eQuator.co.id – Kaca depan pilot itu copot. Minggu lalu. Di udara Tiongkok. Pada ketinggian 32.000 kaki. Sama dengan yang terjadi di South West Airline di Amerika. Bulan lalu.
Badan pilot kesedot tiba-tiba. Ke arah jendela yang terbuka. Akibat perbedaan tekanan udara. Tapi badan pilot hanya doyong. Rambutnya yang pendek tidak sampai melambai-lambai ke arah jendela.
Sang pilot pakai sabuk pengaman. Tentu saja. Tidak bisa tercerabut dari kursinya. Ini menguatkan asumsi yang di Amerika. Bahwa wanita yang kesedot jendela itu kemungkinan besar tidak pakai seatbelt. Sampai separo badannya di luar pesawat. Ketahan pinggulnya. Dan tarikan penumpang lain.
Yang di Tiongkok ini pesawatnya milik Sichuan Airlines. Jenisnya Airbus A319. Bikinan Prancis. Sejenis Boeing 373 yang di South West Airlines. Yang bikinan Amerika. Jurusannya Chongqing – Lhasa. Kota Chongqing dulu masuk propinsi Sichuan. Di Tiongkok tengah. Lhasa adalah ibukota Tibet. Tiongkok barat. Tiga jam penerbangan.
Saat jendela di kockpit itu lepas pesawat baru terbang 20 menit. Sama dengan yang di South West. Berarti baru di atas kota Chengdu. Ibukota Provinsi Sichuan. Pilot memutuskan mendarat darurat: di bandara Chengdu. Tidak ada korban. Luka sekali pun. Pilot dapat pujian luar biasa.
Waktu terjadi di South West Airlines, kaca jendela penumpang yang copot. Di Sichuan Airlines ini, kaca depan yang lepas.
Kokpitnya berantakan. Alat-alatnya berubah posisi. Sistem kendali otomatisnya rusak. Angin menerpa keras. Mata tidak bisa dipakai untuk melihat. Suara angin berisik sekali. Pendengaran pilot terganggu. Angka-angka di kockpit kabur. Udara dingin masuk: minus 40 derajat. Bisa membuat tangan beku. Hanya pilot yang luar biasa tabah yang bisa berpikir dalam kondisi seperti itu.
Sang pilot mengaku ada beberapa pilihan. Menurunkan ketinggian tiba-tiba. Atau turun lebih pelan. Kalau turun cepat suhu udara segera tidak terlalu dingin. Tekanan udara juga berkurang. Oksigen segera didapat. Tapi akan banyak penumpang yang menderita. Setidaknya menerima kejutan yang mengagetkan.
Bagi yang tidak mengenakan sabuk pengaman bisa bahaya: kepalanya bisa membentur atap. Keras. Bisa mematikan. Seperti dalam kasus All Nippon Airways puluhan tahun lalu.
Sang pilot memilih menderita sendiri di kockpit. Bersama copilot. Sambil harus tetap tenang. Mengendalikan pesawat secara manual. Minta turun di bandara Chengdu.
Penumpang, 119 orang, ganti pesawat. Tiga jam kemudian.
Sang pilot turun di Chengdu. Bersama pesawatnya. Untuk pemeriksaan. Dengan sangat rendah hati sang pilot hanya bicara satu-dua kalimat.
”Saya sudah lebih 100 kali menerbangi jalur ini,” katanya.
”Sudah tahu harus turun di mana,” tambahnya.
Tapi sebenarnya sang pilot memang orang pilihan. Ia lulusan terbaik sekolah penerbangan –catat baik-baik— angkatan udara Tiongkok. Sangat mirip dengan pilot wanita yang menyelamatkan South West: bekas angkatan udara. Sudah terbiasa bermanuver dengan pesawat tempur.
Ditambah lagi Liu Chuanjian, sang pilot, adalah instruktur pilot. Kini umurnya masih 46 tahun.
Dari lapisan pilot terbaik hanya 30 persennya yang boleh jadi instruktur. Berarti Liu memang hebat. Hebat yang sebenarnya. Liu dianggap pahlawan. Bisa menyelamatkan begitu banyak penumpang. Ia diminta ke sana ke mari untuk wawancara. Ia benar-benar pahlawan.
“Bagi orang lain ia memang pahlawan. Tapi bagi saya ia itu suami saya. Yang penting cepet pulang,” kata Zou Han, istrinya. (dis)