HILAL RAMADHAN 1439 H

Oleh : Suhardiman

Suhardiman
Suhardiman

eQuator.co.id – Hilal atau dalam bahasa Arab dalam bentuk jamak disebut sebagai ahillah (lihat QS. Al-Baqarah ayat 189). Merupakan bulan sabit pertama, setelah terjadi peristiwa ijtimak atau konjungsi dalam bahasa astronomi, dimana bumi dan bulan berada pada posisi bujur langit yang sama.

Di dalam Ensiklopedia Hisab Rukyat (Azhari, 2008:76), juga disebutkan bahwa kata hilal berasal dari bahasa Arab, jamaknya adalah ahilla, yang berarti bulan sabit dan dalam bahasa Inggris disebut dengan crescent.

Bangsa Arab pra-Islam telah mengenal sistem penentuan awal bulan yang didasarkan pada peredaran bulan atau (lunar calendar), setiap akhir bulan diantara mereka berusaha untuk melihat “bulan muda”. Apabila berhasil maka mereka akan meneriakan “hilaaal” sebagai pengagungan terhadap kedatangan dewa mereka dan melakukan upacara ritual. Oleh karena itu bulan sabit muda dinamakan hilal (Kemenag, 2010:31).

Menurut ahli linguistic Arab, al-Khalil bin Ahmad, dari Oman, hilal didefinisikan dengan sinar bulan pertama, ketika orang melihat dengan nyata bulan sabit pada awal dari sebuah bulan. Kata ini bisa saja berakar dari dua bentuk kalimat aktif maupun pasif seperti : dia muncul (halla) atau dia kelihatan (uhilla) yang kedua-duanya melibatkan proses menyaksikan. Dari hal ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa ada proses melihat secara visual dalam kaitan dengan bulan sabit (hilal) tersebut.

Ada tingkatan-tingkatan penamaan yang diberikan orang arab untuk bulan, pertama adalah hilal, yaitu sebutan bulan yang tampak seperti sabit, antara tanggal sampai menjelang terjadinya rupa semu bulan pada tarbi’ awal (bagian seperempat yang pertama). Kedua, Badr, istilah ini merupakan sebutan untuk bulan purnama dan yang ketiga yaitu qamr, yang merupakan sebutan bagi bulan dalam setiap keadaan.

Dalam hal ini, bulan ramadhan bisa dikatakan memiliki keunikan/keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan beberapa bulan lainya dalam sistem penganggalan hijriah. Hal ini disebabkan oleh posisi hilal pada bulan ramadhan akan menjadi penentu dalam menetapkan awal bulan tersebut. Tentu yang menyebabkan bulan ini menjadi urgen dan strategis adalah karena didalamnya terdapat suatu perintah agama yang wajib ‘ain  hukumya, yakni perintah puasa selama sebulan penuh atau selama bulan ramadhan tersebut, dimana jika ditinjau dari segi waktu (awal dan akhir ramadhan) tentu memilki implikasi hukum terkait keabsahan dalam palaksanaanya ibadah puasa tersebut.

Hal ini akan tampak berbeda perlakuanya dengan beberapa bulan lainya, seperti bulan muharam, safar, rabiu’l awal, dan beberapa bulan lainya. Pada bulan-bulan selain bulan ramadhan, syawal dan dzulhijjah, dimana  tidak  terdapat implikasi langsung terhadap perintah agama pada bulan tersebut, sehingga kedudukan dan posisi hilal sebagai penentu awal bulan tersebut tidak terlalu diperhatikan atau cenderung diabaikan atau cukup menggunakan sistem hisab saja.

HILAL SEBAGAI OBJEK DALAM

SISTEM HISAB DAN RUKYAT 

Pada dasarnya metode yang digunakan dalam penentuan dan penetapan awal bulan ini sebetulnya merupakan sebuah sistem yang integral, yakni sebuha sistem hisab – rukyat. Dari sistem tersebut, objek yang dijadikan sebagai indikator dalam penentuan awal bulan adalah hilal. Ketentuan-ketentuan dan kriteria mengenai hilal ini kemudian  dijadikan sebagai pedoman atau acuan dalam penentuan awal bulan tersebut.

Setidaknya terdapat dua sub sistem yang dijadukan sebagai pedoman penentuan awal bulan pada sistem penanggalan hijriah ini, yakni hisab dan rukyat. Metode Hisab merupakan sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi (periode sideris) dan juga peredaran bulan dan bumi secara bersama-sama  mengelilingi matahari (periode sinodis). Menurut sistem ini umur setiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung pada posisi hilal di setiap awal bulannya. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, bahkan boleh jadi bergantian seperti menurut hisab urfi.

