eQuator.co.id – Jakarta–RK. Sekitar dua jam bakal calon presiden Prabowo Subianto mengungkapkan keresahannya pada kondisi kekinian Indonesia. Di hadapan puluhan akademisi, politisi, dan ratusan emak-emak, dia menguraikan isi buku karyanya. Berjudul Paradoks Indonesia; Negara Kaya Raya, Tapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin, saat bedah buku di hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, kemarin (1/9).
Kritik yang disampaikan Prabowo itu mulai dari masalah ekonomi, pendidikan, hukum, sosial, hingga praktik demokrasi. Penjelasan itu didukung dengan data-data yang juga dimuat dalam buku setebal 138 halaman terbit 2017 itu. Di sektor ekonomi misalnya tingkat penghasilan warga Indonesia menempati peringkat ke 152 dari total 172 negara. Indeks pembangunan manusia peringkat ke 113 dari 116 negara.
”Masih lumayan kita berarti empat besar dari bawah. Kita di atas Palestina lumayan,” ujar Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Dia menuturkan, mulai ada kesadaran dari masyarakat lapisan untuk mengadakan perubahan menuju perekonomian yang lebih baik. Maka perlu ada perbaikan sistem ekonomi dan sistem politik supaya tidak terjadi kebocoran lagi.
”Ini situasi ekonomi sulit, karena secara sistemik, kekayaan kita tidak tinggal di indonesia. Mengalir ke luar. Ini harus ada perubahan,” imbuh Prabowo.
Termasuk pula terkait nilai tukar rupiah yang terus melemah di angka hampir Rp14.800 per USD 1. Dia menyebut pelemahan itu karena persoalan produksi di dalam negeri. Selain itu kekayaan alam Indonesia yang dibawa keluar negeri.
”Jadi kita hanya bisa mata uang kita kuat kalau ekonomi kita kuat. Kalau kekayaan kita tetap tinggal di Indonesia,” tegas dia.
Setelah memberikan pidato itu, belasan akademisi yang diundang naik ke atas panggung memberikan tanggapan. Mereka pun cederung sepakat dengan ucapan Prabowo terutama soal perekonomian.
Misalnya mantan Rektor Institut Teknologi Bandung Prof Akhmaloka. Dia menuturkan kritik terhadap pemerintah itu ibarat general check up tapi dengan hasil yang kurang baik.
“Kita ngerti juga pasti yang pemerintah sekarang agak pahit. Tapi dan itu kenyataan. Jadi apapun sebetulnya itu yang harus kita perbaiki, siapapun juga presidenya,” ujar Akhmaloka usai diskusi itu.
Salah satu yang menjadi pekerjaan besar adalah urusan sumber daya manusia. Akhmaloka menuturkan masih sekitar 60 persen pekerja di Indonesia lulusan pendidikan dasar. Sedangkan yang lulusan sarjana sekitar 7-8 persen.
”Di Malaysia 20 persen di bawah SD atau SMP. Tingkat SMA sekitar 40, dan 40 persen lainnya sarjana,” imbuh dia. (jun)