Tepian sungai terpanjang di Indonesia menyimpan banyak cerita. Salah satunya, proses transformasi balok kayu jadi sesuatu yang berbunyi menggelegar. Meriam karbit.
Maulidi Murni, Pontianak
eQuator.co.id – Di Kota Pontianak, meriam karbit memang masih menjadi sebuah tradisi. Yang unik. Yang terus dipertahankan oleh warganya yang bermukim di tepian sungai Kapuas. Yang dinikmati pula seluruh penduduk Kota Khatulistiwa tersebut. Yang ada menjelang Ramadan hingga bertemu 1 Syawal. Berpelukan dengan Idul Fitri.
Berbagai ukuran meriam-meriam itu. Berbagai warna. Berhias berbagai ornamen. Dentuman meriam dianggap warga Pontianak yang muslim sebagai ungkapan hari kemenangan. Puncaknya ketika menyambut malam Idul Fitri.
Hanya saja, sebelum bertengger di atas landasan meriam, banyak persiapan untuk menaikkannya. Setakat ini, bahan membuatnya sulit dicari. Kalaupun ada, harganya cukup mahal. Yap, rotan dan karbit pada tahun 2018 ini diprediksi akan membuat penikmat meriam karbit harus merogoh kocek lebih dalam. Dari tahun-tahun sebelumnya.
Setia Tambelan, salah satu kelompok permainan meriam karbit di Kota Pontianak. Mereka rencananya akan “meledakkan” delapan meriam karbit saat malam Idul Fitri nanti.
Pada bulan Ramadan yang baru berjalan beberapa hari ini saja, sudah lima meriam yang telah jadi. Diolah oleh warganya secara gotong royong. Dari dana yang didapat secara urunan.
“Kite udah jadi lima meriam ni, tapi belom kite pakai atau dibunyikan, ini biar kite ndak tekejar same waktu jak,” tutur Ketua Meriam Karbit Setia Tambelan, Hendra, Sabtu (19/5), kepada Rakyat Kalbar.
Untuk membuat meriam tersebut, pertama-tama kayu balok dibelah menjadi dua. Menggunakan chainsaw. Gergaji listrik.
“Lalu isinya kite ambil dengan cara dikapak atau ditarah dengan menyisakan bagian sisi kiri-kanan dan belakangnya (pantat meriam,red) dengan ukuran tertentu, sesuai ukuran baloklah,” tuturnya, menjelaskan proses pembuatan meriam karbit, di Jalan H. Abu Naim, waterfront tepian Sungai Kapuas Kelurahan Tambelan Sampit, Kecamatan Pontianak Timur.
Kemudian, dibuatlah lubang sulut. Tempat untuk menyulut meriam itu di bagian atasnya. Di bagian bawah meriam, dibuat tempat untuk membuang air yang nantinya bercampur karbit. Setelah meriam diledakkan.
Biasanya, mereka juga memakai alas dari seng sebagai penahan air dan karbit yang terletak di dekat pantat meriam bagian dalam. Gunanya untuk menghindari rembesan air yang dapat mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.
Setelah diyakini air tak akan merembes, dua balok, yang tadinya dibelah dan dilubangi, kembali disatukan. Disebut nangkop (menyatukan kembali) meriam.
Jamaknya, dibuatkan juga lapisan di sisi kiri dan kanan balok dengan kain goni ataupun karpet. Untuk menghindari uap yang bocor dari celah akibat pembelahan balok. Uap itu terbentuk dari amunisinya, dari bercampurnya karbit dan air.
Ketika sudah ditangkop, ketika telah menjadi satu, balok kayu itu akan berlubang di tengahnya. Dari situlah nantinya bunyi meriam akan keluar. Radius gelegarnya bisa mencapai 5 kilometer.
Bagi warga sekitar, suara nyaring itu hal lumrah. Bahkan, kaca, piring, sampai jam dinding milik warga setempat ada yang pecah. Namun mereka memaklumi. Dan sudah mengantisipasi.
Selanjutnya, meriam yang setengah jadi itu disimpai. Rotan dililitkan di sekujur meriam. Dengan sejumlah spasi atau jarak. Juga dipaku, agar kokoh tak bergeser ketika berdentum.
“Biasenya, kalo udah jadi, kite tepikan atau buang (dimasukkan,red) ke dalam air agik (lagi), kite rendam meriam tu, tapi di tempat saye ndak semuanye, hanye ade beberapa meriam jak yang direndam,” ujar Hendra.
Jika kita melihat meriam karbit yang sudah jadi, kata dia, mungkin orang akan mengatakan tak banyak proses pengerjaannya. Namun, Hendra menjelaskan, butuh waktu cukup lama untuk membuat meriam ini. Belum lagi ditambah meriam yang berukuran besar pasti berbeban berat.
“Kalau dari nol, atau balok baru, satu meriam bise makan empat harian (membuatnya,red), itu belom mengecatnya, belom buat landas (landasan) meriamnya,” paparnya.
Di lokasi Kelompok Meriam Tambelan Sampit, meriam terbesar berdiameter melebihi 70 cm. Panjangnya enam meter.
Ketika diminta untuk membunyikan meriam yang sudah jadi, Hendra terkekeh. Dia bilang, pikir-pikir dulu. Takutnya rusak. Sebab, baru saja selesai dibuat.
Hendra memprediksi, meriam akan dinaikkan ke atas landasan sekitar H-15 Idul Fitri. Untuk dicat. Dihias motif beraneka ragam khas Kota Pontianak.
Pembuatan meriam ini kadang kala diiringi gotong royong membuat panggungnya. Untuk meletakkan meriam dan landasannya tersebut. Yang menjorok ke sungai.
Dalam membunyikan meriam, juga ada prosesnya. Setiap bagian yang berlubang harus ditutup. Para pemain kebanyakan menutupnya dengan menggunakan kertas koran.
“Kalau malam lebaran kite bunyikan sepuasnya, nanti bunyi meriam bersahutan dari mane-mane, biase ada yang sampai pagi baru berenti,” tandas Hendra.
Jadi, jika nantinya Anda berkunjung ke Pontianak menjelang Idul Fitri, jangan kaget. Tak perlu pula mengira suara ledakan keras yang Anda dengar berasal dari bom. Itu suara meriam, tradisi tepian Kapuas di Pontianak yang sudah mendarah-daging. (*)