Sedangkan rukyat atau biasa juga disebut ru’yatu al-hilal adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengamati  bulan sabit muda setelah terjadi konjungsi / ijtimak di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru – khususnya menjelang Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah – untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai (Khazin, 2008:173).

Selanjutnya perintah rukyat yang  didasarkan pada hadis Nabi SAW yang memerintahkan langsung kepada para sahabatnya untuk memastikan masuknya awal bulan Ramadhan tersebut dengaan melihat hilal. “Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (lebaran-pen) kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup, sempurnakan bilangan bulan tersebut. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)” Hadis ini, kemudian dijadikan sebagai dasar dalam penentuan awal bulan (Ramadhan-Syawal dan Dzulhijjah), hal ini mengingat bahwa hal tersebut merupakan perintah Nabi SAW langsung yang harus ditaati.

Namun di sisi lain, terdapat beberapa ayat di dalam  Al-Qur’an yang menunjukan isyarat bahwa peredaran benda-benda langit  (bumi, bulan dan matahari) yang bersifat konstan ini dapat dijadikan sebagai sebuah acuan atau dasar dalam melakukan perhitungan (hisab) terkait dengan posisi dan kedudukan benda-benda langit tersebut. Seperti yang terdapat dalam QS. Yunus ayat 5 berikut ini “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus, 10 : 5). Atau dalam QS. Ar-Rahman ayat 5 “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (Ar-Rahman, 55:5)”.

Untuk memahami hadis-hadis terkait dengan perintah rukyat dan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an berkenaan benda-benda langit seperti bulan dan matahari yang dapat dapat  diperhitungkan jumlah bilanganya, tentu tidak dapat dipahami secara parsial dalam perspektif tertentu saja. Akan tetapi setidaknya diperlukan sebuah pandangan yang mampu memadukan antara  kedua konsep atau pandangan yang berkembang dalam metode penentuan awal bulan tersebut, sehingga diperoleh pemikiran yang utuh dan komprehensip tentang metode  penentuan awal bulan  dalam sistem penanggalan hijriah atau kalender Islam.

Dalam sebuah hadis  yang telah diriwayatkan menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menyebut ummatnya “ummi” yang tidak pandai baca dan menghitung. Meskipun sesungguhnya pada zaman Rasul SAW tersebut sudah diketahui bahwa rata-rata 1 bulan = 29,5 hari, sehingga ada hadis yang bermakna satu bulan kadang 29 dan kadang 30. Pengetahuan semacam ini tentu diperoleh dari pengalaman empirik atau melakukan pengamatan (rukyat) hilal.

Pada masa sahabat, kemudian dikembangkan sistem kalender dengan hisab (perhitungan astronomi) sederhana yang disebut hisab urfi (periodik) yang jumlah hari tiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari. Akan tetapi sistem hisab seperti ini kurang tepat manakala digunakan untuk kepentingan ibadah (Ramadhan, Syawal,  dan Ddzulhijjah), mengingat bahwa rata-rata peredaran bulan itu tidaklah selalu tepat seperti jumlah hari tersebut jika disesuaikan dengan penampakan hilal (new moon) pada setiap awal bulannya.

Dari hisab urfi tersebut, kemudian berkembang menjadi hisab hakiki maupun hisab kontemporer, dimana perhitungan yang dilakukan sudah  pada tingkat akurasi yang sangat tinggi dan dilakukan secara komputerisasi. Sebuah sistem perhitungan (hisab) yang dilakukan dengan menghitung ketinggian atau posisi bulan yang sebenarnya dengan mempertimbangkan koreksi dari faktor atmosfir, dan  menghitung ketampakan hilal dari permukaan bumi.

Oleh sebab itu, maka pada prinsipnya kedua metode tersebut bukanlah sesuatu yang harus dihadap-hadapkan satu dengan lainya, melainkan sesuatu yang harus saling melengkapi dan saling mendukung. Data hisab digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam pelaksanaan rukyatul hilal, dan rukyatul hilal (atau biasa lebih dikenal dengan istilah “rukyat” saja) akan dijadikan sebagai upaya dalam mengimplemetasikan dari hasil perhitungan (hisab) itu sendiri.

