Menjemput Berkah Allah

Oleh: Eka Wahyudi bin Jamani

Eka Wahyudi bin Jamani
Eka Wahyudi bin Jamani

eQuator.co.id – Rukyah dan hisab adalah dua istilah yang popular di kalangan  umat islam sebagai cara untuk menetapkan waktu permulaan bulan puasa. Kedua istilah tersebut sebenarnya tidak hanya digunakan untuk menetapkan waktu permulaan puasa, tetapi juga untuk menetapkan waktu permulaan setiap bulan gamariah dan bahkan untuk menetapkan waktu salat.

Sebagamana kita ketahui bahwa perhitungan bulan ini ada dua macam yaitu bulan gamariyah dan bulan syamsiyah. Perhitungan bulan gamariyah (hijriyah) didasarkan atas perjalanan bulan dengan jumlah waktu 29 atau 30 hari setiap bulannya. Sedangkan perhitungan syamsiyah (masehi) didasarkan  atas perjalan matahari dengan  jumlah waktu 30 atau 31 hari setiap bulannya, kecuali bulan februari yang berkisar antara 28 atau 29 hari.

Kedua jenis perhitungan  ini sama-sama mempunyai 12 bulan dalam setahunnya; untuk bulan qamariyah adalah muharram, safar, rabi’ul awal, rabi’ul akhir, jumadil awal, jumadil akhir, rajab, sya’ban, ramadhan, syawal, zulkaidah, dan zulhijjah. Sedangkan untuk bulan  syamsiyah adalah januari, februari, maret, apri, mei, juni, juli, agustus, september, oktober, nopember, dan desember.

Dari perbedaan tersebut maka bulan-bulan qamariah setiap tahunnya lebih pendek dari bulan syamsiah, lebih kurang 12 hari. Karena itu pula maka adanya bulan Ramadhan, bila diukur dengan bulan syamsiah selalu bergeser kedepan. Ini mengakibatkan bulan ramadhan itu akan dapat dialami oleh seluruh bulan samsiyah. Hal ini pula sebagai tanda keadilan Allah SWT yang meratakan  pelaksanaan bulan ramadhan pada segala musim.

Masuknya ramadhan dan tanggal mulainya bulan syawal (idul fitri) sebagaimana yang lazim dikenal oleh masyarakat islam ditentukan dengan rukyah dan hisab. Rukyah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan gamariah dengan jalan melihat dengan mata munculnya bulan sabit. Apabila udara mendung atau cuaca buruk,sehingga bulan tidak dapat dilihat,maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan  bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari).

Menurut Turmuzi, rukyah hilal mengenali awal puasa itu dapat diterima, dengan syarat ada kesaksian seorang laki-laki yang adil; jika tidak ada saksi maka pernyataan bahwa seseorang melihat bulan  belum dapat diterima. Adapun ru’yah untuk 1 syawal tidak dapat diterima jika hanya disaksikan  oleh seorang saksi. Pendapat ini juga menjadi pedoman bagi ibnul mubarak, syafi’i dan ahmad.

Pendapat yang mengharuskan  ada saksi merupakan pendapat fugaha pada umumnya. Adapun yang dimaksud dengan hisab adalah suatu cara untuk menetapkan  awal bulan qamariah (ramadhan) dengan jalan mengunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara pasti letak bulan; dengan demikian diketahui pula awal bulan qamariah tersebut. Dalam penggunaan hisab ada perbedaan cara pandang sehingga menyebabkan  adanya perbedaan pendapat.

Dua jenis cara inilah yang kadang-kadang menimbulkan  perbedaan faham, sehingga mengakibatkan perbedaan permulaan puasa dan hari raya idul fitri di sebagian komunitas umat Islam. Kedua jenis faham  tersebut masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama berdasar kepada dalil, baik Al-qur’an  atau al-hadis, tetapi dengan sudut pandangan dan tafsiran yang berbeda.

Dalil-dalil tersebut antara lain ialah hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari Muslim sebagaimana yang telah disebutkan pada uraian terdahulu. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah RA.

Bahwa Nabi SAW bersabda; Berpuasalah kamu jika melihatnya, dan berbukalah kamu jika melihatnya.jika terhalang oleh awan maka cukupkanlah bilangan sya’ban itu 30 hari. (hr. Bukhari dan Muslim)

Puasa ramadhan hukumnya wajib berdasarkan  Al-Quran dan assunah, Allah SWT berfirman, artinya: hai orang-orang yang beriman, diwajibkan  atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan  atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertagwa; yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-bagarah : 183 –184).

Puasa menurut bahasa arab al-shaum atau al-shiyam, dari kata shawama, artinya”menahan/berhenti dari sesuatu”. Misalnya seseorang menahan dari berbicara maka ia tidak berbicara atau seseorang jika menahan  makanan berarti ia tidak makan. Quraish Shihab dalam wawasan al-qur’an menjelaskan bahwa Al-Qur’an mengunakan  kata shaum (satu kali), maknanya”menahan  diri tidak berbicara”, dan kata shiyam (delapan kali),  dalam arti puasa menurut hukum syari’at.

Allah swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (yang dimaksud berpuasa disini adalah menahan dari berbicara) untuk Tuhan yang maha pemurah, maka akan tidak akan berbicara dengan  seorang manusiapun pada hari ini”. (q.s. Maryam : 26 )

Puasa menurut syari’at dapat cermati pada ayat-ayat tentang puasa, antara lain q.s Al-Baqarah ayat 183,184,185, dan 187, serta sejumlah hadis Nabi SAW.

Menurut istilah syari’at Islam: “puasa menurut istilah  syara’ ialah menahan dari sesuatu yang membatalkan  selama satu hari penuh mulai dari terbit fajar sadiq sampai terbenam matahari dengan  beberapa syarat tertentu”.

Tujuan puasa itu pada dasarnya untuk kepentingan  yang berpuasa itu sendiri, yakni agar bertakwa (terhindar dari siksa), sebagaimana tercantum pada akhir ayat 183 q.s Al-Baqarah, “la’allakum tattaqun”. Jadi tujuan puasa itu bukan menahan  makan minum dan seksual serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi SAW yang artinya: “Banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”.

Firman allah “puasa adalah untuk-Ku” mengisyaratkan  keunikan  ibadah puasa, misalnya bahwa itu merupakan rahasia Allah dengan pelakunya sendiri. Seseorang bisa saja berpura-pura puasa di depan umum, namun dia tidak bisa menyembuyikan  kebohongannya di hadapan Allah, karena Dia maha tahu apa yang tersimpan dihatinya.

Oleh karena itu dalam berpuasa diperlukan keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran, demi tercapainya tujuan puasa yang akan bersifat rohani, yaitu ketakwaan kepada Allah semata. Pelaku puasa yang bertakwa senantiasa dapat merasakan kehadiran Allah di setiap saat, seolah-olah dia melihat-Nya,atau setidaknya menyadari bahwa allah senantiasa melihatnya.

        

*Staf Administrasi IAIN Pontianak