eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Selama Pilkada serentak, Bawaslu Kalbar menerima sebanyak 18 laporan dan 62 temuan. 58 diantaranya berupa pelanggaran administrasi.
Anggota Bawaslu Kalbar, Faisal Riza menuturkan, untuk pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Kalbar, ada tujuh dugaan pelanggaran yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) selama masa kampanye. Empat diantaranya sudah diklarifikasi Bawaslu dan terbukti tidak bersalah.
“Akan tetapi hal tersebut sudah diklarifikasi oleh Bawaslu dan terbukti tidak bersalah,” katanya kepada Rakyat Kalbar ketika ditemui di kantornya kemarin.
Awalnya dugaan bermacam-macam bentuk. Seperti salah seorang ASN yang menunjukkan jari yang kemudian diduga sebagai simbol dukungan kepada salah satu Paslon. Ada pula ASN yang diduga terkait foto dengan pengurus partai. Akan tetapi, setelah di klarifikasi Bawaslu, foto itu diambil sebelum pencabutan nomor urut Paslon. Kemudian dugaan lain tidak bisa dilanjutkan karena yang bersangkutan telah masuk masa pensiun.
“Kemudian di Sambas tidak bisa diproses karena bukan mobil dia. Mobil itu sudah dijual, kemudian digunakan sebagai mobil kampanye. Setelah kita klarifikasi ternyata bukan mobil dia lagi,” terangnya.
Sehingga dari empat kasus ASN tersebut tidak terbukti. Namun, untuk konteks Pilgub, pihaknya juga sedang menangani dua dugaan pelanggaran yang dilakukan ASN. Temuan itu didapatkan dari Panwaslu Kota Pontianak. ASN itu sedang berada di kegiatan yang di isi oleh Paslon. Dua ASN itu diduga ikut memperagakan dukungan.
“Dua ASN ini sudah direkomendasikan ke Komisi ASN (KASN), jadi kami menunggu KASN. Dan satu lagi yang di Landak sedang diklarifikasi,” ungkapnya.
Faisal menyebutkan, laporan dugaan pelanggaran yang menyangkut Kepala Desa (Kades) juga banyak jumlahnya. Berdasarkan data Bawaslu kurang lebih ada 22 kasus yang melibatkan Kades. 18 kasus diantaranya berasal dari Kabupaten Kubu Raya.
Dikatakannya, untuk di Kubu Raya sudah ditinjaklanjuti menjadi temuan yang disampaikan ke Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Namun Gakkumdu menghentikannya, karena tidak menemukan sumber bukti.
“Jadi handpone yang memfoto itu kan harus ada bukti. Nah, menurut Gakkumdu Kubu Raya tidak bisa dilanjutkan. Akhirnya karena ini Kades, kami merekomendasikan ke bupati dan sifatnya administratif,” bebernya.
Sedangkan di Sintang, hanya Kades tidak tahu dia diundang ke acara kampanye. Dia juga tidak tahu, bahwa tak boleh berkampanye di situ, hingga akhirnya dicegah. “Namun sempat jadi temuan,” ucapnya.
Hingga saat ini kata Faisal, belum ada dugaan pelanggaran sampai ke tindak pidana yang dilakukan ASN. Karena memang ada ancaman hukuman pidana apabila ASN melakukan tindakan yang merugikan. Termasuk jika ada Paslon yang melibatkan ASN untuk berkampanye.
“Dari kasus yang ada ini kita sedang mempelajari kasus yang di Landak apakah ada keterlibatan atau tidak. Kita tunggu lah yang di Landak. Karena ada indikasi kuat dia sangat aktif,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait laporan atau temuan didominasi alat peraga kampanye (APK) yang ilegal dan menyalahi aturan KPU. Hingga 24 April, jumlahnya sebesar 75 persen.
Paling banyak di daerah Singkwang, Landak, Kubu Raya, Kota Pontianak dan Sintang,” demikian Faisal.
Sementara itu, dikutip dari Jawa Pos, langkah Polri dalam mengamankan Pilkada perlu diperbaiki. Salah satu alasannya, polemik Brimob bersenjata yang mendatangi kantor DPD partai Gerindra Jawa Tengah, Sabtu (5/5). Langkah pengamanan tersebut justru diterjemahkan berbeda. Bahkan, terkesan bisa dipolitisasi.
Ketua Presidium Indonesian Police Wacth Neta S. Pane menuturkan, kedatangan Brimob yang bersenjata ke sebuah kantor partai itu malah menimbulkan benturan politik. Indikasinya juga bisa menimbulkan keresahan. “Maka pengamanan dengan metode semacam itu kurang tepat,” terangnya.
Bila kepolisian memang mengendus sesuatu terjadi di sekitar kantor DPD Gerindra, maka alangkah baiknya bila yang turun tangan bukan Brimob, yang merupakan pasukan pemukul Polri. “Namun, bisa menempuh jalan lain, seperti operasi intelijen,” jelasnya.
Sehingga, proses pengamanan yang dilakukan tidak menimbulkan riak di belakang hari. Tidak ada tanda tanya dari masyarakat mengapa ada pengamanan semacam itu. “Publik bisa bingung mengapa Brimob ke kantor partai,” jelasnya.
Menurutnya, metode pengamanan yang tepat tentunya akan kian merawat pemahaman bahwa Polri selama ini independen, profesional dan proporsional dalam menjaga keamanan. “Jangan sampai metode pengamanan yang dilakukan justru bertolak belakang dengan tugas utama Polri, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” ungkapnya.
Sementara Kepala Divisi Hukum dan HAM Kontras Arif Nur Fikri menuturkan, kehadiran seorang anggota Brimob dengan membawa senjata itu sebenarnya bsia memberikan rasa intimidasi kepada masyarakat. Kondisi itu harus dipahami setiap anggota kepolisian. “Maka, perlu langkah lainnya,” ujarnya.
Misalnya, dengan mendatangkan anggota Polisi biasa, yang senjatanya tidak terlalu mencolok. Memang langkah pengamanan perlu, namun juga perlu terukur agar masyarakat tidak kaget. “Kalau Brimob turunnya saat genting, kan pasukan khususnya Polri,” terangnya.
Menurutnya, perlu untuk melakukan evaluasi pengamanan pilkada yang lebih humanis. Sehingga, kedatangan anggota Polisi benar-benar memberikan rasa aman. “Kalau dengan senjata yang besar datang mengamankan ke tempat yang tidak ada konflik atau tidak ada sesuatu, justru menimbulkan tanda tanya,” tuturnya.
Laporan: Rizka Nanda, Jawa Pos/JPG
Editor: Arman Hairiadi