KRITERIA HILAL

Meskipun antara metode hisab dan rukyat bukanlah sesuatu yang harus dipisahkan satu dengan lainnya dalam penentuan awal bulan, namun  pada waktu-waktu tertentu tidak jarang kita menemukan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal puasa Ramadhan, maupun penetapan 1 Syawal. Tentu hal ini sekali lagi bukan lah pada persoalan metode yang digunakan (antara hisab dan rukyat), melainkan lebih pada kriteria hilal itu sendiri yang menjadi prasyarat masuknya awal bulan. Dalam hal ini hasil perhitunganya bisa saja sama, akan tetapi kesimpulan yang dihasilkan mengenai penetapan awal bulan akan berbeda.

Adapun beberapa kriteria hilal di Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman oleh beberapa kelompok ormas Islam dalam penentuan awal bulan, secara umum dapat dikelompokan sebagai berikut: pertama kriteria hilal yang mensyaratkan akan ketinggian hilal minimal dua derajat di atas ufuk atau dengan kata lain bahwa ini hanya masalah ketinggian hilalnya saja, asalkan dari hasil perhitungan diperoleh data bahwa ketinggian hilal diatas ufuk minimal dua derajat, maka keesokan harinya dinyatakan positif atau telah masuk awal bulan. Apabila terdapat kesaksian rukyat seseorang, maka kesaksianya  dapat diterima asalkan ketinggiannya di atas batas imkanurrukyat 2° (dua derajat).

Selanjutnya kriteria hilal yang kedua adalah awal bulan Hijriyah dimulai apabila telah terpenuhi hal-hal berikut ini, diantaranya : pertama, telah terjadi ijtimak (konjungsi), kedua ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan ketiga pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (maka bulan baru telah wujud). Ketiga hal tersebut  penggunaannya adalah secara kumulatif, artinya harus terpenuhi sekaligus. Atau sederhananya mengenai kriteria yang kedua ini adalah, manakala hilal positif  berada di atas ufuk meski di bawah dua derajat tetap dinyatakan masuk awal bulan.

Kemudian kriteria yang ke-tiga adalah Kriteria Hilal yang menyatakan bahwa Hilal dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:  a) Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horizon tidak kurang dari 2° (dua derajat), b)  Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°, dan c) Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

Kriteria yang ke tiga inilah yang menjadi pedoman Pemerintah RI untuk menyusun kalender Taqwim Standard Indonesia yang digunakan dalam penentuan hari libur nasional secara resmi. Dengan kriteria ini pula keputusan Sidang Isbat Penentuan Awal Bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah.

Meski pada kasus-kasus tertentu, terdapat sekelompok kecil yang menggunakan metode pasang-surut air laut seperti jama’ah An-Nadzir di Goa dan Tharekat Naqsabandi di Sumatra. Terkait dengan hal  tersebut, penulis mengabaikan segala bentuk metode yang tidak terkait secara langsung dengan hilal.

HILAL RAMADHAN 1439 H

Terkait dengan beberapa kriteria hilal yang telah dijelaskan di atas, maka dari hasil  perhitungan (sistem hisab) tentang keadaan Hilal Ramadhan 1439 H, untuk wilayah Pontianak – Kalimantan Barat, diperoleh data-data mengenai Hilal Ramadhan 1439 H sebagai berikut : Bahwa Ijtimak/Konjungsi pada  bulan Sya’ban terjadi pada hari Selasa, 15 Mei 2018 Pukul 18:48:50 WIB,  dan Matahari terbenam (ghurub) pukul 17:42:46, arah matahari dari titik barat ke utara 18° 54’ 28,24”, Arah hilal dari titik barat ke utara 14° 02’ 45.58”, tinggi hilal Hakiki : -0° 22 06.65 / tinggi hilal mar’i: -0° 24 52.54, keadaan hilal berada di bawah ufuk, kemudian poisi hilal (beda azimuth) di sebelah kiri matahaari : 04° 51’ 42,65”, serta Iluminasi Hilal : 0,3253 %.

Berdasarkan dari hasil perhitungan atau sistem hisab tersebut, maka dapat diketahui bahwa posisi hilal negatif  dan berada di bawah ufuk/horizon. Selanjutnya jika dilakukan pengamtan tentu hasilnya akan negatif dikarenakan pertama, ijtimak atau konjungsi terjadi sebelum magrib (ghurub) yang menjadi batas tanggal dalam sistem penanggalan hijriah, kemudian posisi hilal jauh berada dibawah ufuk (ketinggian hilal negatif), sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 1 Ramadhan 1439 jatuh pada haru Kamis tanggal 17 Mei 2017.

Wallahu’alam.

Marhaban Ya Ramadhan…

 

*Sehari-hari penulis mengasuh perkuliahan di

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak