eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Cebong dan Kampret kerap mewarnai politik di Indonesia. Istilah berawal untuk menggambarkan perbedaan dua belah kubu calon presiden di media sosial.
Teranyar, terjadi perang tagar (tanda pagar) dengan simbol #. Terutama #2019GantiPresiden versus #2019TetapJokowi. Tak heran saat ini kedua tagar tersebut mewarnai media sosial.
Salah seorang warga Kota Pontianak, Nana Arianto mengaku terganggu dengan kisruh semacam ini. Ia menilai adanya labelisasi dan tagar tersebut secara tidak langsung menciptakan kotak-kotak dalam masyarakat. Cek-cok ini menunjukkan masyarakat Indonesia terpapar politik praktis. Sekaligus sebagai alat untuk menuntaskan hawa nafsu para penjilat kekuasaan.
“Secara pribadi untuk memilah berita cebong plus kampret terlalu tendensius. Sehingga harus di uji dulu benar atau tidak,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar ketika ditemui disalah satu warung kopi di Kota Pontianak, Selasa (28/7).
Menurutnya, pengujian berita di medsos harus dilakukan. Lantaran medsos kerap dijadikan oknum yang kurang pengetahuan untuk mengandalkan kecepatan menyebar. Tanpa membaca terlebih dahulu. “Untuk meredam kita harus bisa masuk di situ sebagai penengah, seperti memberikan referensi yang benar di kolom komentar,” saran dia.
Pria 27 tahun ini mengatakan, secara teori pemberian label dan tagline masuk dalam kampanye. Sebagai negara demokrasi, setiap warga diberi kebebasan menyampaikan aspirasi. Kendati begitu, harus diingat penyampaian aspirasi itu harus dengan cara yang benar. “Tidak melakukan kekerasan, tapi mengedepankan toleransi,” tutup Nana.
Ketua Himpunan Mahasiswa Politik (Himapol) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Hengki Hayatullah mengatakan, ketegangan yang sedang terjadi saat ini merupakan bentuk dari strategi kubu oposisi dan pemerintah berlomba-lomba dalam mengejar kekuasaan. Hastag 2019 Ganti Presiden banyak masyarakat Indonesia yang mendukung. Namun di sisi lain banyak juga yang menolak. Adalah wajar pro dan kontra terjadi di masyarakat. “Tapi yang jelas menurut saya ketengangan yang terjadi di masyarakat ini di sebabkan oleh elit politik itu sendiri,” ucapnya.
Mahasiswa semester akhir ini mengaku bukan pendukung #2019GantiPresiden maupun #2019TetapJokowi. Karena dia ingin menjujung tinggi sikap netralitas. Menurutnya, perlu adanya gerakan tengah yang bisa mengakomodasi kedua kubu. Perlu adanya pihak yang menjembatani yang pro dan kontra. Itu harus diciptakan kalangan muda. “Yang jelas hal itu dilakukan agar tidak lagi ada makian dari kelompok satu kepada kelompok yang lain,” lugas Hengki.
Kepala Bidang Data dan Informasi Pokja Rumah Demokrasi Untan ini menuturkan, masa kampanye pemilihan presiden 2019 akan dimulai 23 September 2018. KPU pun baru akan menetapkan pasangan capres dan cawapres pada 20 September 2018. Ia berharap masing-masing pihak pendukung tetap menjaga keamanan. “Politik itukan indah, politik itukan seni, mengelola pikiran, perasaan dan hati untuk perbuatan,” ucapnya.
Menjawab tantangan bangsa tentu dengan ide, gagasan dan program aksi yang membangun. Sebagai pembelajaran politik yang baik untuk generasi muda. Ide dan gagasan serta program aksi yang membangun sangat diperlukan. “Sebab pekerjaan rumah negeri ini begitu kompleks,” tukas pria 22 tahun ini.
Banyak permasalahan yang harus dicarikan solusi konkretnya. Dari masalah pangan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
“Jika argumen ganti presiden ataupun dua periode dibangun dengan isu-isu yang lebih spesifik, dikritik dengan apa yang tidak maksimal dan sebagainya itu akan memunculkan diskusi publik yang lebih sehat,” tuturnya.
Ia mengatakan, masyarakat punya narasi politik sendiri. Masyarakat bisa percaya berdasarkan pengalaman dan persepsi masing-masing. Meskipun ada yang pro dan kontra. “Intinya percayakan kepada masyarakat,” tukas Hengki.
Pengamat Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untan Pontianak Jumadi mengatakan, tiap jelang pesta demokrasi dinamika semacam ini lumrah terjadi. Indonesia juga sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi situasi ini. Bahkan dua tahun jelang Pilkada saja sudah mulai banyak baliho terpasang. Kemudian baliho yang terpasang itu dengan sendirinya tereleminasi. Karena tidak ada partai yang mencalonkan atau mengundurkan diri. “Tinggal persoalannya bagaimana kita mengelola dinamika yang berkembang itu sebagai cerminan bahwa kita dewasa dalam berdemokrasi,” ujarnya.
Menurut dia, penggunaan labelisasi atau tagline diakibatkan oleh medsos. Saat ini medsos merupakan bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari. “Sehingga media sosial menjadi bagian terpenting dalam kehidupan,” sebutnya.
