eQuator.co.id – Jakarta–RK. Harga telur ayam masih terpantau cukup tinggi sampai kemarin (12/7). Bahkan dibandingkan dengan harga saat hari raya Lebaran lalu yang berkisar di harga Rp 24.000 sampai 25.000 per kilogram, saat ini harga lebih tinggi sekitar Rp 4.000 per kilogram. Pedagang di pasar tradisional menyebutkan bahwa harga dari pemasok memang dipatok lebih tinggi dari biasanya.
Berdasarkan pantauan Jawa Pos di Pasar Kebayoran Jakarta kemarin (12/7), sejumlah pedagang telur memasang harga rata-rata Rp 27.000-28.000 per kilogram. Ria, 31, salah satu penjual telur di Pasar Kebayoran mengungkapkan harga dari agen naik dari yang biasanya Rp 20.000-22.000 per kilogram kini menjadi Rp 25.000 per kilogram.
”Katanya pakan sedang mahal, makanya harga naik. Jadi biar untung pedagangnya ikut naikkan harga,” ujar Ria.
Menurut dia, harga telur terus merangkak naik sejak Lebaran. Kenaikannya bisa mencapai Rp 1.000 per pekannya. Kendati harga mahal, pedagang belum merasakan adanya penurunan drastis akan pemintaan konsumen. ”Sehari biasanya jual dua rak (sekitar 20 kilogram), meskipun mahal pembelinya tetap ada karena telur kan banyak yang butuh,” beber Ria.
Di pasar tradisional lain, yakni di Pasar Grogol dan Pasar Palmerah Jakarta, harga telur juga dibanderol dengan harga kisaran Rp 27.000 per kilogram. Bahkan salah satu pedagang di Pasar Palmerah menjual telurnya dengan harga Rp 30.000 per kilogram.
”Agen bawa cuma sedikit, produksinya lagi tidak banyak makanya harganya naik. Harga yang ini naik Rp 1.000 sejak dua hari lalu,” ujar Usman, 44, salah satu penjual telur di Pasar Palmerah.
Usman mendengar kabar dari agen bahwa produksi telur di peternakan sedang menurun. Salah satu alasannya adalah jumlah ayam banyak berkurang akibat permintaan daging ayam yang cukup tinggi saat lebaran lalu.
”Belum ada kabar akan turun dalam waktu dekat,” tambahnya.
Lantas bagaimana dengan harga telur di wilayah lain selain Jakarta? Berdasarkan pantauan melalui Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga telur ayam relatif tinggi hampir di semua daerah termasuk wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai luar Jawa termasuk Indonesia Timur. Harga bervariasi antara Rp 27.000-29.000 per kilogram.
”Ini tadi (Kemarin, red) dibahas di Kementan. Menurut saya dari hasil komunikasi dengan pelaku unggas karena suplai berkurang. Kita coba cermati dengan detil apa penyebabnya sehingga kita tahu apa yang harus dilakukan,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti, saat dihubungi kemarin (12/7).
Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan bahwa kenaikan harga telur dipicu melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD beberapa waktu terakhir, yang mengakibatkan kenaikan pakan ayam impor.
”Kita akan duduk bersama-sama dengan penjual pakan, berapa anda untungnya. Dengan kenaikan ini berapa, lantas bagaimana,” ujar Enggar.
Dirinya menyebutkan pihak Kemendag sudah berbicara dengan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar). Dari pembicaraan tersebut, pelaku peternakan menyebutkan bahwa harga pakan memang naik dan masih dikaji bersama solusinya.
Menurut catatan Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) 60 persen bahan baku pakan ternak masih diimpor. Impor bahan baku pakan ternak berasal dari lima negara, yakni dari Australia, Brasil, hingga Amerika Serikat (AS). Selain itu, menurunnya produksi bahan baku ternak dalam negeri seperti Jagung, juga membuat harga pakan semakin tinggi.
”Kalau ada kenaikan USD, harga pakan otomatis naik. Sebenarnya kan kita sudah naik dari awal tahun itu Rp 300 sampai Rp 350. Terus naik lagi Rp 300. Sebenarnya cost struktur dari pakan itu 30 persen. Tapi dari nilai, itu bisa 60 persen, karena ada impor misalnya vitamin, bungkil kedelai itu 100 persen impor,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko mengatakan kenaikan harga komponen impor dalam pakan ayam sudah terasa sejak Rupiah berfluktuasi pada Maret 2018.
”Di sisi lain, kasus produksi yang fluktuatif harus segera diatasi. Kami juga berharap ada solusi untuk peningkatan pasokan pakan ternak dalam negeri,” ujar Singgih. Menurut pelaku peternakan penurunan produksi sampai sejauh ini di kisaran 20 persen dibanding masa normal.
Lemahnya strategi preventif di level hulu, juga dibenarkan oleh pengamat ekonomi dari Insitute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurut Bhima, struktur pasar perunggasan masih lemah. Kenaikan harga telur membuktikan masalah pangan Indonesia tak hanya di rantai distribusi, tapi juga rentannya struktur pasar terhadap depresiasi Rupiah.
”Pemerintah memang perlu mendorong peningkatan pasokan jagung dan pakan ternak di dalam negeri demi mengurangi kebergantungan impor pakan,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)