Titik Terang Itu Masih Titik Titik

DISWAY Oleh: Dahlan Iskan

eQuator.co.idDua hari sudah kalah Pemilu. Keluarga besar Nawaz Sharif kumpul di penjara. Demikian juga pentolan-pentolan partainya: Partai Liga Muslim. Yang diketuai adik bungsunya:  Shahbaz Sharif.

Di penjara itu, Nawaz menjalani hukuman 10 tahun. Tambah satu tahun karena melarikan diri. Anaknya, Maryam, dihukum 7 tahun. Juga tambah satu tahun: karena tidak hadir di pengadilan. Suami Maryam dihukum satu tahun.

Nawaz dan putrinya itu berada di London. Saat hukuman itu dijatuhkan tanggal 5 Juli lalu. Hanya 20 hari sebelum Pemilu. Seperti sengaja dipilih dekat-dekat Pemilu.

Rumahnya yang di London itulah yang diungkap dalam Panama Paper. Nawaz tidak mengajukan bukti dari mana asal usul uang untuk membelinya.

Nawaz bukan saja tidak mengajukan bukti. Ia sembunyi di London. Ia merasa pengadilan itu sandiwara. Untuk mengakhiri karir politiknya.

Nawaz marah-marah. Selalu. Sejak dua tahun lalu. Ketika Mahkamah Agung mencopotnya dari jabatan perdana menteri. Dengan alasan: tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat. Sejak Panama Paper itu.

Nawas menganggap putusan MA itu sebagai ‘kudeta oleh pengadilan’. Bukan main. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan seperti itu.

Rapat di penjara itu berlangsung di auditorium. Yang ada AC-nya. Dua jam lebih. Kesimpulan rapat: Pemilu ini tidak sah. Kata mereka: begitu banyak pelanggaran. Tekanan dari militer sangat kuat.

Militer Pakistan memang tidak suka Nawaz. Sejak lama. Sejak  Nawaz menjadi perdana menteri yang pertama. Tahun 1999. Baru dua tahun menjabat dikudeta oleh militer.

Sembilan tahun militer berkuasa setelah itu. Sampai gerakan prodemokrasi tidak bisa dibendung lagi.

Kalau dihitung dengan yang lalu-lalu luar biasa. Nyaris separo usia Pakistan yang 70 tahun berada dalam kekuasaan militer.

Militer memang sangat senang Imran Khan yang menang dalam Pemilu kali ini: dianggap agak lemah. Yang bisa diajak kompromi.

Apalagi kemenangan Imran  tidak cukup besar. Untuk bisa membentuk pemerintahan sendiri, dukungan militer sangat diperlukan. Bahkan pendukung Nawas kasar sekali: menganggapnya tidak lebih dari keledai.

Apa pun, Imran Khan yang kini menang. Dan Liga Muslim kalah.

Tiwas Nawaz Sharif pulang. Dari persembunyiannya di London. Hanya untuk menjalani hukuman. Ternyata partainya tetap kalah.

Padahal perhitungannya matang: dengan kepulangannya itu partainya akan menang. Lalu adik bungsunya bisa jadi perdana menteri. Lalu Nawaz bisa naik banding. Berharap pengadilan tinggi membebaskannya.

Dengan kemenangan Imran berarti Nawaz harus tetap di penjara. Selama sepuluh tahun. Bersama anak perempuannya, Maryam. Yang sebenarnya mewarisi jiwa politik bapaknya. Ibarat Benazir Bhutto mewarisi jiwa politik Zulfikar Ali Bhutto.

Memang kemenangan Imran tidak sempurna: hanya 115 kursi. Masih kurang 50 kursi. Untuk bisa membentuk pemerintahan baru.

Sebetulnya, pas kalau Imran  berkoalisi dengan Nawaz. Yang partainya memperoleh 64 kursi. Tapi itu mustahil. Imranlah yang membuat Nawaz masuk penjara.

Mungkinkah Imran berkoalisi dengan partainya Bhutto? Yang hanya mendapat kursi 28? Yang berarti harus menambah lagi anggota koalisi? Menjadi koalisi gemuk? Yang akan menyulitkan pemerintahannya nanti?

Apalagi di provinsi-provinsi penting partainya kalah. Di provinsi Punjab dimenangkan partainya Nawaz: Liga Muslim. Di provinsi Sind dimenangkan partainya Bhutto: Partai Rakyat. Di provinsi barat laut dimenangkan partai lokal. Berarti di provinsi-provinsi tersebut akan diperintah partai lain. Hanya satu provinsi yang akan diperintah partainya Imran.

Politik Pakistan masih belum menemukan titik terang. Puluhan juta nyawa telah hilang. Saat Pakistan memisahkan diri dari India. Puluhan juta orang pula yang menderita. Saat pemisahan itu. Setelah 70 tahun merdeka, hasilnya begitu-begitu saja. (dis)