Memahami Puasa

Oleh: Syf. Fatimah

Syf. Fatimah

eQuator.co.id – Puasa Ramadan adalah ibadah yang memiliki makna tersendiri bagi umat Islam. Karena waktu ibadah tersebut diyakini memiliki banyak keberkahan. Sehingga kedatangannya dinanti-nanti kebanyakan muslim.

Di saat sama, puasa tersebut secara kultural terlihat telah menjadi ibadah yang cukup unik. Pelaksanaan puasa diakui umum sebagai ibadah yang dirasa berat tetapi kenyataannya banyak dilakukan muslim.

Tidak hanya itu, puasa Ramadan dapat mengubah nuansa keluarga menjadi lebih relijius atau islami. Ibadah lain bersama puasa turut tegak didirikan. Seperti salat, sedekah, dan tilawatil Quran. Keberkahan mungkin menjadi sebab yang menjadikan ibadah puasa Ramadan hadir sedemikian rupa di tengah masyarakat muslim di Indonesia.

Puasa di tengah masyarakat sering dipahami sebagai suatu ibadah untuk menahan makan dan minum. Waktu pelaksanaannya dimulai dari azan salat subuh sampai waktu azan magrib.

Pada rentang waktu itu, muslim dilarang makan dan minum atau memasukkan sesuatu lainnya. Seperti asap hisapan rokok. Mereka akan menjaga dirinya dari makan dan minum, baik dalam kesendirian maupun keramaian. Lapar dan haus akan ditahan. Tidak makan dan minum dipahami masyarakat sebagai pelaksanaan ibadah puasa.

Pilihan untuk tidak makan dan minum sebenarnya bukan hakikat puasa secara utuh. Di dalam Islam, puasa memiliki ketentuan sebagai ibadah, terdapat syarat dan rukunnya.

Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Ada sebagian orang menahan diri dari makan dan minum di sepanjang pagi hingga malam, tetapi mereka tidak cukup disebut puasa. Karena syarat dan rukunnya tidak dipenuhi. Tercukupinya ketentuan hukum adalah hal mendasar, yang harus ada untuk ibadah puasa.

Syarat dasar ibadah puasa meliputi ketentuan: 1) Islam, 2) berakal sempurna, 3) baligh, 4) tahu wajibnya puasa. Di dalam pelaksanaannya disyaratkan: 1) sehat, 2) mukim, 3) tidak ada halangan haid atau nifas.

Sedangkan, rukunnya adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Selain hal tersebut, pelaksanaan ibadah puasa disyaratkan dengan niat untuk melaksanakan ibadah, bukan karena niatan lainnya. Sejumlah hukum ketentuan tersebut tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaannya.

Ketentuan di atas dihadirkan bukan sekedar persoalan hukum, tanpa makna atau hikmah pembentukannya. Sejumlah ketentuan di atas dapat dipahami untuk membuat ibadah puasa terasa ringan atau mudah dalam pelaksanaannya, tidak menimbulkan kesukaran atau kesulitan bagi setiap muslim.

Keadaan sakit atau dalam bepergian tentu dirasa akan memberatkan ibadah puasa, karena terdapat keadaan yang tidak mendukung bagi pelaksanaannya. Status berakal dan baligh tentu memberikan jaminan bagi adanya kesadaran dan kemampuan muslim untuk melaksanakan puasa secara memadai atau sempurna.

Mereka yang diwajibkan berpuasa tetapi peroleh halangan dapat berpuasa di lain waktu sebagai gantinya. Pada gilirannya, ketentuan tersebut menjadikan ibadah puasa terasa mudah dilaksanakan muslim, karena ada hikmah yang menjiwai hukum.

Pada saat sama, masyarakat Islam Indonesia telah menjadikan puasa sebagai ibadah yang menyenangkan, tidak hanya terbatas bagi orang tua, tetapi juga bagi anak-anak. Hal demikian tentu dibolehkan selagi tidak ada pelanggaran terhadap ketentuan agama.

Makan sahur sebagai tahap awal dan buka puasa sebagai penutupnya sering dibuat oleh banyak keluarga menjadi acara istimewa. Kehangatan keluarga di dalam acara itu muncul, bukan sekedar karena pergantian menu.

Ada rasa untuk membuat suasana makan sahur dan buka puasa menjadi acara yang patut diikuti anggota keluarga, termasuk di dalamnya anak-anak. Hal demikian itu didukung masyarakat dengan membuat banyak kegiatan yang bersifat khas Ramadan. Puasa adalah haus dan lapar tetapi ada rasa menyenangkan.

Secara lebih lanjut, ibadah puasa memiliki sasaran tujuan, yakni terbentuknya insan bertakwa. Hal demikian ditegaskan Alquran, termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 183. Puasa adalah metode, yang dengannya mukmin dapat peroleh kedudukan mutakin atau orang bertakwa. Yakni mereka yang taat kepada Tuhan, baik terhadap perintah maupun larangan.

Mereka akan memilih yang bernilai baik dan meninggalkan hal-hal yang dibenci agama. Orang bertakwa dalam kesendirian atau keramaian berusaha untuk dalam ketaatan, bukan karena selain-Nya.

Di dalam rangka mewujudkan hal di atas, ada sejumlah ketentuan. Yang menyertai ibadah puasa untuk mencapai kesempurnaan, sehingga raih kedudukan takwa.

Nabi saw telah bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga”. Sabda tersebut menunjukan tentang adanya orang yang puasa, tetapi tidak sampai pada tujuannya, bahkan tanpa pahala.

Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengatakan, bahwa kesempurnaan puasa mengandaikan penjagaan seluruh anggota badan dari hal-hal yang mengundang murka Tuhan. Hal itu berarti puasa tidak sekedar mengunci perut dari makanan dan minuman, melainkan juga mengontrol aktivitas mata, mulut, telinga, tangan, dan kaki untuk hal peribadatan dan kebaikan.

Mata dalam puasa harus dijaga, sehingga tidak menangkap objek yang haram, seperti aurat lawan jenis. Mulut dikendalikan untuk tetap dalam tutur kata yang mulia, bukan menggunjing, memaki, atau ucapan buruk lainnya.

Telinga tidak boleh dibiarkan untuk menikmati ucapan buruk. Yang keluar dari mulut lawan bicara.

Tangan dan kaki harus digunakan dalam rangka aktivitas kebaikan. Puasa harus diikuti dengan laku anggota badan sebagaimana tersebut agar ibadah itu mencapai kesempurnaan. Di batas itu, puasa dapat diharapkan menghantarkan mukmin peroleh kedudukan takwa.

Hal di atas selaras dengan sabda Nabi saw bahwa ada lima hal yang membatalkan puasa, 1) berkata dusta, 2) ghibah atau menggunjing, 3) namimah atau adu domba, 4) pandangan yang diikuti dengan syahwat, 5) sumpah palsu. Di dalam fikih, sabda nabi itu tidak dipahami sebagai hal yang membatalkan pelaksanaan ibadah puasa. Oleh sebab itu, ada orang berpuasa yang melakukan salah satu atau beberapa hal tersebut tanpa merasa batal puasanya.

Kelima ketentuan tersebut dapat dipahami membatalkan puasa dalam hal perolehan pahala, karena rusaknya jiwa ibadah. Oleh sebab itu, puasa oleh nabi saw secara tepat diibaratkan sebagai junnah atau perisai dari hal keburukan.

 

*Dosen FUAD IAIN Pontianak