eQuator.co.id – Saya datang terlalu awal: pukul 8 malam. Matahari masih bersinar perkasa. Pintu halaman masjid itu masih tertutup. Tidak dikunci. Pintu dua sisi. Teralis besi.
Saya turun dari mobil. Saya dorong ke dalam. Tidak bisa. Jalan masuk itu menanjak. Saya tarik ke sini. Gak bisa. Nyangkut. Saya goyang-goyang. Suaranya keras. Takut rusak.
Saya tinggal dulu masjid itu. Cari makanan ringan. Persiapan berbuka. Siapa tahu masjid itu tutup.
Ternyata buka. Begitu saya balik lagi, pintu sudah membuka. Beberapa mobil tampak parkir di halaman. Saya ikut parkir di situ. John tidak ikut. Sudah “cerai”. Pulang ke Kansas. Ke isterinya.
Beberapa orang duduk di halaman masjid itu. Saya hitung: 6 orang.
Saya beri salam. Jabat tangan. Satu persatu. Dokter dari Pakistan. Profesor muda dari Jordan. Di depannya duduk orang tua gagah: bapaknya. Seorang jendral pensiunan. Ada profesor teknik dari India, asal Heyderabad. Ada orang asal Sudan. Satu lagi asal Mauritania.
Beberapa kali saya ditegurnya: menyebutnya Mauritius. ”Itu dua negara yang sama sekali berbeda,” tegurnya.
Satu di daratan. Satunya di lautan. ”Tapi terlalu banyak yang salah sebut seperti itu,” katanya.
Tiba-tiba si Mauritus, eh si Mauritania berdiri. Azan. Di dekat dinding masjid. Itulah tandanya berbuka.
Beberapa butir kurma disajikan di meja. Saya pilih berdiri. Ambil melon kuning. Dua iris.
Makanan dijajar di atas meja dekat dinding. Saya tidak bisa melihatnya. Masih ditutupi alumunium foil.
Harus salat magrib dulu. Insya Allah aku lilo. Meski lapar sekali.
Total enam orang yang makmum. Imamnya profesor yang asal Hyderabad itu. Khusuk. Tidak heboh.
Makmum tambah dua lagi: satu berjubah putih. Lengkap dengan topi hajinya. Satunya lagi hanya berkaus singlet. Kusam. Ternyata sopir truk. Asal Somalia.
”Saya benci udara panas seperti ini,” kata si kaus singlet itu.
Tinggalnya di Main. Utara Boston. Perbatasan dengan Kanada. Daerah beku. Di musim sajlu.
Si kaus singlet sudah warga negara Amerika. Ia baru mengendarai truknya selama 3 hari. Dari Minnesota.
Habis salat dhuhur biasanya tidur. Ada ruang tidur di belakang ruang sopir. Dengan ranjang cukup lebar. Ada kulkas, AC dan TV.
Saya minta izin si kaus singlet: untuk melihat dalamnya truk raksasa itu. Yang sering saya selip dengan ngeri-ngeri-sedap itu.
Di Amerika, kendaraan yang kita selip tidak akan mengurangi kecepatan. Yang menyelip pun tidak menambah kecepatan. Yang nyelip itu memang karena kecepatannya lebih tinggi. Semua konstan: pakai tuas, eh cruise control, di bawah kemudi itu.
Ia menjadi tour guide saya di dalam truk itu. Sambil ambil botol minumannya: untuk diisi ulang. Itu mah bukan botol. Termos es. Besar sekali. Disebut botol hanya karena ada pipetnya.
Ia menjelaskan, kalau botol biasa tidak cukup besar. Dan tidak bisa dimasuki es. Harus besar segitu. Untuk jarak nyetir 6 jam berhenti sekali.
Kami pun mendengarkan suka-duka menjadi sopir truk raksasa. Sambil makan.
Yang laki-laki makan di deretan meja sini. Yang wanita di deretan meja sana. Bersama anak-anak. Ada dua wanita di meja itu. Mereka itulah yang menyiapkan makanan sore itu.
Banyak sekali anekanya: kue berat tiga macam, daging, sop India, kare biji kacang putih, nasi briani dengan ayam dan irisan kentang, samosa, nasi briani dengan ramuan lain lagi, dan beberapa lagi tapi hilang dari catatan lirik lagu ‘’Sayang’’.
Minumannya juga beberapa macam: botol-botol air putih, jus kaleng, jus jerigen, susu, teh, kopi. Buahnya lima: kurma, semangka, melon, jeruk, apple.
Tentu tidak bisa habis. Saya hanya ambil nasi briani satu jenis, ayam sepotong kecil, kare kacang putih tanpa kuah, satu samosa. Tapi profesor dari India itu minta saya membungkus untuk sahur. Alhamdulillah.
Itulah buka puasa di masjid Laredo. Di negara bagian Texas. Kota ini cukup besar. Penduduknya setengah juta. Yang Islam tidak sampai dua ribu orang.
Hanya ada satu masjid di Laredo. (Tunggu Disway edisi Laredo dengan sungai Rio Grande yang legendaris dan jembatan perbatasannya dengan Mexico).
Masjid-masjid di luar Laredo ini jaraknya 200 km. Di utara ada masjid di San Antonio. Di selatan ada masjid Monterry, di Mexico.
Profesor asal Hyderabad itu salah satu pemrakarsanya. Lima tahun lalu. Masih baru. Membeli tanah kosong di situ: membangunnya. Setahun jadi. Dengan arsitektur khas wilayah selatan Texas. Ditambah kubah.
Sebelum punya masjid, Jumatannya sewa tempat. Di sebuah pusat perbelanjaan. Kini yang Jumatan meningkat: rata-rata 20 orang.
Sesekali bertambah mendadak: rombongan pelancong dari atau ke Mexico. Yang kebetulan lewat. Beda sekali adat di masjid kecil yang tidak didominasi pendatang asal Arab. (dis)