eQuator.co.id – Alia Ghanem tidak pernah bercita-cita punya anak teroris. Karena itu, dia tidak pernah menyesal telah melahirkan Osama bin Laden. Pesta di sarang Al Qaeda pada 1999 menjadi kenangan terakhir Ghanem dengan si sulung.
“Hidup saya sengsara karena dia jauh. Dia anak yang baik dan sangat mencintai saya,’’ ungkap Ghanem mengawali perbincangan dengan The Guardian. Osama adalah gambaran ideal anak sulung. Demikian perempuan kelahiran Syria itu menilai anaknya.
Di mata dunia, Osama boleh saja dikenal sebagai teroris, musuh bebuyutan Amerika Serikat (AS), atau milisi keji. Tetapi, bukan sosok Osama seperti itu yang melekat di benak Ghanem.
“Dia dulu bocah kecil yang pemalu. Dia juga sangat rajin belajar,” kenangnya tentang Osama kecil.
Saat Osama berusia tiga tahun, Ghanem bercerai dengan suaminya, Mohamed bin Awad bin Laden. Setelah itu, dia menikah lagi dengan Mohammed al-Attas.
“Dia ini yang mengasuh Osama sejak usianya tiga tahun,’’ ujar Ghanem sambil melirik Attas yang mendampinginya dalam wawancara tersebut.
Dari pernikahan keduanya, Ghanem mempunyai tiga anak lagi. Merekalah saudara-saudara tiri Osama. Kendati beda ayah, empat anak Ghanem hidup secara rukun. Perempuan 83 tahun itu mengatakan bahwa anak-anaknya saling menyayangi. Adik-adik tiri Osama juga sangat mencintai kakak lelaki mereka itu.
“Rasa (sayang) itu tidak pernah hilang,’’ tegasnya. Di ruang tamu rumah Ghanem masih ada foto Osama yang dibingkai rapi. Pentolan Al Qaeda yang diyakini Amerika Serikat (AS) sebagai dalang serangan teror 11 September alias 9/11 itu terlihat masih muda. Jaket doreng membalut tubuh rampingnya.
Osama sudah menjadi pimpinan Al Qaeda saat pose itu dijepret. Kendati nyaris tidak pernah ada berita positif tentang Al Qaeda, Ghanem yakin Osama masih orang yang sama. Anak sulung yang rajin belajar dan pemalu.
Selama bertahun-tahun Ghanem bungkam soal perasaannya. Dia menutup diri. Dia tidak mau membagikan kenangannya tentang Osama kepada orang lain. Tetapi, dia akhirnya mau buka suara.
“Orang-orang di universitas yang mengubah Osama. Dia dicuci otak saat berusia 20 tahun,’’ klaim Ghanem.
Menurut dia, sang putra adalah korban radikalisasi kampus. Tepatnya, King Abdulaziz University. Semuanya terjadi karena Osama salah pergaulan. Dia bergabung dengan kelompok radikal yang menganut paham sesat.
Ghanem sebenarnya tidak pernah tinggal diam. Saat merasakan putranya berubah, dia langsung memintanya keluar dari kelompok itu.
‘Saya terus-menerus meminta dia menjauhi mereka. Gara-gara itulah, dia berbohong. Dia mengaku sudah keluar,’’ ujarnya.
Pada 1980-an, Osama nekat hijrah ke Afghanistan. Dia menjadi salah satu ikon pejuang yang peduli terhadap nasib negara tersebut. Bahkan, Kerajaan Arab Saudi pun mendukung orang-orang seperti Osama yang mau berjihad di sana. ’’Saat pertama dia berangkat, semua hormat. Keluarga juga bangga karena Saudi menganggap dia mujahidin,’’ timpal Hassan al-Attas, adik tiri Osama.
Pada awal 1990-an, Osama yang sudah mahir berperang mulai berpikir layaknya jenderal. Dia berhasrat memperluas wilayah kekuasaannya hingga luar Afghanistan. Karena itu, jihad dalam pemahaman yang salah itu pun tercipta. Kesewenangan membuat Osama tidak diakui sebagai warga negara oleh Saudi. Dia pun terpaksa tinggal di Sudan.
Kendati demikian, Ghanem tidak berubah. Dia tetap mencintai putranya tersebut. Dia bahkan melawat Osama ke Afghanistan pada 1999. Dia tinggal di sarang militan Al Qaeda layaknya tinggal di rumah anaknya. ’’Setiap hari dia mengajak kami berkeliling. Dia bahkan menyembelih binatang dan berpesta setiap hari,’’ paparnya.
Ahmad, adik tiri Osama, mengatakan bahwa sang ibu memang hanya memelihara kenangan baik tentang kakaknya. Cinta Ghanem terhadap Osama tidak surut sedikit pun. ’’Ibu tidak pernah berubah meskipun kami sempat kena cekal selama 20 tahun sejak peristiwa 9/11,’’ katanya. Benar kata pepatah. Kasih ibu sepanjang jalan…. (Jawa Pos/JPG)