Terkait Lima Aksi Terorisme, Oman Dituntut Pidana Mati

eQuator.co.idJakarta–RK. Hukuman mati menanti pemimpin ideologis Jamaah Ansor Daulah (JAD), Oman Rochman, alias Aman Abdurrahman. Pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (18/5), Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta hakim menjatuhkan hukuman paling berat kepada terdakwa kasus terorisme itu.

Pria 45 tahun tersebut didakwa merencanakan, dan atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme. Dalam surat dakwaan setebal 242 lembar itu, Oman dikaitkan dengan lima tindak pidana terorisme.

Yakni bom Thamrin pada 14 Januari 2016, Bom di Gereja HKBP Samarinda pada 13 November 2016, bom terminal Kampung Melayu pada 24 Mei 2017, penyerangan di Mapolda Sumatera Utara pada 25 Juni 2017, dan penyerangan polisi di Bima NTB pada 11 September 2017.

”Ia memprovokasi dengan berbicara berbisik dan menyampaikan bahwa ada perintah dari umaroh atau pimpinan khilafah dari Suriah.  Dan pesan terebut dipertegas Rois (Iwan Darmawan Muntho alias Rois) untuk melaksanakan amaliyah jihad seperti yang terjadi di Paris, Perancis,” kata Jaksa Mayasari saat membacakan surat dakwannya.

Perintah amaliyah itu disampaikan Oman kepada Ketua Laskar Asykari JAD Saiful Muntohir alias Abu Gar saat mereka bertemu di Lapas Kembang Kuning, Nusa Kambangan, pada November 2015. Pada saat itu hadir Iwan Darmawan yang menjadi penyandang dana dan telah mempersiapkan uang Rp 200 juta.

Pesan amaliyah itu ditindaklanjuti dengan bom di Starbuck café dan pos polisi di Jalan MH Thamrin pada Januari 2016 yang menewaskan delapan orang. Sedangkan di aksi terorisme lainnya, peran Oman dikaitkan karena dia pernah memberikan materi kepada 30 orang amir wilayah JAD dari seluruh Indonesia di Batu, Jawa Timur pada November 2015.

Materi yang disampaikan melalui telepon karena Oman berada di Lapas itu berisi tentang seruan segera mulai jihad tidak perlu menunggu 2018, memerangi syiah, dan hukum menyekolahkan anak di sekolah negeri.

Nah, setelah pulang dari acara tersebut, para pemimpin daerah JAD lantas melakukan amaliyah di wilayah masing-masing. Misalnya bom di Gereja HKBP Samarinda yang dilakukan oleh Juhanda dari JAD Kalimantan Timur pimpinan Joko Sugito.

Selain itu, pengaruh Aman juga dikaitkan dengan buku terjemahannya yang berjudul “Seri Materi Tauhid”. Yang berisi demokrasi, termasuk syirik akbar yang bisa membatalkan ke-Islam-an seseorang. Juga berisi pemerintah dan aparat pemerintah, mulai dari presiden, DPR, polisi, tentara, termasuk thagut yang statusnya sangat kafir. Buku itu salah satunya mempengaruhi Syawaluddin Pakpahan dan rekannya yang menyerang anggota Polda Sumatera Utara.

“Syawaludin meskipun belum pernah bertemu muka dengan terdakwa (Oman, Red), namun sudah lama mengenal terdakwa dari buku Seri Materi Tauhid yang dikarang terdakwa,” tutur jaksa Mayasari.

Oman sebenarnya sudah meringkuk di penjara karena kasus bom Cimanggis  pada 2004 dan divonis tujuh tahun. Setelah menjalani 4 tahun empat bulan bui, dia pun dibebaskan pada 2008.

Tapi, pada 2010, Oman kembali ditangkap karena terlibat pelatihan militer di Jalin Jantho Aceh bersama Abu Yusuf. Dia divonis sembilan tahun di PN Jakarta Barat. Pria kelahiran Sumedang itu rencananya akan bebas murni pada 17 Agustus 2017.

