Wanita Mongol Itu Kembali Nongol

Oleh: Dahlan Iskan

KORBAN PEMBUNUHAN. Shaariibuugiin Attantuyaa atau Amina semasa hidupnya. Net

eQuator.co.id – Najib Razak sudah tidak berkuasa lagi. Tapi Amina tetap tidak bisa pulang. Sudah mati di jurang. Bala juga tidak bisa pulang. Keburu meninggal karena serangan jantung.

Raja Petra mungkin bisa pulang. Dari persembunyiaannya di Manchester, Inggris. Kopral Polisi Sirul Azhar mungkin ingin pulang. Dari pelariannya di Australia.

Abdul Razak mungkin ingin pergi. Begitu juga Kol Pol Buyong. Dan istrinya, Letkol Pol Norhayati Hassan. Tinggal tidak tahu entah apa yang diinginkan Najib Razak dan isterinya, Rosmah Mansor.

Itulah nama-nama yang terkait dengan matinya wanita muda asal Mongolia. Di hutan. Di jurang. Dekat dam. Di bukit dekat Syah Alam, Malaysia.

Pembunuhan ini sebenarnya sempurna. Wanita itu ditembak dua kali. Lalu dibawa dengan mobil ke gunung. Dilempar ke jurang. Diledakkan dengan bom C-4. Tidak ada yang menemukan. Tidak ada yang mengenali.

Kenalkan: wanita itu bernama sulit dieja dengan lidah Indonesia. Shaariibuugiin Attantuyaa. Tapi ada jalan keluar. Punya nama panggilan Amina.

Saat terbunuh umurnya 30 tahun. Cantik, tinggi, grapyak, mudah bergaul, berkulit bersih, modis, cerdas dan bisa lima bahasa: Monggolia, Russia, Mandarin, Inggris dan Prancis.

Pekerjaannya tidak jelas. Tapi orang Malaysia mengenalnya sebagai penerjemah.

Pergaulannya luas. Berkelana ke banyak negara. Menyertai tokoh-tokoh terkemuka.

Amina sebenarnya sudah punya anak dua. Ditinggal di orang tuanya. Waktu kecil Amina tinggal di Russia. Sekolah di sana. Umur 12 tahun pulang ke Mongolia.

Enam tahun kemudian kawin dengan pemain musik. Umur 18 tahun punya anak. Lalu cerai. Amina lantas ke Prancis. Sekolah mode. Dan kawin lagi. Punya anak lagi. Cerai lagi.

Tahun 2005 saat Malaysia mau membeli tiga kapal selam dari Prancis ada Amina. Yang ditugaskan untuk negosiasi waktu itu: Abdul Razak. Ketua lembaga kajian kementerian pertahanan.

Di Hongkonglah Abdul Razak bertemu Amina. Yang memperkenalkannya bukan sembarang orang: Najib Razak. Bosnya sendiri. Saat itu Najib menjabat menteri pertahanan. Amina dibawa ke Prancis. Abdul Razak kecantol. Atau mencantolkan diri.

Banyak fotonya di sana. Berdua. Tapi, kelak, setelah pembunuhan Amina terbongkar, Abdul Razak menyesal. Dia pernah curhat ke detektip pribadinya: Bala. Nama lengkapnya cuma satu kata. Tapi agak panjang nian: Balasubramanian. Isi curhatnya, menurut Bala, mengharukan: ia itu sebenarnya hanya diminta mewarisi Amina. Semacam penerima piala berikutnya. Agar Najib terbebas dari Amina. Soalnya Najib segera menjadi wakil perdana menteri.

Bala lantas membuat pernyataan. Berisi curhatnya Abdul Razak. Bahkan dipastikan Amina punya hubungan khusus dengan Najib. Pernyataan itu sebenarnya dimaksudkan untuk membela Abdul Razak nantinya. Tapi itu bencana bagi ia.

Bala dapat tekanan, ancaman, dan iming-iming. Ia diminta untuk membuat pernyataan kedua. Yang isinya berlawanan. Tapi sebenarnya itu bukan Bala yang membuat. Ia tinggal tandatangan. Membacanya pun tidak.

