eQuator.co.id – Menjadi seorang junior di Bank Summa membuka kesempatan luas bagi saya untuk mengenal dunia perbankan dan keuangan. Saya mengikuti keseluruhan proses yang harus dialami oleh seorang pekerja baru, pelatihan, mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang sudah punya nama di dunia perbankan hingga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tampak kecil dan remeh bagi banyak orang tetapi penting untuk pengembangan diri.
Di tengah gairah baru dunia kerja itu, Bank Summa memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan Master of Business Administration di George Washington University, (GWU) Washington DC. Rantau Amerika tidak lagi terasa asing bagi saya. Saya menikmati tugas belajar dari tempat kerja ini.
Mimpi indah menyeruak di awang-awang, tentu setelah menyelesaikan pendidikan Master ini saya bisa meniti karier lebih tinggi di Bank Summa. Suasana DC dimana terdapat jauh lebih banyak pemukim Indonesia dibandingkan di Wichita juga membuat saya semakin nyaman.
Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Saya juga punya kesempatan untuk terlibat aktif dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika.
Akhir dari setiap mimpi, baik atau buruk, adalah terbangun dalam kesadaran. Mimpi indah saya pada tahun pertama kuliah di GWU tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Di tanah air, Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet.
Om Williem, -William Soeryadjaya, turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan sahamnya di aset paling berharga milik keluarga Soeryadjaya, Astra. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Om Williem, -yang pada akhirnya kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa.
Dampaknya bagi saya yang jauh berada di Amerika sungguh sangat terasa. Beasiswa saya terhenti justru di tengah gairah saya ingin segera menyelesaikan program Master ini. Bagi saya saat itu, sungguh tidak etis di tengah badai besar yang tengah dihadapi Bank Summa, untuk menanyakan kelanjutan beasiswa.
Di tahun 1992 itu, saya seolah kembali memegang selembar one way ticket. Mimpi-mimpi indah yang sempat terbang di langit cita-cita, satu per satu pecah bagai gelembung yang tidak berdaya. Perantauan kembali menguji insting saya untuk survive.
Untuk menyelesaikan studi ditambah lagi dengan biaya hidup di Amerika, tabungan saya pada saat itu jauh dari cukup. Tidak banyak yang bisa saya simpan dari hasil bekerja selama satu setengah tahun di Bank Summa.
Saya merasa pada saat itu, sudah tidak pantas lagi merepotkan orang tua dengan kesulitan yang saya hadapi. Masalah terhentinya beasiswa ini saya simpan rapat dari orang tua hingga saya berhasil menyelesaikan studi di GWU. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mencari pekerjaan dan dengan uang dari hasil pekerjaan itu saya bisa terus melanjutkan kuliah.
Pada saat kehidupan menantang saya untuk bertahan maka pada saat itu saya bersiap untuk melakoni pekerjaan apapun sepanjang halal dan cukup untuk menyelesaikan studi. Bahkan sempat terpikir untuk menjadi tukang cuci piring atau tukang bersih-bersih.
Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, saya bisa melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU. Pada saat itu saya mendapatkan bayaran USD 3 perjam.
Pekerjaan itu tidak lama saya tekuni, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi Tutor dengan gaji USD 6 perjam. Bekerja sambil kuliah di negeri orang benar-benar menjadi ujian disiplin hidup. Saya harus pintar-pintar membagi waktu, agar pekerjaan bisa mendukung kuliah yang tengah saya tempuh, bukan sebaliknya.
Di sini pula saya menyadari pentingnya menetapkan target dan prioritas. Target saya dalam bekerja adalah untuk mendapatkan uang demi menyelesaikan kuliah. Artinya kuliah menjadi prioritas utama yang harus didukung oleh kesungguhan saya dalam bekerja.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, saya mampu melaluinya dengan baik. Saya tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat summa cum laude.
Usia saya dua puluh tiga tahun ketika menggondol gelar Master of Business Administration dari George Washington University. Dengan usia yang masih muda itu, ada godaan untuk menerima pekerjaan lain di tengah ketidakpastian yang menyelimuti Bank Summa. Mimpi untuk bekerja di perusahaan besar dan hidup mapan masih mungkin saya rangkai kembali.