Di satu sisi medsos mendorong orang semakin melek politik. Karena setiap saat orang bisa mendapatkan berbagai informasi. Tapi kalau tidak diiringi literasi medsos yang bijak, maka akan muncul istilah mengkerdilkan, menistakan orang lain, dan sebagainya. “Saya pikir sebagai masyarakat timur hal-hal seperti itu masih menjadi catatan,” lugasnya.
Dosen Ilmu Politik ini menuturkan, saat ini orang sangat mudah dalam membuat terminologi baru. Seperti dahulu orang tak tahu cebong dan kampret itu apa. Sekiarang bisa jadi tahu.
“Selama istilah itu sifatnya joke itu tidak masalah. Tapi kalau pernyataan itu suatu bentuk penghinaan harus dihindari,” jelasnya.
Dalam hal ini, masyarakat mesti cerdas untuk memilah informasi yang didapat terutama di medsos. Kalau di media mainstream sangat mudah di kontrol oleh pemilik media dan pemimpin redaksi. Tapi di medsos tergantung individu masing-masing dalam menyebar berita.
Jumadi menilai medsos harus dijadikan sebagai media edukasi. Jangan sebaliknya, medsos diisi konten yang sifatnya tidak mendidik. Secara tidak langsung sudah mewariskan sesuatu yang tidak baik kepada generasi muda. Apalagi sebagian besar yang menggunakan medsos merupakan anak muda.
Saat ini referensi anak muda untuk menentukan sikap tidak lagi pada lingkungan sosial. Tapi dari interaksi di medsos.
“Saya pikir bagi elit politik untuk kita imbau selalu bijak untuk membangun kompetisi ini. Berbeda pendapat itu hal biasa. Karena ini konsekuensi demokrasi,” imbuh Jumadi.
Terpisah, Divisi Media Sosial dan IT Komunitas Peduli Informasi (KOPI) Kalbar, Rizky Prabowo Rahino mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi isu-isu yang memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Terutama pada masa menjelang pemilu 2019. “Dinamika politik kian terasa hangat akhir-akhir ini,” ujarnya.
Apalagi ketika timbul istilah kampret dan cebong dari warganet. Penyebutan ini tentunya menyiratkan adanya klasifikasi tertentu. Sepertinya memang dipakai untuk saling mengidentifikasi dan membedakan secara tegas satu kelompok dengan yang lainnya.
“Dua sebutan itu, saya pikir menghangatkan situasi politik. Dari perbedaan masing-masing kelompok ini, ada sinisme yang dibangun di ruang publik. Saya melihat ini sebagai dimensi fenomena sosial yang terjadi,” ucapnya.
Pria yang akrab disapa Bowo ini menganggap situasi sekarang merupakan keprihatinan. Lantaran sesama anak bangsa saling sindir, singgung dan berargumen. “Kondisi begitu kentara di media sosial,” sebutnya.
Menurut pengamatan dia, trennya mengarah kepada bentuk kampanye sebelum Pilpres 2019. Beberapa kampanye negatif mulai digaungkan untuk saling menjatuhkan lawan politik.
“Patut diduga, kondisi ini jelas akan dimanfaatkan oleh aktor-aktor intelektual politik dalam mengarahkan opini publik. Terlepas invisible hand atau terjun langsung dan terang-terangan,” paparnya.
Ia tak menampik saat ini kemajuan teknologi ditopang oleh kemajuan informasi. Masyarakat tidak bisa dilepaskan dari penggunaan gadget. Hal itu masih terjadi hingga sekarang. Karena masif digunakan di medsos.
Tidak semua masyarakat akar rumput punya tingkat kedewasaan dan kebijakan yang sepadan dalam mengaplikasikan medsos. Hal ini diperparah dengan adanya kabar bohong atau hoaks yang sengaja dibuat dan disebarkan. Tujuannya untuk memperkeruh situasi kehidupan masyarakat. Isu-isu intoleransi dan anti keberagaman berbau Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) dihembuskan. “Seharusnya ini tidak boleh terjadi, hal ini menjadi rawan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya.
Masyarakat harus jeli. Jangan menelan informasi atau berita yang belum jelas kebenarannya. Jangan asal share. “Ingat bahwa jari dapat menentukan masa depan bangsa dan generasi selanjutnya,” sebutnya.
Jangan mudah terprovokasi informasi yang mengarah ke arah perilaku negatif dan perpecahan bangsa. Ingat, keberagaman Indonesia adalah keniscayaan. Bahkan merupakan anugerah Tuhan yang harus dirawat sampai kapanpun.
“Saya harap dalam demokrasi ke depan jangan mengglorifikasi isu-isu identitas dan labelisasi sebagai komoditas utama pertarungan politik,” harapnya.
Bowo mengakui dalam berpolitik berbeda pilihan adalah hal lumrah. Kendati begitu, semua orang punya hak-hak politik yang mesti dihormati. Terkait hak-hak politik juga diatur secara jelas. Setiap orang berhak menyampaikan hak-hak politik sesuai rule of the game dan right on track. “Jangan korbankan masyarakat, politiklah secara santun, beretika, elegan dan bijak,” tuturnya.
Bowo menilai perlu adanya pendewasaan dalam proses demokrasi Indonesia. Seperti mencontoh proses demokrasi negara-negara maju. Para pendukung kandidat lebih kritis memberikan penilaian terhadap ide-ide, kebijakan dan gagasan calon pemimpin dan partai politik yang nantinya akan diimplementasikan di masa mendatang.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Arman Hairiadi