eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kalbar telah memasuki musim kemarau. Bencana tahunan kabut asap dampak dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mengintai.
Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono menuturkan, Karhutla sebagian besar akibat dibakar manusia. “Dari hasil rapat kami Karhutla ini 99 persen dari manusia, dari pembakaran,” katanya kepada sejumlah wartawan usai memimpin serahterima jabatan (Sertijab) di Mapolda Kalbar, Senin pagi (16/7).
Disampaikan Kapolda, Karhutla sangat berbahaya bagi kesehatan, lingkungan hidup dan mengganggu perekonomian. Bahkan transportasi seperti penerbangan bisa lumpuh akibat kabut asap. Untuk itu, kepolisian akan melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku Karhutla. “Kan ada aturan hukum yang harus dipedomani pada pelakasaan penanganan Karhutla itu,” ujarnya.
Kapolda menyebutkan, dari hasil pemetaan sebelumnya, lebih dari seratus titik wilayah Kalbar berpotensi Karhutla. Paling banyak di Kabupaten Ketapang dan Kubu Raya.
“Dari hasil Maping (pemetaan) kami, masing-masing ada 182 titik yang berpotensi terjadinya Karhutla. Itu pada karhutla sebelumnya,” jelasnya.
Saat ini sudah ada peta yang dapat mengidentifikasi apabila terjadi Karhutla. Sehingga bisa diakukan langkah-langkah antispasi pemadaman atau upaya pencegahan.
“Alhamdulillah, selama ini masih bisa kita atasi bersama dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), teman-teman TNI. Dan Polres-Polres sudah melakukan langkah-langkah upaya pencegahan sampai sekarang, melalui pembangun kanal-kanal yang dapat menampung air,” demikian Kapolda.
Sementara itu, berdasarkan kegiatan pemadaman yang dilakukan Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Pontianak, per 1 Januari – 16 Juli 2018, total luasan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalbar mencapai 319,84 hektare. Sementara lahan yang berhasil dipadamkan seluas 76,33 hektare.
Luasan Karhutla ini tersebar diempat Daops. Yakni di Daops Ketapang, Pontianak, Singkawang dan Sintang. Sedangkan hari ini, terdapat tiga lokasi Karhutla yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya.
“Diantaranya di Mekar Sari, Kuala Dua, Rasau Jaya dan Sungai Raya,” kata Kepala Manggala Agni Daops Pontianak, Sahat Irwan Manik kepada Rakyat Kalbar, Senin siang (16/7).
Karhutla terjadi diduga dari masyarakat. Lantaran mengolah lahan dengan cara membakar. Sehingga terjadinya kebakaran. “Intinya pengolahan lahan yang dilakukan masyarakat masih dengan cara lama yakni dengan cara membakar,” jelasnya.
Sahat menilai, Karhutla di Kalbar setiap tahun selalu menjadi masalah yang terulang. Terlebih ketika musim kemarau tiba.
“Kebakaran hutan dan lahan akan terus terjadi di Kalbar selama prilaku masyarakat belum dibina dengan baik,” sebutnya.
Dia mengatakan, penanganan Karhutla tidak mudah. Kalbar wilayahnya sangat luas, sehingga sulit menjangkaunya. Ditambah lagi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masih kurang.
Selama ini Manggala Agni telah berkoordinasi dengan pihak terkait, guna menanggulangi kasus tersebut. Karena masalah Karhutla tidak bisa diserahkan ke BPBD dan Manggala Agni saja.
“Dengan BPBD kami cukup erat,” ucapnya.
Sementara koordinasi dengan Dinas Pertanian maupun Kehutanan, belum maksimal untuk program pencegahan. “Kalau TNI-POLRI saya acungi jempol. Sekarang mereka sangat peduli,” kata Sahat.
Selama ini, pihaknya telah memberlakukan patroli terpadu. Sudah dilakukan sejak Maret lalu sampai dengan hari ini. Tim Manggala Agni diterjunkan untuk memantau 60 desa di Kalbar. “Pemantauan di lapangan belum berjalan efektif,” tukasnya.
Jumlah personel Manggala Agnis Daops Pontianak hanya 60 orang. Tersebar di empat kabupaten/kota. Yaitu Pontianak, Kubu Raya, Mempawah dan Landak. Sehingga sangat sulit dipantau sendirian. Untuk itu, timnya lebih memfokuskan program pencegahan dan pengaktifan kelompok-kelompok kecil di tingkat desa. “Kami harap kelompok tani dapat menanggulangi daerahnya masing-masing. Jika butuh bantuan, baru kita bahu membahu,” ucapnya.
Kapasitas personel Manggala Agni akan terus ditingkatkan. Personel tak hanya bisa memadamkan api, namun harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Karhutla.
“Kami harus bisa memaksimalkan kapasitas tim kami, terutama dalam mendampingi masyarakat. Mendampingi masyarakat untuk merubah perilaku itu perlu kapasitas tertentu,” lugasnya.
Sahat menilai, masalah Karhutla di Kalbar saat ini masih dalam status aman. “Dalam sudut pandang kami ini masih bisa dikendalikan, selama ada kerjasama dari beberapa pihak dan masyarakat,” jelasnya.
Status aman itu kata Sahat, akan bisa dipertahankan. Asalkan semua pihak dapat mengendalikan Karhutla di wilayah masing-masing. Terutama bagi masyarakat yang bercocok tanam.
“Untuk masyarakat yang bercocok tanam saya harap lebih teliti. Jangan hanya memperhatikan hasil, tapi pengolahan tata airnya, pengolahan sisa tebasannya juga diperhatikan,” pesannya.
Menurut Sahat, untuk menanggulangi kasus Karhutla mesti menggunakan sudut pandang lain. Jangan hanya terpaku pada pemadaman, karena hanya menyelesaikan masalah sementara. Maka pihaknya telah menciptakan inovasi pegolahan lahan tanpa membakar lahan dan menghasilkan cuka kayu.
“Cuka kayu tersebut dapat digunakan untuk dijadikan sebagai pupuk pertanian, yang telah kami praktikkan di beberapa desa,” ungkapnya.
Dirinya mengaku juga sudah pernah melakukan penelitian bersama dengan Dosen Pertanian Untan perihal pendampingan masyarakat berbasis desa dalam rangka pencegahan Karhutla. Pencegahan seperti ini sangat efektif. Tapi tak mudah dan perlu proses yang panjang.
Dia mengatakan, telah berhasil melakukan uji coba di Bengkayang pada salah satu desa yang telah bina. Namanya Desa Sungai Jaga.
“Di sana masyarakat membuktikan bahwa hasil panen dari lahan yang tidak dibakar ternyata lebih baik dari lahan yang dibakar,” paparnya.
Pihaknya terjun langsung dan melakukan pendampingan secara kontinyu ke desa tersebut. Namun, untuk terus melakukannya terbentur dana operasional. “Tapi cost kita ini kan larinya ke penanganan, untuk pencegahan kurang,” pungkasnya.
Selain masyarakat, Sahat juga berharap kepada instansi terkait untuk membuat program-program yang mendukung upaya pencegahan Karhutla.
“Harapan kami ada pendampingan dalam ilmu pertanian masyarakat. Supaya mereka tidak membakar, tercipta solusi. Kita harus tingkatkan sinergitas antara masyarakat, pemerintah, dan pemilik usaha,” tutup Sahat.
Laporan: Ambrosius Junius, Andi Ridwansyah
Editor: Arman Hairiadi