Pelajaran dari Batu dan Cucu

Oleh: Dahlan Iskan

Tebu Ilustrasi NET

eQuator.co.id – Saya masih penasaran. Bagaimana tanah berbatu itu bisa diubah. Jadi perkebunan tebu. Di Sumba Timur.

Tanahnya begitu kering.  Begitu berbatu. Begitu tandus. Jarang kena hujan.

Saya sekali lagi ke kebun tebu itu. Minggu lalu. Sebelum bermalam di kemah. Di padang savana. Di  Sumba.

Di kebun itu saya diterima oleh para manajer mereka. Yang ditugasi menjelaskan apa saja.

Yang ternyata  tidak satu pun yang ahli tebu. Atau ahli gula. Sekedar berpengalaman pun tidak.

Disengaja begitu. Untuk menemukan terobosan baru. Di medan baru. Di iklim baru. Di jenis tanah yang baru.

”Semua teori kebun tebu tidak berlaku di sini,” ujar Husin Nurroy pada disway.id.

Husin sendiri ‘manusia kelapa sawit’. Demikian juga anggota tim lainnya. Ia sudah malang-melintang di sawit. Lebih 20 tahun. Sejak tamat fakultas pertanian Universitas Jember.

Bahkan Husin menghabiskan masa mudanya di kebun. Dekat perbatasan. Dengan Serawak. Di pedalaman Kalimantan Barat.

Ilmu kebun ia peroleh di situ. Di lapangan. Di pedalaman. Istrinya pun ia dapatkan di situ: wanita suku Dayak. Mungkin Husin orang Bojonegoro, Jatim, pertama yang beristeri wanita Dayak.

”Kami memang suka tantangan,” kata Husin.

Tentang tanah berbatu itu. Yang ia hadapi sekarang itu. ”Lahan di sini batunya 70 persen. Tanahnya hanya 30 persen,” tambahnya.

Dua tahun Husin dan teman-temannya trial and error. Learning by doing. Baru tahun 2016 tim kebun menemukan jalan keluar.

Bongkahan batu-batu yang sebesar kerbau dipecah. Dengan teknologi. Menjadi sebesar kambing. Lalu diangkut. Ke satu lokasi.

Di gudang batu itu disediakan mesin. Penghancur batu. Dilembutkan. Menjadi sebesar cenilan tahi kambing. Itulah bahan utama untuk membuat jalan.

Di kawasan kebun ini memang harus dibangun jaringan jalan. Total panjangnya 15 km. Sebagian jalan itu lebarnya 30 meter. Yang di sekitar calon lokasi pabrik gula.

Begitu banyak material yang diperlukan. Dan ternyata… itu tadi… bisa dicukupi dari batu yang harus dipindahkan.

Tidak perlu mendatangkan material dari luar. ”Tanpa menghadapi kesulitan itu tidak akan ditemukan sumber material untuk membangun jalan,” ujar Husin.

Tidak semua batu dipindahkan. Yang sebesar ayam ditinggal. Untuk dilumat di tempat. Dijadikan selembut tanah. Agar menyatu di situ. Kebetulan jenis batunya karang. Bisa dilembutkan menjadi kapur.

Memang, cara ini sangat memamah uang. Biaya membuat kebun tebu menjadi sangat mahal. Satu hektar perlu biaya –

ampuuuun— Rp 200 juta. Baru tebu bisa ditanam.

Bandingkan dengan di Jawa. Atau Lampung. Hanya diperlukan Rp 12 juta/ha. Tebu sudah bisa ditanam.

Peralatan yang harus disediakan pun bukan lagi cangkul. Atau lencek. Atau ganco. Tapi alat-alat berat: ripper dozer, buldozer, excavator, stone, crusher, sorting-bucket excavator dan seterusnya.

Waktunya pun sangat lama. Pun dengan alat sebesar itu. Satu hektar perlu pengerjaan tiga bulan.

Betapa mahal membangun pabrik gula di Sumba Timur itu. Tinggal mengalikan. Delapan ribu hektar kali Rp 200 juta. Saya bisa menghitung itu. Tapi angka di kalkulator saya tidak cukup banyak.

Untung ada dua orang super kaya. Yang mau terjun ke sana. Robert Budi Hartono dan William Katuari. Yang satu pemilik grup Jarum. Satunya lagi pemilik grup Wing. Yang satu orang Kudus (Jateng). Satunya lagi orang Surabaya asal Tulungagung.

Dua orang itu bekerja sama. Mendirikan PT Muria Sumba Manis.

Dua orang itu saling mengawinkan anak mereka. Besanan. Anak mereka berjodoh. Saya tidak bisa membayangkan. Jadi apa cucu hasil perkawinan dua orang superkaya itu nanti.

Yang saya tahu: salah satu ponakan Hartono kini berada di India. Lucy Agnes.

Melupakan kemewahan dunia. Menyerahkan hidupnya: mengabdi di lembaganya Bunda Theresa.

Cucu orang terkaya. Yang sejak kecil bergelimang harta. Ketika berumur 26 tahun membuat keputusan yang tidak terduga: kekayaan tidak ada artinya.

Begitu dramatik ketika sang dara meninggalkan kerajaan bisnis kakeknya. Berangkat hanya membawa dua baju sederhana. Dan dua sandal japit bekas pakainya.

Dia tinggalkan gaun-gaunnya. Sepatu-sepatu high heelsnya. Kosmetiknya. Parfumnya. Tas-tas Hermesnya…

Itulah syaratnya. Kalau ia ingin diterima mengabdi di gereja Katolik Bunda Theresia.

Dia terima syarat itu. Dan dia pun berangkat. Memutuskan untuk tidak akan berumah tangga… (dis)