi III DPR RI meminta tanggapan akademisi dan praktisi hukum di Kota Pontianak.
Kamis (13/9) digelar diskusi di Aula Magister Hukum Untan Pontianak. Bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak dan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalbar. Kegiatan tersebut dihadiri Ketua Tim Panja RUU MK, Erma Suryani Ranik. Hadir pula Akbar Faisal, Erwin TPL. Tobing, Arteria Dahlan dan beberapa legislator Senayan lainnya.
Diskusi terfokus juga turut dihadiri Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Kepala Kanwil Kementrian Hukum dan HAM, Peradi, dan para akademisi hukum lintas perguruan tinggi yang ada di Kota Pontianak.
Erma menuturkan, kunjungan Komisi III ke Kota Pontianak dalam rangka diskusi terfokus terkait RUU MK.
“Kalbar adalah tempat pertama Komisi III mengadakan forum grup diskusi,”ujarnya kepada wartawan.
Dalam pertemuan tersebut, pihaknya meminta masukan dari para praktisi hukum terkait draf RUU MK. Dia ingin Untan mulai kuat dalam konteks subtansi terkait dengan hukum tata negara. “Karena saya juga alumni. Untan menjadi leading sector pulau Kalimantan untuk isu-isu tentang hukum tata negara,” harapnya.
Tak hanya Untan, pihaknya juga akan melanjutkan diskusi ke perguruan lain di Indonesia. Langkah ini dilakukan lantaran dirinya menilai RUU MK harus banyak perbaikan. “Banyak perkembangan dalam RUU MK ini yang merupakan jawaban atas pengalaman 15 tahun praktek di MK,” ujarnya.
Pihaknya paham banyak kritikan terhadap kinerja MK maupun hukum acaranya. Sebagai contoh, bagaimana cara mengatur kode etika hakim yang tidak ada dalam UU. Cara mengatur kode etik hakim hanya dibuat melalui peraturan MK. Secara tata krama hukum, letaknya di bawah UU dan itu sulit diangkat.
Kemudian saat ini ada 9 hakim MK. Terdiri dari tiga kamar. Yaitu pemerintah tiga orang, Mahkamah Agung (MA) tiga orang dan DPR tiga orang. Masing-masing kamar tiga orang hakim MK ini banyak mendapat kritik dari berbagai pihak.
“Misalnya kalau kami dari DPR, Komisi III kok milih teman temanya sendiri jadi hakim MK, dari kamar pemerintah dikritik ini kurang transparan dari kamar MA dikritik ndak jelas ni orang orang yang dikirim dengan mekanisme penunjukan sebagai calon hakim Hakim MK juga ndak jelas,” paparnya.
Kritikan-kritikan ini bagian dari upaya menyempurnakan RUU MK. Dikegiatan tersebut, pihaknya menerima masukan dari akademisi ini. Hakim khususnya dari Kepala Pengadilan Tinggi Pontianak.
“Tentu saja kami menerima masukan dari akademisi, praktisi dalam hal ini dari teman-teman pengacara yang akan memakai ini untuk keperluan pengacara,” tuturnya.
Buat Fraksi Partai Demokrat kata dia, ada dua catatan dalam RUU MK ini. Pertama, ingin mengkaji secara dalam apakah memang ingin memasukkan kembali sengketa tentang pemilihan umum ke MK. Kedua, menginginkan minimal tiga orang hakim MK merupakan perempuan. “Kita punya tiga orang di masing-masing kamar. DPR, pemerintah dan MA,” jelasnya.
Dia berharap setiap kamar ada seorang hakim perempuan. Dia yakin banyak putusan-putusan MK menjadi jauh lebih baik dan melindungi hak-hak perempuan. Dia juga berharap pembahasan ini bisa selesaikan dalam periode ini. Tidak perlu menunggu DPR RI periode 2019-2024.
“Karena kita juga bekejaran dengan waktu, sebab ada mandat untuk segera membentuk badan peradilan sengketa pemilu di MK. Jadi kita harus selaraskan semuanya ini dan kita selaraskan juga mekanisme, proses, kemudian subtansi,” harap Erma.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Akbar Faisal menuturkan, kunjungan Tim Panja RUU ke Untan Pontianak dalam rangka mendengarkan argumentasi para akademisi. Mulai dari Peradi, serta lembaga lain terkait RUU MK ini. “Ini yang pertama kami di Panja membawanya di sini. Sekaligus menghormati Ketua Panja ibu Erma. Mmasih ada beberapa kota yang akan kita lakukan kegiatan roadshow,” ujarnya kepada wartawan.