”Terdakwa Aman Abdurrahman tidak masuk dalam pengurus JAD. Namun diposisikan sebagai rujukan dalam ilmu Dien. Yang posisinya diatas amir/pimpinan JAD Pusat,” ujar Jaksa Mayasari. Posisi Amir Pusat ditempati oleh Zainal Anshori alias Qomarudin alias Abu Fahri, sebelumnya dijabat oleh Abu Musa yang berangkat ke Suriah.

Jaksa Anita Dewayanti menuturkan bahwa Oman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme. Oman didakwa melanggar pasal 14 Jo Pasal  6 Perppu 1 tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman dengan pidana mati,” kata Anita membacakan tuntutan.

Dia menjelaskan enam hal yang memberatkan Oman. Diantaranya status Oman sebagai residivis, pengagas JAD yang menentang NKRI, penganjur dan pengerak amaliyah teror, perbuatannya mengakibatkan korban meninggal dunia dan luka berat. Serta perbuatan Oman menghilangkan masa depan korban.

”Pemahaman terdakwa tentang syirik demokrasi telah dimuat di internet  dalam blog www.millahibrahim.wordpress dan dapat diakses secara bebas sehingga dapat mempengaruhi banyak orang,” tutur Anita.

Raut wajah Oman tampak datar saja mendengar pembacaan dokumen tuntutan sekitar sejam itu. Dia lantas dipersilakan majelis hakim untuk berkonsultasi dengan kuasa hukumnya, Asludin Hatjani. Mereka berdua sepakat untuk mengajukan pledoi atau pembelaan masing-masing. Artinya, Oman akan membuat pembelaan sendiri dan Asludin juga.

”Masing-masing,” kata Oman singkat terkait pembuatan pledoinya.

Sidang yang dikawal ratusan polisi bersenjata lengkap dan mengenakan rompi anti peluru itu akan dilanjutkan Jumat (25/5) pekan depan untuk pembacaan pledoi. Secara umum, sidang yang kemarin dihadiri ratusan jurnalis cetak dan elektornik dari dalam dan luar negeri itu berjalan dengan lancar meski penuh sesak.

Sidang selesai sekitar pukul 11.00 dan Oman langsung dibawa kembali ke mobil tahanan. Menuju ruang tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Oman cenderung bungkam.

Pengacara Asludin Hatjani menuturkan bahwa tuntutan hukuman mati yang disampaikan jaksa itu tidak bijaksana. Lantaran yang dilakukan Oman tidak sampai memerintahkan langsung untuk melakukan amaliyah. Meskipun memang diakui bahwa Oman memang berdakwah tentang khilafah melalui berbagai media.

”Tapi dia tidak pernah menganjurkan adanya amaliyah. Dalam persidangan terbukti semua saksi baik saksi Abu Gar, maupun saksi ahli bahwa Aman bukan yang memerintahkan Amaliyah,” kata dia.

Menurut Asludin, perintah yang diakui oleh Aman adalah untuk berjihad ke Syuriah. Bukan melalukan amaliyah di Indonesia.

”Dia tidak pernah menyuruh untuk amaliyah. Tapi menyuruh orang untuk berangkat ke Syuriah,” ungkapnya.

Berkaitan dengan tuntutan hukuman mati untuk terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman, Jaksa Agung M. Prasetyo menyampaikan bahwa banyak pertimbangan yang diperhitungkan sebelum tuntutan tersebut dibacakan. ”Kami lihat bagaimana peran dia dalam jaringan terorisme. Dia adalah pendiri JAD, dia yang mengerahkan jaringannya untuk melakukan action, gerakan, dan sebagainya,” terang Prasetyo.

Tidak hanya itu, Aman juga tercatat sebagai salah seorang residivis dalam kasus terorisme. ”Sehingga tentunya itu sangat membahayakan kehidupan kemanusiaan,” ucap Jaksa Agung.

Dia memastikan, tuntutan itu sudah sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Aman. ”Kalau dia anggap sebagai efek kejut (untuk anggota JAD lain) silakan saja,” imbuh pejabat asal Jatim itu. (Jawa Pos/JPG)