Agus Yuda Berjalan Kaki 729 Kilometer, 23 Hari, untuk Curhat ke Presiden

Sopir Truk Itu “Memuntahkan” Derita Dipalak Preman dan Aparat

CURHAT KEPADA PRESIDEN. Agus Yuda ditemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/5). Ia mencurahkan isi hatinya yang terpendam lama gara-gara penderitaan yang diakibatkan preman dan aparat keamanan. Setpres
CURHAT KEPADA PRESIDEN. Agus Yuda ditemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/5). Ia mencurahkan isi hatinya yang terpendam lama gara-gara penderitaan yang diakibatkan preman dan aparat keamanan. Setpres

eQuator.co.id – Hari yang didambakan Agus Yuda itu akhirnya tiba. Setelah menempuh 729 kilometer selama 23 hari berjalan kaki dari Mojokerto, Jawa Timur, akhirnya sopir truk tersebut berhasil bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta.

Jokowi menemui Agus secara khusus setelah mengikuti silaturahmi dengan para pengemudi truk di Istana Negara, Jakarta, kemarin (8/5). Presiden didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Syafruddin.

Kesempatan itu pun tak disia-siakan Agus. Dia ”memuntahkan” penderitaan yang selama ini dipendam sebagai sopir barang antarkota. Setiap hari dia harus berurusan dengan aksi pemalakan.

”Yang saya sampaikan ke Pak Presiden tadi ya kami seluruh driver angkutan barang di seluruh Indonesia itu meminta keamanan dan kenyamanan waktu mendistribusikan barang,” terangnya, ditemui usai bertemu presiden.

Agus memulai perjalanan ekstremnya tersebut pada 8 April 2018. Ayah dua anak itu sampai di Jakarta pada 3 Mei lalu. Dengan bekal pakaian dan telepon seluler. Tanpa uang sepeser pun.

”Untuk makan dibantu komunitas driver,” ujarnya.

Agus menceritakan, perjalanan 23 hari yang dilakukannya tidak selamanya mulus. Sejak awal perjalanan, dia memang tidak mengabari para komunitas driver yang dilewati. Kalaupun ada komunitas driver yang membantu, itu hanya insidental.

“Semua spontan saja,” ucapnya.

Karena itu, di sepanjang perjalanan, pria berambut ikal tersebut tidur di sembarang tempat. Jika ada komunitas sopir yang menerimanya, dia bisa menumpang di rumahnya. Namun, jika tidak, Agus terpaksa meminta izin tidur di tempat umum, misalnya di mapolsek, makoramil, atau pom bensin.

Meski demikian, Agus tetap bersyukur. Sebab, tidak ada rintangan berarti yang menghadangnya. Tuhan pun selalu memberinya kesehatan.

“Alhamdulillah, sandal atau sepatu juga tidak ada yang rusak,” ungkapnya.

Agus menilai profesi sopir pengangkut barang sangat sentral dalam ekosistem aktivitas ekonomi di Indonesia. Tanpa adanya sopir pengangkut barang, distribusi hasil produksi tidak bisa tersalurkan. Karena itu, bukan hal yang berlebihan jika sopir menuntut negara mau memberikan jaminan keamanan.

“Karena kami seluruh driver Indonesia itu sebagai pendukung pemerintah. Tanpa adanya kami, pendistribusian tidak akan lancar,” imbuh anggota Serikat Pengemudi Truk Nusantara (SPTN) tersebut.

Agus menceritakan, sejak dirinya menjadi sopir barang pada 2014, aksi pemalakan di jalanan telah menjadi menu keseharian. Dia dan juga ribuan orang yang berprofesi sama tidak punya banyak pilihan. Melawan bisa babak belur. Namun, jika menuruti, penghasilan mereka anjlok.

Berdasar pengalamannya menjadi sopir barang di Jawa dan Sumatera, aksi premanisme terjadi merata. Di Jawa praktik serupa masih terjadi. Khususnya di daerah yang belum memiliki jalan tol.

“Di Jawa itu masalah premanismenya biasanya di daerah Pasuruan, Probolinggo, sampai Banyuwangi,” kata dia.

Sedangkan di Sumatera kasus serupa hampir terjadi di semua kabupaten. Besaran uang palak tiap preman sangat beragam. Ada yang mau dikasih Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, sampai Rp 20 ribu. Tapi, tidak jarang juga yang memaksa hingga ratusan ribu rupiah. Bagi sopir, kata dia, tidak ada pilihan untuk menolak. Sebab, nyawa jadi taruhan.

Bahkan, berdasar penuturan temannya, tidak sedikit pula yang diancam dengan menggunakan pisau di leher. Atau paling tidak, kaca truk bisa dibuat hancur.

