eQuator.co.id – Pontianak-RK. Hujan lebat disertai angin kencang melanda Pontianak dan sekitarnya, Jumat (31/8). Kepala Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, Erika Mardiyanti, menyatakan hal tersebut dihasilkan awan Cumulonimbus.
“Angin kencang yang terjadi umumnya berdurasi 5 hingga 10 menit saja pada suatu wilayah, dampak akibat angin kencang ini, diantaranya terbangnya material bangunan di kompleks Universitas Tanjungpura (Untan),” jelasnya, Sabtu (1/9).
Tercatat, di Stasiun Meteorologi Maritim Pontianak, kecepatan angin maksimum mencapai 30 knot (±54 km/jam). Sedangkan di Stasiun Meteorologi Supadio, kecepatan angin 25 knot (±45 km/jam).
Curah hujan terukur hingga 19.00 WIB di Stasiun Meteorologi Maritim Pontianak mencapai 55,4 mm yang termasuk kriteria hujan lebat. Sedangkan di Stasiun Meteorologi Supadio hanya 12,5 mm.
Erika menyebut, fenomena cuaca ekstrem di bulan Agustus ini alamiah. Biasa terjadi.
“Hujan lebat disertai petir dan angin kencang berdurasi singkat lebih banyak terjadi pada masa transisi musim (pancaroba), baik dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya atau pada saat terjadi pemanasan yang sangat kuat akibat beberapa hari tidak hujan,” paparnya.
Imbuh dia, “Series data di Stasiun Meteorologi Supadio menunjukkan pola peningkatan suhu udara maksimum harian selama 3 hari terakhir”.
Suhu udara maksimum harian tercatat 34,4°C, Jumat (31/8). Jeda hujan/hari tanpa hujan hanya 1 hari, yaitu pada Kamis (30/8). Menurut Erika, hal itu didukung kelembaban udara yang sangat tinggi pada lapisan atas. Serta terbentuknya pola konvergensi angin. Peningkatan suhu udara dan adanya jeda hujan ini telah menimbulkan hujan lebat disertai angin kencang.
Ia menuturkan, sebetulnya bulan Agustus identik oleh masyarakat dikenal sebagai musim kemarau. “Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena untuk wilayah Kalbar sebenarnya hanya di sebagian Kabupaten Ketapang saja yang ditetapkan BMKG sebagai wilayah yang saat ini mengalami musim kemarau,” jelas Erika.
Sedangkan wilayah lainnya tipe hujannya ekuatorial. Yakni, terdapat 2 periode puncak hujan dalam 1 tahun yang biasa terjadi pada bulan November-Desember. Dan pada April-Mei. Periode curah hujan lebih rendah biasa terjadi pada bulan Februari dan bulan Juli-Agustus.
Erika melanjutkan, walaupun pada bulan Agustus curah hujan lebih rendah, namun normal curah hujan menunjukkan masih terdapat hujan >150 mm/bulan untuk Kota Pontianak. Bahkan data pada tanggal 23 Agustus 2014, menunjukkan curah hujan mencapai 150 mm hanya dalam 1 hari.
“Jadi, hujan lebat di bulan Agustus sebenarnya fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi di Kota Pontianak,” terangnya. Ia memprakirakan, hingga pertengahan Oktober 2018 masih ada potensi terjadi jeda hujan yang bisa memicu kembali terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Selaras dengan prakiraan itu, kewaspadaan akan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tak boleh diturunkan. Sebab, menjelang akhir tahun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK ) memperkirakan akan terjadi El Nino lemah.
Perkiraan tersebut didasarkan pada Analisis dan Prediksi Enso (El Nino South Osciliation) Pemutakhiran Dasarian II Agustus 2018 yang dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Analisis tersebut menunjukkan bahwa bahwa pada bulan September hingga November 2018 ada kecenderungan El Nino Lemah. Sedangkan pada bulan Desember 2018 hingga Januari 2019, kemungkinan ada El Nino dengan kategori sedang (Moderate).
Terjadinya El-Nino selalu dibarengi dengan meningkatnya potensi Karhutla di berbagai daerah. Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles B. Panjaitan menyampaikan bahwa kondisi cuaca ini tentu harus diwaspadai oleh semua pihak. Dan upaya pencegahan harus dilakukan dengan lebih intensif lagi.
“Manggala Agni akan terus berkoordinasi dan bersinergi dengan para pihak untuk bersama-sama bekerja di lapangan menuntaskan karhutla”, kata Raffles kemarin (1/9).
Berdasarkan pantauan Posko Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Hari Kamis (30/8) pukul 20.00 WIB, berdasarkan satelit NOAA, titik panas terpantau sebanyak 42 titik. Tersebar di Provinsi Aceh, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kaltim, Jateng, Lampung, dan Babel.
Sementara pantauan satelit TERRA AQUA (NASA) dengan confidence level 80 persen mendeteksi 27 hotspot, 21titik di Aceh, dan lainnya di Kaltim, NTT, NTB, serta Sulsel.
Raffles mengatakan, pantauan hostpot oleh Satelit MODIS, TERRA AQUA masih menunjukkan angka fluktuatif yang juga harus ditindaklanjuti dengan pengecekan lapangan (groundcheck) untuk memastikan kejadian karhutla. ”Musim kemarau dan cuaca yang panas menjadi salah satu pemicu rentannya terjadi kebakaran, terutama di wilayah-wilayah rawan dengan kondisi tanah gambut yang akan mudah terbakar pada kondisi kering,” jelasnya.
Laporan: Rizka Nanda, JPG
Editor: Mohamad iQbaL