Tetapi sejak kecil saya terbiasa loyal dengan satu hal. Saya loyal dengan satu olahraga, bola basket. Saya loyal dengan satu wanita, dari pacaran hingga menjadi istri saya, Nur Asia Uno. Saya juga loyal dengan bidang finance yang saya tekuni. Dan menurut saya adalah penting untuk loyal pada bank yang telah memberikan saya kesempatan bekerja dan kemudian bahkan untuk melanjutkan studi Master di Amerika.
Kalau pun karir saya harus berakhir, saya ingin keputusan itu datang dari orang yang mempekerjakan. Saya kembali ke Indonesia, tetap dengan status sebagai karyawan Bank Summa.
Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Saya kehilangan pekerjaan. Loyalitas buta saya sepertinya kalah telak oleh kenyataan. Tampak di permukaan memang seperti itu. Tetapi sebenarnya yang terjadi, itulah masa-masa yang penting dan berharga dalam hidup saya.
Saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat bagaimana Om Willem, mentor bisnis yang sangat saya kagumi, mengelola krisis. Dari Om Willem saya belajar, bahwa bisnis lebih dari sekedar masalah untung rugi tetapi tanggung jawab. Begitu banyak yang dikorbankan oleh Om Willem demi mengembalikan uang nasabah di Bank Summa, hingga akhirnya Astra yang dibangun dan dibesarkannya berpindah kepemilikan.
Dalam jangka panjang, krisis yang dialami oleh tempat saya bekerja ini memberikan pelajaran yang jauh lebih besar pada saat nantinya saya menangani perusahaan-perusahaan termasuk perbankan yang tengah “sakit”. Seringkali saya berpikir, bila pada titik krisis di tahun 1992 itu saya memutuskan meninggalkan Bank Summa begitu saja, tentu saya tidak akan pernah bisa berjalan sejauh ini di dunia bisnis. Itulah pelajaran dari pohon loyalitas yang buahnya saya petik di masa depan.
Kehidupan terus berjalan. Jarum jam tidak pernah menunggu kita untuk bergerak. Saya memutuskan untuk kembali mengadu peruntungan di perantauan.
One Way Ticket membawa saya ke negara tetangga, Singapura. Setia dengan bidang yang saya tekuni, keuangan, saya bekerja sebagai finance and invesment analist di Seapower Asia Invesment Limited.
Setahun kemudian, karirnya saya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai Investment Manager. Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, saya bergabung dengan NTI Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President.
Pekerjaan ini membawa saya kembali ke tanah Amerika Utara, tepatnya Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, saya sudah bisa menghasilkan pendapatan dollar “enam digit”.
Apabila kesuksesan diukur dari kecepatan menghasilkan uang, maka pada usia dua puluh enam tahun saya telah mengukir kesuksesan. Tetapi masalahnya, roda kehidupan saya tidak pernah berhenti. Malah roda itu berputar lebih cepat dibandingkan dengan roda kehidupan banyak orang.
Dengan semua capaian yang saya dapatkan, pada saat itu saya merasa sudah bisa untuk membeli “tiket kembali” dari one way ticket yang dulu diberikan oleh ayah. Mimpi-mimpi masa remaja tentang kehidupan yang mapan telah menjadi kenyataan.
Realitas itu semakin lengkap ketika saya memutuskan untuk menikahi kekasih saya sejak masa remaja, Nur Asia Uno pada tahun 1996. Satu tahun kemudian lahirlah putri pertama kami Anneesha Atheera Uno.
Tetapi justru di tengah kesempurnaan hidup ini, ujian hidup yang sangat besar menunggu saya. Pada awal tahun 1997, krisis ekonomi mulai merambat dan perlahan melilit beberapa negara Asia.
Dimulai dari terpukulnya mata uang Baht Thailand akibat aksi spekulasi besar-besaran, krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara Asia lainnya. Perusahaan tempat saya bekerja benar-benar mengalami pukulan hebat akibat krisis ini. Sejak pertengahan tahun 1997, bisa dikatakan saya tidak pernah lagi menerima gaji dari tempat saya bekerja walaupun masih menjalankan tanggung jawab sebagai salah satu eksekutif perusahaan.
Tanpa gaji, mungkin saya masih bisa bernafas dengan mengandalkan tabungan yang ada. Sayangnya, mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena berhasil mengelola dana investasi orang lain, saya menginvestasikan sebagian besar tabungan di pasar modal yang kemudian ambruk. (*/bersambung)