Suatu saat ditemukan rumahnya dirusak orang. Tapi tidak ada barang yang hilang.

Lain waktu ia ditawari uang Rp150 juta. Untuk bungkam. Bala tidak tahan. Bala mengajak istri dan anaknya pergi. Tidak pulang lagi. Kami, katanya, bersembunyi di negara tetangga. Tentu, maksudnya, Singapura.

Tahun 2013 lalu Bala meninggal dunia. Akibat serangan jantung. Mungkin anak istrinya kini sudah berani pulang. Yang juga ingin pulang mestinya ini: Raja Petra Kamaruddin.

Ia ini pemilik dan pemimpin redaksi Malaysia Today. Media online terkenal di Kuala Lumpur. Raja lari ke Inggris. Sembunyi di Manchester. Lima anak dan istrinya ditinggal di Malaysia. Ketakutan.

Rajalah yang menulis berita heboh itu: Istri Najib, Rosma Hassan, ada di lokasi. Saat tubuh Amina dilempar ke jurang. Ada juga Kol. Buyong dan isterinya, Letkol Norhayati Hassan.

Raja dapat (kata ‘dapat’ ini pasti diterjemahkan menjadi ‘can’ oleh Google) tekanan berat. Tapi Raja bongol. Tidak goyah. Ia hadapi tuntutan polisi. Dengan jantan. Raja ditahan. Akan diadili. Dengan tuduhan fitnah dan berita bohong. Hukumannya tiga tahun.

Sebenarnya Raja bisa tidak ditahan. Asal membayar uang jaminan. Hanya 5.000 ringgit. Tapi Raja menolak. Ia mengaku tidak punya uang. Pilih ditahan.

Istrinya, Marina Lee Abdullah, mengabarkan Raja mogok makan. Itu membahayakan. Raja tidak akan kuat. Marina tahu kesehatan suaminya. Tapi Raja menolak dikatakan mogok makan. ”Saya takut diracun,” katanya.

Raja merasa informasinya valid. Sumbernya: intelijen  militer. Dari laporan intelijen langsung ke kantor Perdana Menteri Abdullah Badawi. Hanya ia tidak mungkin mengungkapkannya.

Istri Raja akhirnya minta sumbangan. Secara online. Untuk jaminan suaminya. Permintaannya sederhana: satu orang menyumbang satu ringgit. Dalam sekejap terkumpul 35.000 ringgit. Menandakan betapa rasa keadilan masyarakat sangat tergores. Hukum tidak tegak lagi.

Sekuat-kuat Raja dan istrinya, masih lebih kuat tekanannya. Raja mencabut beritanya. Ia mengaku tidak melihat sendiri kehadiran Rosma Hassan itu. Demikian juga kehadiran Kol Buyong dan isterinya.

Raja lantas kabur ke Inggris. Kebetulan ia itu kelahiran Inggris. Dulu, bapaknya sekolah hukum di sana. Lalu kerja di Unilever Inggris. Kawin dengan Chi Barriya Kamaruddin. Yang nama aslinya: Barbara Marbel Parnell. Lahirlah Raja.

Entah apa yang ada di pikiran Raja sekarang ini. Ketika partai yang didukungnya menang Pemilu. Menumbangkan Najib Razak.

Sebenarnya tidak ada yang menemukan mayat Amina. Badannya sudah hancur. Dagingnya tidak ada. Jadi serpihan bersama bom C-4. Yang mudah busuk. Menyatu dengan tanah dan sampah.

Tapi keluarga Amina di Mongolia bingung. Anak-anaknya, yang sudah berumur 12 tahun dan 8 tahun, bertanya tentang mama mereka. Tidak ada kabar. Tidak ada kontak. Tidak bisa dikontak. Hilang.

Sepupu Amina lapor polisi. Dan yang utama lapor kedutaan Mongolia. Kedutaan inilah yang aktif mencari warganya. Dan yang aktif mempersoalkannya. Dan mempertanyakan kelanjutannya.

