Batu Ginjal di Tangan Boyke

DISWAY Oleh: Dahlan Iskan

LANJUT STUDI DI BELANDA. Dokter Boyke Subali (paling kanan) bersama kawan-kawannya saat melanjutkan studi di Belanda. Boyke for Dahlan Iskan
LANJUT STUDI DI BELANDA. Dokter Boyke Subali (paling kanan) bersama kawan-kawannya saat melanjutkan studi di Belanda. Boyke for Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Istri saya punya masalah: posisi batu di ginjalnya sulit diambil. Harus dengan alat istimewa. Adanya di Amerika, Jerman, Jepang, atau Samarinda.

Batu itu bisa saja diambil dengan cara dibedah. Tapi, kalau bisa, dihindari. Apalagi istri saya punya kebun tebu, eh, pabrik gula: di pangkreasnya.

Alat yang mirip itu ada juga di Surabaya. Atau Jakarta. Tapi tipenya bukan yang fleksibel. Yang bisa belok. Yang bisa mengarah ke lokasi batu. Yang nyelempit sekali pun.

Di Samarinda? ”Benar. Samarinda. Satu-satunya di Indonesia,” ujar seorang ahli urologi di Surabaya.

Dada saya seperti mau pecah. Membusung. Mendadak bangga. Bangga sekali. Kota tempat saya tumbuh itu masuk dalam peta dunia. Dunia kedokteran. Apalagi istri saya. Yang kelahiran Samarinda. Seperti tidak percaya.

Maka saya batalkan rencana ke Singapura. Lebih baik ke Samarinda. Sambil pulang kampung. Kan saya juga belum ke makam mertua wanita. Yang ketika meninggal saya absen. Saya baru kena aorta dissection.

Saya hubungi dokter ahli di sana. Yang dikenal jago. Dalam mengoperasikan alat modern itu. Namanya: dokter Boyke Subali. Umur 43 tahun. Lahir: Samarinda. Ibunya Batak. Bapaknya seperti saya: penggemar wayang kulit. Sampai anaknya diberi nama belakang tokoh wayang: Subali.

Setamat SMAN 1 Samarinda, Boyke melanjutkan ke kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Spesialisasinya: urologi.  Kini dokter Boyke lagi mengambil S3. Di Erasmus University di Rotterdam.

Mengapa alat itu adanya hanya di Samarinda? “Boss saya itu seorang dokter yang visioner,” ujar Boyke. Nama bossnya itu dokter Rahim Dinata.

Kepala RSUD A.W. Syachranie Samarinda itulah yang progresif. Ia ahli bedah. Selalu ingin yang terdepan. Prestasinya hebat.

Sebetulnya dr Rahim sudah pensiun. Tidak boleh menjabat lagi. Tapi begitu pensiun tetap diangkat lagi. Menjadi orang swasta. Yang memimpin rumah sakit pemerintah. Karena prestasinya.

“Suatu saat beliau bertanya pada saya. Untuk urologi pilih beli alat apa?,” ujar Boyke. ”Langsung saya bilang alat itu. Eh, beliau setuju dan langsung dibelikan,” kata Boyke.

Nama alat itu: flexible ureteroscope (fURS). Di rumah sakit lain sudah banyak yang punya. Ureteroscope juga. Tapi bukan yang tipe fleksible. Yang bisa belok-belok.

Dengan alat itu dokter Boyke bisa melakukan: retrograde intrarenal surgery. Atau RIRS. Untuk mengambil batu ginjal yang ‘nylempit’ sekali pun.

Di Mount Elizabeth Singapura ada juga alat yang seperti di Samarinda. Tapi generasinya yang lama. Yang kekuatan lasernya hanya 60 watt. Sedang yang di Samarinda: 100 watt.

Hebatnya lagi Samarindaku ini, ada empat alat seperti itu. Hebat kan? Mengapa?

“Menurut teori alat ini hanya bisa dipakai 50 kali,” kata dr Boyke. “Tapi saya bisa memakainya sampai lebih 300 kali,” tambahnya. Padahal alat yang lebih baru sudah terlanjur dipesan. ”Yang terbaru lagi tiba minggu lalu,” kata Dr. Boyke.

Tentu bukan hanya karena alat itu saya pilih Samarinda. Juga karena siapa yang menjalankan alat tersebut: dokter Boyke. Ia ahli banget. Terampil sekali. Sudah ratusan pasien ia tangani. Alatnya sudah menyatu dengan tubuhnya. Sudah ‘mewujud’ dalam jiwanya. Sekolahnya di Korea. Magang di sana.

Samarinda juga beruntung memiliki dr Rahim Dinata. Alumni Unpad Bandung. Yang punya pandangan ini: dokter di rumah sakitnya harus full timer. Tidak boleh merangkap di rumah sakit lain.

Untuk itu dokter Rahim Dinata memperjuangkan kesejahteraan mereka. Ia usulkan satu peraturan gubernur: tarif khusus untuk  dokter yang menangani pasien BPJS.

Disetujui. Dokter yang full time di RS A.W. Syachranie bisa hidup tanpa merangkap-rangkap.

Saya pun percaya. Siap ke Samarinda. Dampingi istri di sana. Sekalian kangen dengan sayur balamak beserta ikan papuyu-nya. (dis)