Dari pertemuan kata dia, banyak argumentasi yang mumpuni dan menarik. Banyak hal yang dikritisi. “Kita sudah mengirimkan drafnya dari Kementerian Hukum dan Ham, mulai dari proses rekrutmen sampai pada sistem tata acaranya,” paparnya.
Hasil masukan tersebut akan dibawa dan di tampung sebelum akhirnya diparipurnakan. Inti dari pertemuan ini, banyak pihak yang ingin menyampaikan komitmennya sebagai sebuah bangsa untuk melahirkan sistem perundang-undangan yang terukur. “Bukan hanya di Jakarta, tapi di berbagai negeri di Indonesia,” ucapnya.
Dirinya juga melihat ada keinginan yang luar biasa dari banyak pihak untuk melahirkan UU MK. Lantaran pihaknya mendengar bagaimana beberapa putusan MK tidak dieksekusi dan tak berlaku. “Di luar itu muncul tadi, juga bagaimana mekanisme rekrutmennya apakah melalui pansel dan segala macam,” terangnya.
Begitu pula terkait masa jabatan yang menggunakan perbandingan beberapa negara. Untuk Indonesia kebutuhan sebenarnya bagaimana.
“Betapa kami mendapat masukan yang sangat bagus dari Kalbar. Saya berharap ini menjadi dasar bagi kami untuk melahirkan UU MK yang lebih paripurna dibanding sebelumnya,” harap Faisal.
Sementara itu, Akademisi Hukum Tata Negara Tengku Mulia Dilaga Turiman Facturahman Nur mengapresiasi terselenggaranya kegiatan tersebut. Ini pertama kali Untan dipercaya membahas RUU MK. “Dan hasilnya sangat luar biasa,” ujarnya kepada wartawan.
Sebelum diskusi terfokus ini dimulai, satu hari sebelumnya dirinya beserta beberapa perguruan tinggi di Kota Pontianak sudah berkumpul. Menyiapkan tanggapan terkait RUU MK tersebut. “Satu hari sebelumnya kami kaum akademi sudah berkumpul menyiapkan ini baik dari kawan-kawan Untan, Universitas Panca Bhakti, dan Universitas Muhammadiyah,” ungkapnya.
Facturahman menuturkan, MK memiliki kewenangan yang luas. Dia memberikan prolog, bahwa MK bukan hidup di ruang hampa. Namun hidup di antara manusia. “Artinya dalam hal ini adalah para hakim konstitusi,” sebutnya.
Dia menegaskan, MK harus tetap konsisten dan istikomah dalam menjalankan fungsinya. Kalau memang konstitusional, maka katakan konstitusional. Sebaliknya, kalau inkonstitusional, maka katakan inkonstitusional.
Dijelaskannya, dari hasil diskusi panjang tersebut intinya ingin mendapatkan hakim konstitusi kedepan yang berjiwa negarawan. Jangan hanya hukum progresif yang ditata di Indonesia. “Tapi juga sedang menata satu lembaga yang namanya MK yang memiliki kewenangan mengawal kontitusi,” tuturnya.
Konstitusi kata dia, merupakan hukum dasar yang sifatnya tertulis dan tidak tertulis. Yang mereka uji adalah konstitusi atau hukum dasar tertulis. “Untuk itu diperlukan seorang hakim MK yang sangat paham dengan konstitusi, karena tugasnya mengawal konstitusi negara,” paparnya.
Secara akademisi dia menilai, pada dasarnya hukum dapat dianalisis dari tiga hal. Yakni substansi, stracter, dan chulter atau budaya. “Kita ingin membentuk hakim yang berkarakter bagaimana, khas Indonesia bukan kita mengabaikan dengan yang lain,” tuturnya.
Dalam RUU ini kata dia, yang menarik terkait rekrutmen hakim MK. Seperti bagi kapling. “Tentu ini juga akan menjadi perdebatan banyak pihak,” lugasnya.
Ada kewenangan atribusi yang dimiliki MK dalam hal pembubaran partai politik di Indonesia. Dalam RUU yang berhak mengajukan permohonan adalah pemerintah. Padahal masyarakat punya kewenangan hak konstitusional. “Kalau dari masyarakat legal standingnya dimana,” jelasnya.
Seharusnya kata dia, masyarakat juga berhak. Tidak hanya pemerintah yang diberikan kewenangan tersebut. “Keberadaan MK memang masih sangat diperlukan. Namun MK harus lebih baik dari sebelumnya,” pungkasnya.
Menjadi tugas bersama membangun role model MK. Dapat dilakukan dengan pembenahan. Baik struktur dan substansi yang berkaitan dengan isi undang-undang. Begitu pula dengan culture yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada hakim konstitusi.
Laporan: Andi Ridswansyah
Editor: Arman Hairiadi