Belakangan, lanjut Agus, aksi premanisme yang menyasar sopir pengangkut barang kian menggila. Di kawasan Sumatera banyak preman di berbagai lokasi yang mewajibkan truk harus berstempel. Tapi bukan stempel dari dinas pemerintah, melainkan stempel dari preman. Harga untuk mendapatkan stempel tidak mudah. Mencapai Rp 1 juta rupiah.

Kalau sudah punya stempel pun, para sopir tetap kena jatah dalam kunjungan selanjutnya. ”Paling kami ngelem (Rp) 5 ribu, 10 ribu, 20 ribu,” ungkap pria 30 tahun itu.

Penderitaan tidak selesai sampai di situ. Pasalnya, mereka masih menerima pungli yang dilakukan oknum petugas. Baik petugas dinas perhubungan maupun aparat kepolisian. Berbagai modus pun kerap dilakukan.

Mulai alasan yang masuk akal seperti tonase (bobot barang) melebihi batas atau kelengkapan dokumen. Sampai yang tidak masuk akal seperti tutup pentil ban. Namun, daripada kendaraan ditahan, sopir pun terpaksa mengeluarkan uang pelicin, puluhan hingga ratusan ribu rupiah.

Meski pemalakan hanya puluhan hingga ratusan ribu, jika dikalkulasi, jumlah yang dikeluarkan sopir untuk preman kampung dan preman berseragam cukup besar. Untuk perjalanan pergi pulang dari Jawa Timur ke Medan yang butuh waktu tiga minggu saja, misalnya, jatah untuk dua jenis premanisme itu bisa mencapai 3 juta rupiah.

Akibat biaya pemalakan yang tak sedikit, uang yang bisa dibawa pulang sopir tidak banyak. Jika beruntung, ungkap Agus, sopir masih bisa membawa Rp 2 hingga 3 juta. Jika sedang apes (pemalak banyak), tidak sedikit sopir yang tak membawa apa pun.

”Seharusnya kan bisa bawa sampai Rp 6 juta kalau tidak dipalak,” ucapnya.

Karena itu, Agus berharap pemerintah bisa memberikan perhatian khusus terhadap persoalan tersebut. Sebab, berbagai upaya sudah dilakukan para sopir di lapangan. Antara lain melapor ke polsek atau polres jika terkena palak. Namun, semua itu sia-sia.

”Mungkin (polisi dan preman, Red) kongkalikong. Nah, itu membuat kami istilahnya nge-down, ngedrop. Sudah enggak ada kepercayaan lagi pada beliau (polisi),” tuturnya.

Presiden Jokowi pun terkejut atas maraknya aksi premanisme yang sampai memotong penghasilan sopir sedemikian besarnya. Mantan wali kota Solo itu mengaku sudah mendengar laporan tersebut, tapi tidak menyangka jumlahnya sangat besar.

”Saya kan dengarnya sedikit. Ternyata, setelah bertanya kepada para pengemudi, para sopir (dipalak) sangat banyaknya. Kaget dong. Masak gak boleh kaget saya?” ujarnya kepada wartawan.

Seusai pertemuan, Jokowi langsung memerintahkan Wakapolri memberantas praktik itu. Bukan hanya terhadap preman lokal, tapi juga aparat yang nakal. Dia mengakui, aksi pemalakan yang berdampak pada naiknya cost distribusi sudah tidak bisa ditoleransi.

”Disikat saja semuanya,” tegas Jokowi.

Wakapolri Syafruddin mengatakan, pihaknya perlu mengecek dulu laporan itu. Khususnya terhadap pemalakan yang dilakukan aparat. Sepengetahuannya, praktik tersebut sudah lama ditinggalkan kepolisian.

”Mereka juga jijik lah mau pungli-pungli yang Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, sekarang. Remunerasi besar sekarang polisi itu. Lebih dari gajinya,” ujar dia.

Namun, jika di lapangan masih ditemukan, jenderal bintang tiga tersebut memastikan melakukan pemecatan. Dia juga mempersilakan sopir truk ataupun masyarakat merekam jika ada polisi yang masih melakukan pungli.

”Silakan videokan para polisi yang ada di jalan. Ini perintah saya ya. Saya langsung pecat. Begitu ada videonya benar, kita pecat hari itu. Telanjangin dia. Keras sekali kita,” tandasnya.

Karena itu, Syafruddin juga meminta Kapolda di daerah terkait segera melakukan penertiban. Jika ada yang main-main, pihaknya tidak segan-segan mencopot Kapolda. (Jawa Pos/JPG)