Polisi Malaysia akhirnya turun tangan. Menemukan tulang-tulang berserakan. Di jurang itu. Tidak diketahui tulang siapa. Baru setelah dilakukan test DNA terbuka: itu tulangnya Amina.

Ditemukan juga bekas tembakan. Dua kali. Unsur kimia: bom C-4. Selebihnya misteri.

Tapi kan harus ada tersangka. Berita pembunuhan ini bukan main menariknya.

Publik terhipnotis. Main spekulasi pula. Misalnya: mungkin wanita itu sedang hamil. Mungkin sudah minta dikawini. Mungkin akan membongkar sesuatu.

Misalnya, ada apa di balik pembelian tiga kapal selam itu. Berapa komisinya. Dibagi ke mana saja.

Sebagian ternyata bukan sekedar spekulasi. Koran Prancis turun tangan. Ada komisi ratusan juta Euro. Tepatnya Euro 114 juta. Tapi anehnya, atau hebatnya, tidak ada Amina. Tidak ditemukan bukti Amina ke Prancis pada tahun-tahun itu. Begitulah data dari imigrasi.

Pengusutan komisi ini berhenti. Karena Amina sudah mati. Laporan keluarga Amina menjadi bukti permulaan. Dalam laporan itu disertakan foto. Amina bersama Abdul Razak. Dan satu pejabat pemerintah. Itulah Najib. Lalu Abdul Razak jadi tersangka. Tapi dibebaskan. Tidak cukup bukti. Lalu siapa pembunuhnya?

Ditemukanlah tersangkanya. Dua polisi. Dari satuan khusus. Termasuk pemberantas terorisme. Yang bertugas di kantor perdana menteri. Salah satunya kopral Sirul Azhar, 30 tahun.

Sirul dituntut dijatuhi hukuman mati. Bentuknya: digantung sampai mati.

Dalam pembelaannya Sirul mengungkapkan perasaan terdalamnya. Agar hakim tidak menjatuhinya hukuman mati. ”Saya ini seperti kambing hitam yang harus jadi korban,” katanya. ”Untuk melindungi seseorang yang tidak pernah dibawa ke pengadilan. Juga tidak pernah didengar keterangannya,” tambahnya.

Sirul melanjutkan alibinya. ”Untuk tujuan apa saya menyakiti orang apalagi membunuhnya,” katanya.

Tapi hakim tidak mempercayai itu. Tetap menjatuhkan hukuman mati pada keduanya.

Anehnya, atau hebatnya, terdakwa biasa saja saat hakim menjatuhkan hukuman itu. Tidak ada ekspresi apa-apa. Seluruh keluarganya pun langsung menerima begitu saja.

Bahkan pihak keluarga perlu-perlunya menambahkan keterangan: semua itu tidak ada hubungannya dengan politik. Itu, tentu karena ada harapan. Pengadilan tinggi bisa diusahakan membebaskannya.

Dan benar. Seperti itu. Alasannya: semua pembunuhan ada motifnya. Dalam kasus ini tidak ada motif yang terungkap. Tak lama kemudian Sirul hilang. Saat Mahkamah Agung menyidangkan kasasinya Sirul tidak ada.

Ternyata Kopral Sirul di Australia. Sampai sekarang. Australia tidak akan mengirim pulang orang yang diancam hukuman mati.

Kelak, sebaiknya Sirul pulang. Kasihan keluarganya. Dan agar bisa menceritakan kejadian yang sebenarya.

Apalagi minggu lalu ada dua perkembangan baru: dari Australia Sirul menyatakan sudah siap untuk beberkan semua itu. Dari Mongolia presiden negara itu bersuara: minta diungkapkan kejadian yang sebenarnya.

Tas Hermes kelas Birkin sekali pun tidak akan bisa untuk menyimpan jenazah wanita Mongolia ini. Perlu seribu tas untuk bisa menampung seluruh bagian tubuhnya. Kurang banyak tasmu, Rosma. (dis)