eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Beberapa pekan terakhir, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan. Kemarin (28/6), rupiah bahkan menembus kisaran lebih dari Rp14.300 per dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di posisi Rp 14.271 per dolar AS, sementara dari data Reuters, rupiah bahkan sudah menembus Rp 14. 390 per dolar AS.
Tekanan terhadap rupiah kemarin merupakan yang terdalam pada tahun ini. Ada beberapa faktor yang membuat rupiah kian terperosok. Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Eric Alexander Sugandi menuturkan, kewaspadaan negara-negara di dunia, terkait trade war antara AS dan Tiongkok, menjadi salah satu penyebab melemahnya rupiah. Ancaman perang dagang ini akan membuat Current Account Deficit (CAD) makin melebar. Hal tersebut menjadi kekhawatiran para investor.
“Trade war dalam skala global akan merugikan perekonomian dunia secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi dunia juga akan melambat. Kalau pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti Tiongkok, AS dan Eropa terganggu, ekspor Indonesia juga bisa terganggu.. Investor asing pun terpengaruh oleh persepsi negatif terhadap trade war dan risiko membengkaknya CAD, “jelasnya pada koran ini, kemarin.
Eric melanjutkan, di sisi lain, saat ini memang terjadi outflow portfolio investment dari emerging markets termasuk Indonesia ke AS, khususnya dari bursa saham. Hal tersebut juga bisa memperbesar CAD Indonesia dan melemahkan support fundamental ekonomi terhadap rupiah. Karena itu, pihaknya menilai, Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah harus melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan rupiah ke nilai fundamentalnya. Rencana BI untuk kembali menaikkan suku bunganya dinilai merupakan keputusan yang tepat. “Saya pikir tepat jika BI menaikkan BI 7 day repo rate lagi hari ini,” ungkapnya.
Menurut Eric, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah memberikan sinyal untuk kembali menaikkan BI Rate pekan ini sebesar 25 basis poins (bps). Langkah BI tersebut untuk memberikan hint bagi pelaku pasar bahwa Otoritas Moneter tersebut siap menggunakan instrumen suku bunga, di samping intervensi valas untuk menstabilkan rupiah.
“Jika benar naik, kenaikan ini menunjukkan bahwa BI ingin ahead of the curve sebelum kenaikan US FFR (Federal Fund Rate) naik beberapa kali lagi. Saya pikir tidak salah jika BI ingin memberikan sinyal ke pasar bahwa BI telah mengantisipasi kenaikan Fed Rate tersebut,”imbuhnya.
Senada dengan Eric, pengamat ekonomi INDEF Bhima Yudhistira juga menilai depresiasi rupiah disebabkan karena besarnya tekanan global setelah perang dagang AS China berlanjut. Selain itu, ekspektasi kenaikan Fed rate sebanyak kali tahun ini dan kenaikan harga minyak karena Trump menyerukan boikot impor minyak dari Iran, juga ikut menjadi faktor anjloknya kurs rupiah terhadap dolar AS. Mata uang dolar AS juga menguat terhadap mata uang dominan lainnya.
Dari sisi internal, lanjut, bhima, data-data ekonomi masih dibawah ekspektasi, misalnya neraca perdagangan Mei kembali defisit di 1,52 miliar usd, defisit transaksi berjalan melebar dan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 beberapa lembaga dikoreksi turun. Hal tersebut membuat pelaku pasar melakukan net sales atau aksi jual di bursa saham dan pasar surat utang.
Bhima melanjutkan, dampak pelemahan rupiah paling terasa ke industri berbahan baku impor. Mulai dari farmasi sampai besi baja semua akan terkena dampaknya. Kemudian resiko gagal bayar utang luar negeri swasta bisa naik karena missmatch (penyesuaian) melebar antara pendapatan dalam bentuk rupiah dan cicilan utang dalam valas. “Kalau swasta sampai gagal bayar repot juga efek ke PHK karyawan, efisiensi perusahaan bisa buat kredit macet naik dan sektor riil melambat,” ujarnya pada koran ini, kemarin.
Terkait rencana BI menaikkan suku bunganya, Bhima mengungkapkan, efek sinyal kenaikan bunga acuan tersebut sangat kecil sampaknya dan lebih temporer. Dia menekankan, BI sudah dua kali menaikkan suku bunga acuannya di bulan Mei ini. Namun tetap saja rupiah terus tertekan, bahkan makin dalam.
“Jadi kuncinya bukan sekedar naikan bunga acuan, tapi mengatasi persoalan yg lebih struktural yakni daya beli, ekspor dan transaksi berjalan, “tegasnya.
Menanggapi pelemahan rupiah yang terus terjadi, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa pemerintah bersama BI akan terus bekerja sama untuk melakukan upaya-upaya dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.
Dia memaparkan, pelemahan rupiah dipicu oleh kondisi eksternal dan internal. Terkait kedua faktor tersebut, pihaknya menegaskan akan melakukan kontrol terhadap framework kerangka kebijakan makro yang menjadi kewenangannya.
“Dari hal yang bisa kita kontrol akan dikontrol, terutama yang berhubungan dengan framework kerangka kebijakan makro. Apakah itu dari sisi fiskal, moneter, dan neraca pembayaran agar yang disebut vulnerability atau kerawanan itu tetap bisa ditekan,” jelasnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan, dari sisi kebijakan fiskal, pihaknya akan berupaya menjaga agar defisit tetap terjaga di level yang aman. Selain itu, untuk meraih kepercayaan pasar, pemerintah akan terus menyampaikan kinerja APBN termasuk penerbitan surat utang kepada publik. “Dan apa yang disebut jadwal penerbitan surat utang dan pelaksanaan dari sisi penerimaan dan belanja akan terus disampaikan agar ada yang namanya kepercayaan meskipun terjadi perubahan yang cukup besar,”ungkapnya.
Sementara dari BI, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menuturkan bahwa dalam dua hari ini (kemarin dan hari ini) tengah digelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Dalam rapat tersebut diantaranha dibicarakan upaya memitigasi kondisi rupiah yang makin terpuruk, termasuk rencana menaikkan suku bunga acuan BI. Namun, sebelum rapat selesai, Dody mengaku tidak bisa berkomentar. “Maaf hari ini RDG bulanan sehingga black out period. Jadi ada komentar sampai menunggu besok ya,” ujarnya saat dihubungi koran ini, kemarin. (Jawa Pos/JPG)